Fatwa Ulama; Riwayatmu Kini

Wacana.info
Anwar Sadat. (Foto/Istimewa)

Oleh: Dr, Anwar Sadat, M.Ag (Wakil Ketua Ketua III STAIN Majene)

Pertengahan tahun 1998, saya mengikuti pembukaan kuliah di program Pascasarjana IAIN Alauddin Makassar (sekarang UIN Alauddin). Acara itu saya ikuti setelah dinyatakan lulus biaya mandiri dalam proses seleksi sebagai mahasiswa program Strata II satu bulan sebelumnya. 

Seingat saya, Direktur PPs tahun itu adalah Ibu Prof. Dr. Hj.Andi Rasdianah. Hari itu pematerinya tunggal didatangkan langsung dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yakni Prof. Dr. Harun Nasution. Seorang Maha Guru senior yang hasil karyanya menjadi rujukan semua PTKIN se Indonesia bahkan sebagian Malaysia. 

Masih sangat jelas dalam ingatan bahwa pemandu acara tersebut tidak lain adalah guru kami Dr. H. Ahmad M Sewang, M A. Yang belakangan kemudian kami kenal dengan sapaan akrab sebagai Prof. Ahmad Sewang atau Prof Sewang.

Acara tersebut berlangsung meriah karena paradigma pemikiran yang ditawarkan sangat rasional dan memancing perdebatan panjang dari audiens yang memang sedang haus dengan konsep pembaruan. Secara rinci saya tentu tidak ingat persis tentang uraian pandang beliau. Meski yang masih melekat dalam ingatan ketika moderator memberikan closing statment yang cukup menggelitik.

Beliau mengatakan bahwa peranan ulama dari masa ke masa semakin tergerus oleh institusi-institusi modern. Dahulu, masyarakat sangat mengagungkan ulama. Kapasitas yang dimiliki seorang ulama selalu multikompleks atau dalam bahasa milenial sekarang multi talenta. 

Di samping sebagai tokoh agama (panutan spritual), ulama juga sekaligus menjadi tokoh masyarakat. Hampir seluruh tumpuan hidup masyarakat selalu bersandar pada ulama, setidaknya meminta pandangan ulama. 

Prof Sewang memberikan contoh bahwa ketika ada warga yang sakit, mereka membawa si sakit ke ulama. Ketika ada warga yang kecurian, mereka ke ulama. Ketika hendak menuntut ilmu agama bahkan ilmu silat, mereka ke ulama. Ketika warga butuh hiburan mereka ke ulama. Ketika hendak membangun atau membeli atau sekadar masuk ke rumah baru mereka ke ulama. 

Pendek kata, hampir seluruh aktifitas masyarakat selalu melibatkan ulama. 

Hari ini sudah banyak bermunculan institusi-institusi modern dan menggatikan peranan ulama. Ketika ada yang sakit mereka ke dokter, tidak lagi ke ulama. Ketika  ada yang kecurian mereka melapor ke polisi, tidak lagi ke ulama. Ketika  warga butuh hiburan mereka menyewa electone, atau hendak menuntut ilmu mereka bersekolah. Tidak lagi meramaikan rumah Ulama, dan seterusnya.

Kenyataan ini memberikan gambaran bahwa peranan ulama dari masa ke masa semakin dipersempit oleh hadirnya pihak lain.  Mohon maaf, mungkin peranan ulama yang tersisa saat ini tinggal memimpin shalat di Masjid, membaca doa atau sekadar diminta untuk berfatwa.

Kenyataannya di masa pandemi covid-19 sekarang ini, hadirnya fatwah ulama masih juga dipertentangkan benar atau tidaknya. Bahkan institusi resmi sebesar MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang di dalamnya bergabung sejumlah komponen ulama yang tidak diragukan  kapasitas keilmuannya, masih saja dilecehkan. 

Rasulullah tidak lupa mengingatkan kita bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Ini artinya jika kita masih menghargai Nabi hendaknya kita turut menjaga warisannya. 
Jika peranan ulama masih dipandang sebelah mata oleh pihak tertentu khususnya pada masa merebaknya wabah ini, lantas apa yang tersisa untuk ulama kita hari ini? Apa hanya tinggal pambaca doa atau barzanji ?

Wallahu a'lam bis shawab