Sumur Tiga Rasa, Sumur Jodoh, atau Bujung Kaiyang

Napak Tilas Pulau Karampuang

Wacana.info
Irwan Pababari saat Berbincang dengan kepala Desa Karampuang di Bujung Kaiyang. (Foto/Udin Mandegar)

Oleh: Udin Mandegar

Catatan Kaki Jalan Jalan Ner

Menapak jejak-jejak sejarah Pulau Karampuang bak mencari harta karun yang telah lama terlupakan. Meski begitu, eksistensinya tak pernah sirna ditelan zaman. Pulau yang dikelilingi bentangan samudera yang luas dan pemandangan alam nan indah itu adalah saksi bisu warisan jejak para pendahulunya. 

Bujung kaiyang, tanete Pa'bokatang, jajanan kuliner serta artefak sejarah lainnya bersatu dalam dekapan napak tilas warisan sejarah Pulau Karampuang ini seolah merayu nalar kami di komunitas Jalan jalan Ner untuk bergegas menyusun rencana menguak memori sejarah yang masih membekas di hati masyarakat Pulau Karampuang, meski roda zaman telah berganti wajah. 

Jejak-jejak artefak sejarah itu terus membayangi hari-hari kami, hingga akhirnya di Banana Nugget and Coffee, dengan bermodalkan materi dan peralatan seadanya, kami memadu ikrar untuk meluangkan segenap cakrawala pengetahuan kami menapak jejak-jejak itu walau tak seprofesional peneliti ternama di negeri khatulistiwa ini. 

Berselang satu hari dari pertemuan kami itu, di akhir pekan (09/01) selepas dhuhur kami pun beranjak meninggalkan Rumah Jabatan Wakil Bupati Mamuju bersama Wakil Bupati. Irwam Pababari menuju dermaga. 
Setibanya di dermaga, satu persatu dari kami naik ke sebuah kapal tradisional yang sedari tadi nahkodanya menunggu kedatangan kami. Tak lama berselang, setelah semuanya berada di kapal, mesin kapal pun perlahan menggemakan suara bisingnya pertanda sang nahkoda kapal akan membawa kami menyeberangi lautan untuk berlabuh di Pulau Karampuang. 

Memandangi hamparan samudera dan larut bersama desiran ombak tak membuat setiap kedipan mata kami luput menyaksikan keindahan anugerah Tuhan Yang Maha Indah. Sepertinya, desiran-desiran ombak itu bertasbih memuja Sang Pencita-Nya. Maha Karya Tuhan nan indah ini larut dalam gurauan kami, sembari menikmati perjalan yang amat menyenangkan. Hingga tak terasa dalam hitungan kurang lebih 20 menit kami pun berlabuh di dermaga kecil yang hanya terbuat dari kayu. 

Dari kejauhan, tampak rumah-rumah penduduk berjejaran di sepanjang bibir pantai, saksi bisu bahwa kami sedang menginjakkan kaki di hamparan alam Karampuang. 

Tanpa banyak basa-basi kami pun mengemasi barang bawaan kami, dan bergegas menuju bujung kaiyang, atau sumur 3 rasa atau yang lebih tanar dengan sebutan sumur jodoh. 

Hati siapa yang tak sabar ingin menimbah berkah dari sumur itu. Apatah lagi komunitas Jalan Jalan Ner sebagian besar masih bujangan alias jomblo. Mungkin saja ada diantara mereka yang masih jomblo itu punya niatan terselubung untuk mengakhiri masa jomblonya setelah menimbah berkah dari bujung kaiyang ini. 

Tentu saja, sebagai orang yang sudah tidak jomblo lagi, berharap semoga harapan mereka terkabulkan. Jika saja tidak terkabulkan, maka bersabarlah. Mungkin sang waktu belum rela melepas masa jomblo kalian, hehehehehe.

Cerita Bujung Kaiyang

Menilik riwayat bujung kaiyang, setelah berbincang dengan Kepala Desa Karampuang, kami baru mengetahui bahwa sumur  3 rasa atau sumur jodoh yang selama ini kami kenal itu sesungguhnya disitilahkan oleh masyarakat lokal sebagai bujung kaiyang. Dalam Suasana santai, dengan seksama kami menyimak penuturan dari Supriadi, sang Kepala Desa tentang riwayat bujung kaiyang ini. 

Menurut Supriadui, pada tahun 1979 sumur ini ditemukan oleh salah seorang Kiyai yang menganut 'Tarekat Khalwatiyah' dan bagi masyarakat Karampuang, sosok kiyai itu adalah seorang wali. Sang Kiyai itu bermana Prof. K.H. Muhammad Ali Hanapi yang tak asing dengan sapaan 'Puang Nurung'.

