Pro Kontra Sistem Pemilihan Kepala Daerah
MAMUJU--Wacana mengubah sistem penyelenggaraan Pilkada langsung menjadi dipilih oleh DPRD menuai ragam tanggapan. Ada yang setuju dengan berbagai pertimbangannya, ada pula yang dengan tegas menyuarakan penolakannya.
Hamdan Dangkang, Wakil Rektor UNIKA Mamuju jadi salah satu pihak yang mendukung pelaksanaan Pilkada cukup dilakukan oleh DPRD. Selain karena biaya yang terbilang sangat tinggi, pelaksanaan Pilkada langsung pun seringkali diwarnai konflik horizontal dan kegaduhan antar kandidat. Sesuatu yang dapat mempengaruhi keamanan dan ketertiban.
"Pilkada langsung rentan terhadap praktik money politic. Kandidat menggunakan uang untuk mempengaruhi hasil pemilihan dengan menghalalkan segala cara dalam bentuk sogokan atau suap baik kepada pemilih bahkan ke penyelenggara sekalipun. Saat ini money politic bahkan sudah menjadi sesuatu yang lumrah digunakan di setiap momen baik Pemilu maupun pemilihan oleh para kandidat," urai Hamdan Dangkang dalam keterangan tertulisnya kepada WACANA.Info, Kamis (19/12).
Pelaksanaan Pilkada langsung, sambung Hamdan punya kecenderungan tinggi memperkuat polarisasi masyarakat. Utamanya jika kandidat menggunakan retorika yang memecah belah, maraknya isu SARA dan politik identitas.
"Keterlibatan oknum tidak bertanggung jawab. Pilkada dapat melibatkan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, seperti pelaku korupsi atau kejahatan lainnya, keterlibatan oknum aparat dan juga penyelenggara," sambung Hamdan, mantan Ketua KPU Kabupaten Mamuju itu.
Pilkada cukup dilaksanakan di DPRD secara tidak langsung bakal meningkatkan integritas pemilihan. Memastikan proses pemilihan yang adil, transparan, dan bebas dari praktek kecurangan dari penyelenggara yang beberapa kali pemilihan sering terjadi.
Pengawasannya pun terbatas. Menurut Hamdan, pengawasan jika Pilkada dilakukan di DPRD hanya dilaksanakan di lembaga DPRD saja guna memastikan para kandidat tidak melakukan praktik money politic dan retorika yang dapat memecah belah.
Hamdan Dangkang. (Foto/Manaf Harmay)
"Serta pengembangan kualitas kandidat. Dengan dikembalikannya pemilihan ke DPRD maka akan meningkatkan kualitas kandidat dengan cara memperkuat seleksi dan verifikasi calon. Lalu keamanan dan stabilitas yang dapat dipastikan. Tidak akan menimbulkan lagi konflik dan demo anarkis karena ketidakpuasan selama proses pemilihan," urai dia.
"Bagi saya, kita dapat kembali memikirkan pelaksanan Pilkada dikembalikan ke DPRD. Di samping alasan efesiensi anggaran, juga mencegah hadirnya pemimpin korup karena harus mengeluarkan biaya yang sangat tinggi dengan pendapatan yang sangat tidak sesuai saat mereka menjabat nantinya," pungkas Hamdan Dangkang.
Kuatkan Pendidikan Politik, Bukan Mengubah Sistem Pilkada
Perspektif berbeda datang dari ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Sulawesi Barat, Rahmat Idrus. Bagi dia, mengubah sistem pelaksanaan Pilkada sama halnya dengan mengingkari semangat demokrasi yang telah diperjuangkan selama ini.
"Toh, sudah sejak beberapa puluh tahun kita merasakan sistem pemilihan kepala daerah lewat DPRD. Di rezim orde lama dan orde baru. Toh, hasilnya mengecewakan juga. Itu juga jadi salah satu alasannya hingga salah satu buah reformasi yang kita perjuangkan adalah sistem Pilkada langsung. Wujud dari substansi pelaksanaan sistem demokrasi," terang Rahmat Idrus.
Amandemen Undang Undang Dasar jadi salah satu keharusan saat semangat reformasi sudah sedemikian membuncahnya. Kata Rahmat, desakan untuk mengembalikan marwah demokrasi itu sudah sebegitu besar hingga amandemen Undang Undang jadi satu keharusan, kala itu.
