OPINI

Menemani Luka-Luka Manusia: Dakwah yang Menyembuhkan

Wacana.info
(Foto/Istimewa)

Oleh: Nur Salim Ismail (Wakil Pimpinan PP. Ihyaul Ulum DDI Baruga Majene) 

Manusia modern hidup di tengah hiruk-pikuk yang tak pernah usai. Di antara cahaya layar dan kabar yang datang tanpa jeda, hatinya perlahan kehilangan arah. Ia tampak kuat di permukaan, namun di kedalaman jiwanya, ada kesunyian yang sulit dijelaskan. Banyak yang berlari tanpa tahu sedang menuju ke mana. Banyak yang tertawa, tanpa sungguh merasa bahagia.

Pada saat seperti ini, dakwah menemukan perannya yang paling lembut: menjadi teman perjalanan bagi jiwa-jiwa yang lelah. Dakwah tidak hadir untuk menegur atau menghakimi, melainkan untuk menemani. Ia berangkat dari keyakinan bahwa setiap manusia sedang berjuang dari luka yang tidak tampak. Setiap hati menyimpan kisahnya sendiri.

Dalam dakwah yang menyembuhkan, da’i hadir bukan sebagai penguasa mimbar, melainkan sebagai peziarah yang berjalan di antara manusia. Ia datang bukan membawa jawaban, tetapi membawa kehadiran yang menenteramkan. Sebab sering kali, manusia tidak membutuhkan petuah baru, melainkan seseorang yang bersedia mendengarkan tanpa tergesa.

Empati menjadi napas utama dari dakwah penyembuhan jiwa. Ia lahir dari hati yang tenang dan penuh penerimaan. Ketika seorang da’i berbicara dengan mata yang memahami, kata-katanya menemukan jalan ke hati pendengarnya. Setiap nasihat menjadi seperti air jernih yang mengalir ke tanah kering. Tidak menekan, tidak memaksa, tetapi menghidupkan kembali yang sempat layu.

Keheningan juga memiliki perannya sendiri. Dalam keheningan, kata-kata mendapatkan bobotnya. Seorang da’i yang memahami makna hening, akan tahu bahwa diam pun dapat menjadi dakwah. Ia memberi ruang bagi orang lain untuk merenung, untuk mendengar gema suaranya sendiri, dan untuk menyadari bahwa Tuhan sering kali berbisik melalui sunyi.

Dakwah yang berjiwa penyembuhan mengajak manusia untuk kembali berdamai dengan dirinya. Ia membantu manusia mengenali sumber kegelisahan tanpa terburu-buru menilai. Dalam suasana seperti itu, ceramah berubah menjadi perjumpaan batin. Jamaah tidak lagi duduk sebagai pendengar, tetapi sebagai sesama pencari makna.

Di sinilah dakwah bertemu dengan psikologi kemanusiaan. Empati ala Carl Rogers, kesadaran diri Abraham Maslow, hingga spiritualitas transpersonal Ken Wilber — semuanya menemukan ruang dalam khazanah Islam yang telah lama berbicara tentang jiwa, tentang tazkiyah al-nafs, tentang penyucian batin. Dakwah yang menyembuhkan adalah jembatan antara kedalaman spiritual dan keutuhan psikologis manusia.

Dalam tradisi sufisme, dikenal ajaran bahwa seorang murabbi bukan hanya guru, tetapi juga penuntun jiwa. Ia menyapa dengan kelembutan, memeluk dengan doa, dan menuntun tanpa paksaan. Rumi pernah menulis, 'Kebenaran adalah cermin yang jatuh dari tangan Tuhan, pecah menjadi serpihan, dan setiap orang memegang sepotong kecil darinya'. Dakwah yang menyembuhkan lahir dari kesadaran ini. Bahwa setiap manusia membawa pecahan cahaya, dan tugas seorang da’i adalah membantu mereka melihat sinar itu kembali.

Maka, dakwah menjadi proses saling menyembuhkan. Da’i dan jamaah berjalan bersama di jalan pencarian makna. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah, yang ada hanyalah perjumpaan dua hati yang sama-sama ingin pulang kepada Allah dengan hati yang dipenuhi oleh rasa haru dan bahagia.

Dengan model dakwah seperti ini, yang menyembuhkan bukan kecanggihan retorika, melainkan ketulusan hati. Dalam tatapan yang lembut, dalam doa yang lirih, dalam jeda yang penuh kasih, rahmat Tuhan bekerja diam-diam. Seorang da’i sejati tidak berbicara agar didengar, melainkan agar yang mendengar menemukan dirinya kembali.

Dunia hari ini membutuhkan dakwah yang demikian. Dakwah yang hadir dengan keheningan, dengan kelembutan, dengan kedalaman. Dakwah yang tumbuh dari empati, berjalan bersama manusia, dan berakhir dalam pelukan rahmat Tuhan.

Pada akhirnya, dakwah yang paling menyentuh bukanlah yang membuat manusia kagum, melainkan yang membuat manusia merasa tenang. (*)