Sosok kiyai denga pengalaman spritual yang tinggi menemukan sumur dengan tiga sumber mata air (Tawar, Asin dan Payau), dari penelusuran spritualnya, sumur tersebut bukanlah sumur biasa. Sumur memiliki energi supranatural yang berguna bagi masyarakat, terutama dalam hal mendapatkan jodoh bagi yang telah cukup usia.

Kiyai itu kemudian merenovasi sumur dengan memisahkan tiga rasa air itu dalam satu sumur. Sehingga santer diguyonkan oleh masyarakat setempat dengan istilah Salome (satu lobang ramai-ramai). 

Lantas, mengapa sumur itu lebih tenar dengan sebutan sumur jodoh?. Apakah tidak ada nama lain yang khas dengan kearifan lokal di Bumi Manakarra ini..?. Untuk menjawab itu mari menyimak kisahnya. 

Perjalanan waktu sejak ditemukannya sumur ini oleh seorang sang Kiyai tahun 1979, adalah Departemen Sosial saat Kabupaten Mamuju masih menjadi bagian dari wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, pegawai Depsos kala itu melakukuan kunjungan kerja ke Pulau Karampuang. Saat itu ada salah seorang perempuan pegawai Depsos yang masih gadis dan usianya sudah tergolong usia lanjut, kemudian ia disarankan untuk mengambil berkah dari sumur ini. "Jika engkau ingin menikah mandilah dan minumlah air dari sumur ini," tutur Kepala Desa mengenang kisah beberapa tahun silam. 

Tnpa pikir panjang, perempuan itu menimbah air dari sumur kemudian menyiram sekujur tubuhnya plus meminumnya. Setelah melaksanakan tugasnya di pulau ini, berselang seminggu, perempuan itu memberi kabar ke warga Karampuang bahwa dia sudah dilamar dengan lelaki pujaan hatinya lalu siap untuk menikah. 

Dengan rasa syukur atas nikmat Allah pada sumur itu, kemudia dia menyebarkan berita bahagia itu ke semua orang, dikatakannya terdapat sumur kramat di Mamuju tempatnya di Pulau Karampuang yang namanya sumur jodoh. Sejak tahun 1979 sumur ini pun kemudian tenar dengan sebutan sumur jodoh. Hingga kini, masyarakat dari berbagai penuur daerah masih meyakini 'keajaiban' sumur itu dan berbondong-bondong ke sumur ini dengan niat ingin mengambil berkah. 

Di balik ketenaran sumur jodoh, masyarakat Karampuang pada umumnya masih kental menyebutnya sebagai bujung kaiyang. Ada pula yang menyebutnya sumur tiga rasa (tawar, asin dan payau). Karea itulah wakil Bupati Mamuju, Irwan Pababari yang jadi salah satu peserta pada trip Jalan Jalan Ner hari itu menyarankan agar nama bujung kaiyang tetap dipertahankan. Memilih nama yang mencerminkan identitas lokal ketimbang harus menyebutnya sebagai sumur jodoh atau sumur 3 rasa. 

Riwayat di atas, tentunya tidak hanya berupa cerita masa lalu yang berlalu begitu saja seperti petuah pepatah, masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Namun kisah ini sejatinya menjadi referensi bagi generasi saat ini untuk berhidmat secara pemikiran maupun sumbangan materi dalam merawat sekaligus melestarikan nilai-nilai yang agung tersebut.

Ditinjau dari sisi sosial, bujung kaiyang juga berfungsi sebagai medium interakasi antar masyarakat setempat. Hubungan kekerabatan antar masyarakat yang dimaksud termanifestasi saat mereka datang untuk mencuci pakaian, mandi dan mengambil air minum. Mencuci pakaian, mandi dan mengambil air minum merupakan instrumen sosial-budaya masyarakat di tempat itu untuk saling menjaga keharmonisan hidup diantara mereka. Sehinga dengan mempertahankan kelestarian budaya bujung kaiyang akan membentuk suatu tatanan kehidupan sosial-budaya yang terjaga kearifannya. 

Dari sekian jejak-jejak sejarah Pulau Karampuang seperti mistisisme makam Tosalama, gua a’ba tomate, serta upacara adat 'Polibeang Angatang' serta beberapa artefak sejarah lainya tak dapat kami uraikan satu persatu dalam tulisan ini. semoga pada tulisan berikutnya kami akan mengulasnya satu persatu. 

Wassalam