Kata JPU Soal Pandangan Saksi Ahli; Tidak Semua Keterangan Ahli Benar

Wacana.info
Lanjutan Sidang Kasus Dugaan Korupsi APBD Sulbar. (Foto/istimewa)

MAMUJU--Pandangan Prof Andi Muhammad Sofyan yang hadir pada lanjutan sidang kasus dugaan korupsi APBD Sulawesi Barat sebagai saksi ahli mendapat tanggapan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU), Mudazzir.

Dalam pandangan Prof Andi Muhammad Sofyan di depan majelis hakim pengadilan Tipikor Mamuju, Senin (30/07), ia menganggap pasal yang didakwakan kepada empat mantan pimpinan DPRD Sulawesi Barat kabur alias tidak jelas.

"Itu menurut pendapatnya dia (ahli). Pendapat itu bisa diambil oleh majelis hakim, JPU ataupun penasehat hukum. Tergantung apakah memang itu sesuai dengan yang kita mau. Dan bagi kami, tapi tidak semua juga keterangan ahli benar," sebut Mudazzir.

Mudazzir mencontohkan, pendapat ahli yang mengatakan, lembaga yang berhak melakukan perhitunga kerugian negara hanyalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

"Memang di undang-undang BPK dijelaskan bahwa yang berhak melakukan perhitunga kerugian negara hanya BPK. Tapi adanya namanya APIP yang di dalamnya ada Inspektorat dan BPKP," sambungnya.

Ia menjelaskan, umumnya yang dilakukan selama ini jika ingin melakukan penyidikan perkara korupsi, itu merujuk pada hasil audit BPKP atau Inspektorat.

"Tapi kalau seperti itu maunya ahli, tidak bakalan ada perkara korupsi di Indonesia. Jaksa juga dapat dikatan ahli dalam hal hukum pidana. Sehingga boleh melalukan perhitungan kerugian negara selama bisa dibuktikan dalam dakwaan," kata dia.

Khusus pada ada atau tidak adanya kerugian negara, Muazzir menilai dalam kasus dugaan korupsi APBD Sulawesi Barat tahun 2016 itu sudah tidak dibutuhkan lagi hasil perhitungan dari BPK.

"Pertanyaannya, apakah itu masih membutuhkan BPK ?. Saya kira tidak perlu. Sehingga tidak semua pernyataan ahli kami sepakat. Apalagi terkait pernyataannya di pasal 2 dan 3 harus ada kerugian negara," tegasnya.

Mudazzir mengurai, hal yang menjadi fokusnya dalam terhadap keterlibatan para terdakwa dalam kasus ini adalah adanya dugaan pemanfaatan jabatannya dalam hal proses pengerjaan sejumlah paket di APBD tahun 2016.

"Pengawasan itu yang kami permasalahkan. Kenapa mereka masuk sampai ke pengawasan teknis, sementara ada yang punya tugas. Dalam unsur pengawasan itu dibedakan atas dua unsur, yakni pengawasan kebijakan dan teknis. Pengawasan teknis merupakan ranah dinas atau SKPD sementara pengawasan kebijakan ranah DPRD," urainya.

"Meskipun sudah tidak tercover di APBD, tapi mereka masih menyimpan catatan atau daftar. Jadi jelas fungsi teknis tidak bisa mereka masuki, sehingga kami masih sangat yakin dengan dakwaan pasal 12 huruf (i), juga pasal 22," ungkapnya.

Empat mantan pimpinan DPRD Sulawesi Barat itu didakwa dengan empat pasal. pasal 12 huruf (i), kedua pasal 22 Undang-Undang nepotisme, Undang-Undang 28 tahun 1999 tentang KKN dan subsider pasal 3 Undang-Undang Tipikor.

"Kalau mereka melampai kewenangan, apakah itu tidak salah ?. Itu tadi yang saya tanyakan sama ahli, sementara kita tahu bahwa ada perbuatan aktif dan pasif, dan kami temukan perbuatan aktif. Seharusnya tugas fungsi DPRD hanya sampai di persetujuan Perda, tapi mereka masih mengurusi hingga teknis," cetusnya.

Mudazzir meyakini, ada banyak yang dapat membuktikan empat terdakwa itu benar-benar bersalah pada dugaan kasus korupsi tersebut. 

"Kita tidak meski harus selalu mengikut pada kebiasaan hakim yang menerapkan pasal 2 dan 3. Sementara diketahui, ada tujuh jenis perbuatan melawan hukum di Undang-Undang Tipikor dan salah satu jenisnya adalah pasal 2 dan 3 kerugian negara. Ada jenis lainnya yakni gratifikasi, sehingga pasal di luar dari kerugian negara bisa kami masukan. Jadi jangan terlalu kaku. Apa gunanya semua poin di Undang-Undang Tipikor kalau yang bisa masuk hanya pasal 2 dan 3," pungkas Mudazzir. (*/Naf)