Bermula dari Kisah 8 Jam di Atas Perahu (Bagian I)
Laporan: Lukman Rahim
Gubernur Sulawesi Barat Suhardi Duka (SDK) dijadwalkan bakal melantik Junda Maulana sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Sulawesi Barat pada Senin, 10 November 2025. Sosok birokrat berpengalaman ini dikenal berprestasi, berdedikasi tinggi, serta memiliki rekam jejak panjang dalam pemerintahan dan pembangunan daerah.
==
Sekitar pukul sebelas siang, di penghujung tahun 1993. Mobil Kijang Super berwarna hijau menepi di pangkalan perahu Sungai Tarailu. Jalan berkerikil dan tanah membuat debu beterbangan saat mobil berhenti.
Dari dalam mobil, turun seorang pemuda berkulit sawo matang. Rambutnya cepak rapi, bahu tegap melangkah gagah. Ranselnya tersampir di pundak. Ia bernama Junda Maulana.
Junda baru saja menempuh perjalanan sekitar tiga jam dari Mamuju, ibu kota kabupaten. Di tempat itu, ia hendak menumpangi perahu. Tujuannya; Kantor Kecamatan Kalumpang.
Di pangkalan, beberapa perahu ditambatkan dengan tali lusuh. Perlahan, Ia mendekati seorang pria dan bertanya kapan jadwal perahu menuju Kalumpang berangkat.
Seorang pria menjawab, “Tidak ada lagi pak, jam delapan itu sudah jalan, besok saja pak.”
Junda menunduk. Sungai Tarailu berkilau di bawah sinar siang, tampak diam dan tenang. Transportasi kala itu kadang hanya sehari sekali. Artinya, ia harus menunggu dan mencari penginapan. Ia menarik napas panjang, memandangi lekuk sungai dan pepohonan yang rimbun.
Junda tak putus asa, tekadnya untuk sampai ke Kalumpang sudah bulat, apapun yang terjadi harus sampai disana, gumamnya dalam hati.
Dengan pilihan terbatas, ia memutuskan untuk menghabiskan waktu di sebuah pos ronda yang berdiri sederhana di dekat pangkalan. Bangunan kayu itu sepi, tapi cukup memberi perlindungan dari panas hingga dingin menyelimuti malam.
Seorang warga sempat menawarinya untuk menginap di rumahnya, tapi Junda menolak sopan. Ia masih asing, baru berusia 22 tahun, dan pos ronda terasa lebih nyaman untuk menghabiskan malam, sebelum besok pagi berangkat ke Kalumpang.
Di dalam pos, ia melewatkan separuh malam, meski sebagiannya, ia menerima ajakan untuk tidur di rumah warga karena begitu dingin.
Beberapa bulan sebelumnya, Junda baru menamatkan pendidikan di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) di Jatinangor, Jawa Barat, tahun 1993. Surat penugasan dari Gubernur Sulsel, Zainal Basri Palaguna menempatkannya di Kecamatan Kalumpang, Kabupaten Mamuju, setelah sebelumnya ditugaskan di Kepulauan Selayar.
Tiga puluh tahun lebih berselang, Junda mengenang awal penugasannya itu dengan tawa.
"Lahir di Makassar, besar di Makassar, lalu sekolah di Bandung, kemudian saya mendapatkan penempatan di daerah yang sama sekali saya tidak kenal, cuma SK pada saat itu SK Gubernur Sulsel, saya ditempatkan di Kecamatan Kalumpang," cerita Junda ditemui di rumahnya, Sabtu 8 November 2025.
Bagi Junda, Kalumpang benar-benar wilayah baru. Ia tak punya bayangan, tak ada cerita yang sampai kepadanya. Ia dikirim bersama dua rekan seangkatannya di STPDN ke Kabupaten Mamuju; Herdin Ismail (Kepala BKD Sulbar saat ini) ke Kecamatan Pasangkayu dan Budianto Muin (Kepala Bappeda Kabupaten Mamuju sekarang) ke Kecamatan Kalukku.
Kalumpang dan Awal Perjalanan Sebagai ASN
Embun pagi mulai menipis, tapi dingin masih menusuk kulit. Junda bersiap menaiki perahu. Delapan jam waktu yang harus ia tempuh untuk sampai di tempat tugasnya.
"Sampai di Kalumpang, orang bilang, 'bapak hebat, baru ki naik ke Kalumpang tapi berani ki. Maksudnya, kita semua turun, bapak tidak mau turun, tadi tidak bisa goyang perahu di batu gergaji, tapi bapak tidak turun kami turun jalan kaki'. 'Orang disuruh turunkah ?', 'ia pak', oo saya ketiduran," cerita Junda sambil tertawa.
Tiba di tujuan, Kantor Kecamatan tutup karena libur. Junda ingin kembali ke pengalaman sebelumnya di pangkalan perahu; tidur di pos ronda. Tapi seorang guru mengajaknya tinggal di perumahan dinas guru.
"Tiba sore, dia bilang 'mandi maki dulu pak', saya bilang 'nanti pi', saya pikir nanti pi deh magrib, sekalinya gelap mi, 'iye Bu dimana kamar mandi ta', dibilang 'tidak ada kamar mandi di sini pak', 'jadi mandi dimana' ? 'di sungai Ki'," kenangnya
Hari demi hari, Junda menjalankan tugas sebagai staf di Kantor Kecamatan Kalumpang dengan gaji Rp 120 Ribu. Karena perpindahan gaji yang lambat, tiga bulan pertama ia hidup dengan mengambil uang di koperasi pegawai Rp 500 Ribu.
"Bayar Rp 600 Ribu, saya cicil Rp 60 Ribu perbulan, Rp 120 Ribu sisa uangku Rp 60 Ribu, jadi Ro 5 ribu ke Tarailu, Rp 15 Ribu ke Kalumpang, jadi Rp 20 Ribu pulang pergi. Karena gaji saya di Mamuju, berarti habis Rp 40 Ribu, sisa Rp 20 Ribu. Itulah saya pakai hidup di sana, makan," ungkapnya.
Untuk mensiasati kebutuhan, Junda menghemat dengan membeli mie instan dan ikan asin.
"Rp 5 Ribu itu saya beli ikan tembang kering, Rp 5 Ribu itu sudah satu dos," ucapnya sambil menggambarkan besar dos yang dimaksud.
"Kalau beras ada jatah beras, itu kita makan. Jadi pagi saya makan Indomie dengan ikan, siang itu juga, malam itu juga," ungkap Junda.
Bersambung... (*)









