Merawat Selera Humor

Wacana.info
Ilustrasi. (Foto/Net)

Oleh: Abdul Muttalib (Pegiat Budaya)

Kelucuan biasanya mengandung humor. Humor yang tak jarang berakhir tragedi dan dinikmati sebagai ironi. Humor segar biasanya sukses mancing tawa. Meski humor yang satire bisa menunjukkan situasi minor kebudayaan manusia.  

Ketika melihat seorang pelawak yang berjalan dan tiba-tiba terpeleset lantaran menginjak kulit pisang. Peristiwa itu relatif sering. Terlalu biasa. Dan mungkin sangat mudah ditebak. Maka lumrah jika peristiwa itu tidak lagi terkesan lucu. 

Usaha kelucuan yang tidak menghasilkan tawa adalah tragedi. Setidaknya tragedi bagi penonton yang terlanjur membeli tiket pertunjukan dari pelawak yang ternyata tidak lucu. 

Pelawak yang tidak lucu mungkin lebih tertekan dan berpeluang menyimpan ironi. Jika dibandingkan tragedi penonton yang tak kunjung tertawa. 

Sudah banyak kejadian humor walau tak pernah dimaksudkan untuk melucu. Kejadiannya pun tidak terjadi di atas panggung hiburan lawak. Peristiwa penangkapan petugas yang seharusnya melakukan penangkapan. Pengadilan yang justru mengadili hakim, diantaranya.

Atau agamawan pembawa risalah kedamaian yang banyak merisaukan. Siswa yang menikam gurunya, atau guru yang mencabuli puluhan siswanya. Daftar kelucuan bernuansa humor satir itu dapat lebih diperpanjang. Minimal dapat menjadi bukti, jika pelawak hari ini dituntut untuk lebih kreatif menyajikan materi lawakannya. 

Melawak dengan integritas kemanusian, berbekal tata krama kelucuan, seraya tetap piawai membaca potensi, sekaligus sanggup merawat selera humor penontonnya. Tidak hanya pandai mengumbar aib dan kekurangan lawan mainnya, tapi juga ikut menghindari untuk tidak mencela diri sendiri agar terlihat lucu. 

Dapat dibayangkan jika seorang mantri pencabut gigi di suatu kampung yang jauh dari gemerlap dunia hiburan lawak, meminta pasiennya agar kembali mencabut satu gigi yang tidak sakit, sebagai pengganti uang receh kembaliannya. 

Humor semacam itu begitu orisinil, menggugah, menggelikan sekaligus mengerikan. Peristiwa humor yang sanggup mengguncang kondisi berkemanusian, berkebudayaan dan bernegara yang sudah banyak menampilkan humor dan kelucuan satire-penuh paradoks.
 
Seperti kejadian seorang jamaah yang tiba-tiba nekat bertanya ke ustaz; "maaf ustadz, kenapa dari beberapa tahun lalu sampai hari ini, materi pengajian itu-itu saja ?. Apa tidak ada materi ceramah yang lain ?. Sekali lagi maaf ustadz, pertanyaan ini sudah lama dan sering ditanyakan sebagian besar jamaah pengajian,".

"Sudah lama pertanyaan seperti itu saya tunggu. Pertanyaan yang sangat bagus. Jadi tolong sampaikan kepada para jamaah yang sering dan sudah lama mau menanyakan itu. Bagaimana mungkin materi ceramah dirubah, sementara kelakukan para jamaah sama sekali belum berubah ?,"

(*)