Bagi Rahmat, mengubah sistem Pilkada merupakan langkah mundur bagi peradaban demokrasi di Indonesia. Ketimbang mengubah, negara sebaiknya memberi sentuhan perbaikan pada sistem pelaksanaan Pilkada langsung yang dirasa masih perlu ditinjau ulang.
"Apa yang diperbaiki itu bagi saya yah harusnya teknisnya. Pemerintah harus secara serius memberikan pendidikan politik yang baik. Dari sisi itu, siapa yang diperintahkan ?, yah menurut saya amandemen itu Undang-Undang Parpol. Dipertegas di situ bahwa Parpol yang harus mendidik masyarakat untuk memilih. Kan yang mengusung calon Parpol juga. Tugasnya lah Parpol itu yang melakukan pendidikan politik," beber Ramat.
Idealnya, masih oleh Rahmat, yang diperbaiki adalah teknis pelaksanaan Pilkada. Termasuk di dalamnya pendidikan politik. Bukan dengan cara memindahkan masalah ke DPRD.
Rahmat Idrus. (Foto/Manaf Harmay)
"Sebab tidak ada juga garansi apa-apa bahwa jika dilakukan di DPRD, keadaannya akan lebih baik. Demokrasi kita akan mundur ketika kembalikan pemilihan itu ke DPRD," Rahmat menambahkan.
Dari kaca mata hukum tata negara, Rahmat melihat, mengubah sistem Pilkada adalah langkah yang rumit. Prosesnya akan panjang, karena harus dilakukan revisi terhadap Undang-Undang kepala daerah. Rawan untuk di kemudian hari dipersoalkan, dilakukan uji materi, baik itu isi, maupun substansinya.
"Karena akan dianggap bertentangan dengan semangat Undang-Undang Dasar hasil amandemen. Kalau mau dilakukan itu kan harus dilakukan secara menyeluruh. Dari aspek hukumnya harus secara menyeluruh, tidak bisa hanya sebatas merevisi Undang-Undang Pilkada saja," cetus Rahmat, Presidium KAHMI Sulawesi Barat itu.
Substansi dari amandemen Undang-Undang Dasar memberi penegasan untuk dua aspek utama. Pertama, kata Rahmat, penegasan tentang prinsip negara hukum. Kemudian penguatan prinsip hak azasi manusia.
"Nah secara prinsip hak azasi manusia, di situ ada hak bagi setiap warga negara untuk memilih dan dipilih. itu yang turun ke Undang-Undang, diterjemahkan lewat Undang-Undang. Itu semua yang harus diperhatikan kalau kita bicara mekanisme hukum ketatanegaraan. Kalau sekadar merevisi Undang-Undang Pilkada, saya kira itu akan rawan untuk dipersoalkan baik secara formil, maupun substansi," terangnya.
Di sistem pelaksanaan Pilkada secara langsung saja, sebagian lapisan masyarakat yang tidak punya power, tidak punya kemampuan finansial, hampir tak punya kesempatan dalam hal pemenuhan haknya untuk dipilih.
"Bagaimana jika sistemnya sudah sedemikian elitisnya. Dikembalikan ke DPRD. Sudah lebih tertutup lagi ruang-ruang keterlibatan publik. Tidak akan ada lagi anak-anak petani, anak-anak nelayan yang bisa menjadi kepala daerah. Ruang-ruang itu akan sulit. Yang dominan nantinya adalah siapa yang kuat suaranya di parlemen, dan itu sudah bisa kita tahu semua. Kalau kita masih menyatakan diri sebagai publik yang mendukung demokratisasi, mendukung prinsip penguatan negara hukum dan menjunjung tinggi hak azasi manusia, yah kita jelas akan menolak wacana Pilkada yang dilaksanakan di DPRD," Rahmat Idrus menutup.
Semua bermula saat Presiden Prabowo Subianto mengusulkan agar kepala daerah tak lagi dipilih oleh rakyat melainkan oleh legislatif. Salah satu pertimbangannya Pilkada serentak diklaim menguras anggaran mencapai Rp 37 Triliun pada Pilkada 2024. (*/Naf)