Kena Prank Penjual Durian, Sakitnya Tuh di Sini...

Wacana.info
Momen Saat Aku dan Ibuku Sedang Bernegosiasi dengan Penjual Durian, Foto Diabadikan oleh Istri Tercinta.

Oleh: Manaf Harmay

Cerita ini nyata adanya. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita lainnya, itu buka kebetulan, karena memang ada unsur kesengajaan di dalamnya.

"Tidak rugi je ki ini Pak ?. Jangan sampai rugi ki, saya juga tidak mau itu,". Apa yang disampaikan ibu ku ke salah satu penjual durian di jalan Yo Sudarso Mamuju itu seolah terus berulang di kepalaku. Bahkan sampai tulisan ini kubuat. Macam 'Hari Bersamanya' saja di playlist lagu yang terus kuputar di perangkat pemutar musik jadul kepunyaanku.

Semua bermula saat di tengah jalan, ibu ku tiba-tiba saja mengungkap keinginannya untuk menyantap buah durian. Kurasa itu sindiran dari beliau agar segera kutraktir ia berikut seisi rumah menikmati buah yang sering disebut rajanya buah itu.

Tanpa pikir panjang, langsung kuajak ia ke jalan Yos Sudarso Mamuju. Tepat di belakang d'Maleo hotel Mamuju, ada banyak penjual durian berjajar, menjajakan dagangannya.

Hingga mata ku tertuju pada satu penjual durian. Berbekal kendaraan bak terbuka, kulihat ada dua orang penjual durian di sana. Laki-laki dan perempuan, entah mereka pasangan suami istri atau bukan, tak penting bagiku memastikannya.

Kukawal ibu ku melihat-lihat beberapa biji durian yang ia jual. Penjual yang laki-laki pun menawarkan duriannya. Ukurannya memang besar, dia tawarkan Rp 100.000 untuk dua biji. Termasuk durian berukuran lebih besar lagi yang ia tawarkan seharga Rp 100.000 per bijinya.

Lama bernegosiasi, ibu ku pun deal dengan harga Rp 130.000 untuk empat biji durian. Aku pun begitu, tak kuasa kutahan hasrat menyantap durian yang ukurannya lebih besar lagi itu. Kutawar ia ke harga Rp. 70.000. Dan Alhamdulillahnya, penjualnya tak keberatan.

Secepat kilat masing-masing durian yang kami beli itu sudah ada di mobil. Aku bahkan tak lagi sempat melihat bagaimana penjual durian itu bisa begitu cepat memindahkan durian yang telah terjual itu ke bagasi mobil, mobil second berlogo 'S' yang dibeli ibu ku beberapa bulan lalu.

"Tidak rugi je ki ini Pak ?. Jangan sampai rugi ki, saya juga tidak mau itu,". Mantra itu pun keluar dari mulut ibu ku. Berbicara ke penjual duriannya. Ibu ku luar biasa, masih sempat memikirkan nasib sang penjual durian itu.

Satu kepuasan tersendiri juga kurasakan. Bisa mekporsikan sedikit rezeki untuk memenuhi keinginan ibu dan 'orang di rumah'. Termasuk kebanggan yang luar biasa di hadapan istri, sebab kubawakan ia durian berkualitas. Paling tidak dari sisi harga dan ukurannya.

Kubawa ibu ku kerumahnya di Karema. Kuturunkan enam biji durian milik 'orang rumah' itu, langsung ke dapur. Aku pun bergegas pulang ke rumah dengan perasaan yang senang. Istriku pasti kegirangan melihat durian berukuran besar dan mahal yang baru kubeli ini, gumamku dalam hati.

"Bu, ada parang ?,", kutanya istriku saat telah siap membuka durian berukuran besar itu. "Mana ada parang ta', tidak ada memang parang di rumah," jawabnya.

Oh iya, tak pernah memang kusiapkan parang di gubuk sederhanaku ini. "Pakai obeng saja ayah," kata perempuan yang telah memberiku satu putra itu.

Kumainklah obeng itu. Kubuka duriannya dengan sangat susah payah. Usaha ekstra untuk membuka durian itu bikin aku yakin, isinya pasti nikmat, usaha tak akan menghianati hasil kan ?.

Tak cuma keringat yang bercucuran, jari jempolku bahkan sampai terluka saat berjibaku dengan sebiji durian yang baru kubeli itu. Istriku dengan setianya menunggu sampai si raja buah itu benar-benar terbuka.

"Belah duren ini ee," ucap sang istri merujuk ke hits kepunyaan Julia Perez itu.

Hingga akhirnya durian itu sukses 'kutelanjangi'. Hasilnya ? bikin hati ini remuk redam. Asli luluh lantak yang kata Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti hancur sama sekali. Teteh Rossa seolah muncul dari balik panggung dengan suaranya yang khas menyanyikan 'kumenangis... membayangkan, betapa kejamnya dirimu atas diriku....'

Ingin rasanya kuberkata kasar saat itu juga. Tak mampu kutahan ragam kutukan di pikiranku yang detik itu juga langsung kualamatkan ke penjual durian itu. Sempat kuingat janji sang penujual durian tadi, saat kutanyakan bagaimana kualitas isi durian yang kubeli itu.

"Aih tebal ini Pak, bagus. Kalau tidak bagus kembali ki carika. Tandai muka ku,".

Deh, hellooo...!

Bahkan hingga kopi yang kuminum saat kususun tulisan ini tersisa setengah gelas, belum juga hilang kekecewaan itu. Sakit, tapi tak berdarah. Bagaimana tidak, ekspektasiku yang terlanjur 'melambung jauh terbang tinggi bersama mimpi' itu harus dituntaskan dengan cara yang sangat tidak layak. Apa kabarnya dengan durian yang kuturunkan di rumah ibu ku itu ?. Hingga kini tak kuasa aku menyanyakannya.

Lain kali, mungkin lebih baik untuk tak mendesain ekspektasi yang kelewat tinggi yah ?. (Naf/A)