Secangkir Kopi dan Catatan Pinggir Pilgub Sulbar

Wacana.info
Syarifuddin Mandegar

Oleh: Syarifuddin Mandegar (penggiat Sosial)

Tulisan ini hanyalah catatan pinggir dari inspirasi secangkir kopi. Daripada cita rasa kopinya hanya membasahi tenggorokan, maka saya mencoba menuangkan ide tentang politik yang jauh dari kata pengamat atau analis Pilgub Sulbar. 

Ceritanya seperti ini....

Pilgub Sulbar menyisahkan tahapan penetapan calon, kampanye dan pemilihan. Teka-teki soal siapa yang keluar sebagai pemenang pun terus menggelinding demikian cepatnya. Adu strategi, taktik dan adu rekomendasi partai pendukung yang tidak lain tujuannya untuk memantaskan diri menjadi orang nomor satu di Sulawesi Barat lima tahun kedepan.

Berkenaan dengan itu, masyarakat Sulawesi Barat seolah tak sabar menanti datangnya bulan Februari 2017 untuk berbondong-bondong menuju TPS menentukan pilihannya. Di samping itu pula, TPS adalah saksi bahwa pesta demokrasi lima tahunan ini menjadi penentu nasib mereka selama lima tahun.

Siapapun yang jadi Gubernur dan Wakil Gubernur, tidak jadi soal bagi masyarakat bawah, sebab politik bukanlah sesuatu yang membebani benak pikiran mereka melainkan seperti apa nasib mereka pasca politik.

Untuk merebut kursi kosong satu tersebut, maka berbagai spekulasi tim sukses dan klaim kemenangan yang tiap hari terpampang di dinding media tak pernah sepi dari pembaca. Boleh dikata, media telah menjadi referensi utama dalam mengukur setiap pergerakan politik di Pilgub Sulbar ini.

Teki teki tentang figur mana yang paling punya kans besar untuk menang pun menyisahkan pertanyaan dengan jawaban yang beragam, tapi inti dari jawaban itu adalah uang dan massa. Artinya, memang dan kalah pada Pilgub Sulbar nantinya sangat ditentukan oleh uang dan massa.

Tesis tentang uang yang diklaim dapat mendulang perolehan suara pemilih sesungguhnya sangat relatif. Sebab pada masyarakat tertentu, masyarakat yang memiliki kesadaran naif bermasa bodoh dengan politik (apolitis), uang tidak dipandang sebagai beban politik untuk menentukan pilihannya.

Bahkan dalam situasi tertentu, masyarakat akan mengatakan ambil uangnya jangan pilih orangnya. Perilaku seperti ini banyak terjadi, sehingga terkadang dalam setiap perhelatan politik banyak calon yang rela menghabiskan uangnya dibagi ke masayarakat untuk mendulang suara pemilih tetapi kenyataannya tetap kalah.

Strategi politik itu tidak semata-mata letaknya pada banyaknya uang yang kita bagi-bagi ke masyarakat meskipun politik tetap butuh uang untuk operasional mesin politik tetapi pada organisme masyarakat apolitis uang bukan segalanya.

Persoalan Political cost dalam tesis money politik  akan menemptakan strategi dan taktik pada opisi binner (sebuah oposisi yang menempatkan posisi-posisi ambigu). Karena itu Political cost, harus bersinergi dengan geopolitik suatau wilayah.

Sulawesi Barat yang terdiri dari enam Kabupaten, masyarakatnya sangatlah heterogen. Sehingga sangat memungkinkan untuk memahami kultur heterogenitas itu yang tidak terlepas dari strategi dan taktik politik yang dibangun setiap calon.

Sangat naif kiranya jika strategi politik selalu dilihat dalam bentuk money politik tanpa memahami geopolitik suatu wilayah. Bukankah geopolitik itu sendiri menginstruksikan suatu invasi kekuatan paradigma politik terhadap suatu organisme dengan menempatkan figuritas seseorang sebagai orang yang mampu diterima secara rasional oleh organisme tersebut.

Karena itu, dalam hal strategi dan taktik, kaitannya dengan geopolitik yang terpenting adalah pola komunikasi yang mampu merubah mindshet suatau organisme masyarakat.   

Jika ada calon memiliki klaim basis ideologis, maka persentasenya tidaklah signifikan. Sebab ideologis karena politik berlaku temporer. Karena watak sosial-politik senantiasa mengalami perubahan.

Meminjam teori dialektika Karl Marx, dimana perubahan masyarakat sangat dipengaruhi oleh paradigma pasar sosial politik. Dalam catatan Karl Marx, menjelaskan bahwa masyarakat itu tidak statis tetapi senantiasa mengalami perubahan perilaku maupun pola pikir. Dialektikanya cepat atau lambat tergantung pengaruh lingkungan sosialnya.

Basis ideologis bisa saja pilihannya tidak bergeser secara politik, jika mereka memahami politik adalah universal value (nilai universal) sebagaimana universal value of religion (nilai unversal agama) yang mengandung hukum wajib dan Sunnah serta haram dan halal, maka tesis dialektika Kral Marx itu bisa saja salah. Tapi ini soal politik dimana basis nilainya hanya berlaku temporer.

Sebut saja survey elektabilitas para calon, hasilnya senantiasa mengalami perubahan. Grafiknya kadang naik kadang pula turun. Artinya, naik turunnya itu tergantung pada opini yang berkembang dan mempengaruhi mindshet pemilih untuk menentukan pilihannya. karena itu para tim sukses sebaiknya membaca ulang geopolitik Sulawesi Barat, sebab kemenangan dalam berpolitik itu bukan asumsi melainkan fakta. Banyak asumsi belum tentu mewakili fakta. Tetapi fakta akan mewakili asumsi.

Wassalam...