Sahruddin; Maestro Rebana dari Sumael

Catatan: Firdaus Thobelulu
Suara syahdu rebana selalu punya tempat di hati para penikmat musik tradisional. Di balik setiap pukulan yang menghasilkan irama menenangkan, ada dedikasi dan ketekunan dari para pengrajinnya.
Inilah Sahruddin. Maestro rebana dari Dusun Sumael, Desa Samasundu, Kecamatan Limboro, Polewali Mandar.
Berawal dari sekadar ketertarikan, Sahruddin mulai belajar membuat rebana secara manual pada tahun 2010. Prosesnya tidak mudah. Butuh waktu hingga tiga tahun baginya untuk benar-benar menguasai seluk-beluk pembuatan alat musik pukul itu.
"Antara tahun 2013-2014 baru berani menjual hasil pembuatan rebana," ungkapnya saat ditemui di kompleks makam raja-raja Majene akhir pekan kemarin.
Rebana pertamanya berhasil terjual dengan harga Rp 600.000. Sebuah pencapaian yang menandai dimulainya perjalanan profesionalnya.
(Foto/Firdaus Paturusi)
Kini, setelah lebih dari satu dekade, buah dari ketekunan Sahruddin semakin terasa. Harga rebana ukuran sedang hasil karyanya mencapai Rp 1.300.000, sementara yang paling besar bisa tembus hingga Rp 1.500.000.
Menurutnya, dari tahun ke tahun, permintaan terhadap rebananya terus meningkat. Meskipun saat ini mulai bermunculan pesaing, ia tidak merasa khawatir.
"Saya sudah dikenal beberapa komunitas rebana di Polman dan Majene," ujarnya dengan bangga, menunjukkan bahwa kualitas dan reputasinya telah terbangun kuat.
Namun, di balik kesuksesan itu, Sahruddin menghadapi tantangan. Salah satunya adalah ketersediaan bahan baku utama; kayu dari pohon nangka.
"Pohon nangka ini mulai langka," bebernya.
Situasi ini menjadi kendala serius mengingat pentingnya kayu nangka untuk menghasilkan rebana yang berkualitas. Sementara itu, untuk kulit rebana, Sahruddin memilih kulit kambing betina yang memiliki tekstur lebih tipis dan ideal. Ia biasa membeli satu lembar kulit kambing seharga Rp 25.000.
Proses pembuatan satu buah rebana di tangan Sahruddin adalah sebuah seni yang membutuhkan kesabaran luar biasa. Seluruhnya dilakukan secara manual dan membutuhkan waktu hingga satu bulan.
Dari menebang pohon nangka, mengeringkan kulit kambing, hingga membentuk kayu menjadi bundar, semuanya dikerjakan dengan alat pertukangan yang masih sangat tradisional. Tidak ada mesin canggih yang mempercepat proses ini, menjadikan setiap rebana yang dihasilkan memiliki nilai dan karakter unik.
Pada musim-musim tertentu, terutama saat mendekati peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, pesanan rebana buatan Sahruddin selalu melonjak tinggi. Ini menunjukkan betapa kuatnya akar tradisi dalam masyarakat dan bagaimana seni pembuatan rebana tetap hidup.
Bagi mereka yang ingin memiliki rebana otentik buatan tangan Sahruddin, bisa langsung datang ke kediamannya di Dusun Sumael. Setiap rebana yang ia buat bukan hanya sekadar alat musik, melainkan sebuah karya seni yang merangkum ketulusan dan dedikasi seorang pengrajin sejati.
Satu buah rebana bisa dipakai dalam waktu yang panjang, tinggal kulitnya saja yang terkadang harus diganti, dan Sahruddin pun menerima penggantian kulit tersebut. (*)