Paradigma

Oon dan Pelajaran Hidup

Wacana.info
Lukman Rahim. (Foto/Istimewa)

Oleh: Lukman Rahim (Sekretaris Ikatan Wartawan Online Sulbar)

...Dan si Oon pun berlari dan terus berlari. Ia tak memperdulikan kakinya yang tak beralas tersayat tajamnya serpihan batu dan duri belukar. Dalam benaknya hanya satu, saya harus mengadu. Meski ia tak tahu harus mengadu kepada siapa.

Oon merasa hidupnya tak berarti dan tidak diartikan oleh kehidupan. Saban waktu ia hanya menjadi cibiran dari orang-orang di kampungnya, terlebih di hadapan sebayanya. Kedua orang tua Oon telah terlebih dahulu menghadap Ilahi kala ia masih berumur 2 bulan.

Ia diasuh dan dibesarkan oleh neneknya yang sudah sangat renta. Untuk makan sehari-hari, ia dan neneknya hanya memakan ubi liar yang banyak tumbuh di hutan tak jauh dari gubuk tempat tinggalnya.

Selain renta, keterbelakangan mental yang dialami oleh sang nenek membuat Oon tumbuh tidak seperti anak kebanyakan. Pernah di usianya yang menginjak 2 tahun, Oon mengalami panas yang cukup tinggi, oleh neneknya ia hanya diberi daun waru sebagai kompres peredam panas.

Tuhan masih sangat sayang terhadap nenek Oon sehingga nyawanya masih dapat tertolong hingga di usianya yang terus menua. Ia, itu karena Oon satu-satunya manusia di dunia ini yang menemani orang tua renta itu saat malam dingin dan sunyi yang menyelimuti gubuk tua tempat mereka hidup.

Selain karena kemiskinan dan tak begitu fasih menyebut kalimat, cara berpikir Oon yang tidak sama dengan kebanyakan teman sebanyanya menjadikan Oon sangat dikucilkan.

Pernah suatu ketika Oon mengikat kain bekas di lehernya. Ia berlari memutari rumah-rumah warga, seakan-akan ia terbang di antara pengunungan. Bagi orang yang melihatnya, itu sudah seperti sebuah kegilaan, padahal jauh di negeri lain, film super hero dengan gambaran manusia terbang mulai diputar di layar kaca.

Maklum saja orang kampung di tahun 70-an masih belum mengenal namanya Superman.

Tak sampai disitu, Oon saat menginjak usia 10 tahun pernah dihukum cambuk ditonton warga kampung dibalai desa karena dianggap akan mencuri ikan dalam kolam milik warga. Padahal saat itu ia hendak menolong anak perempuan yang tercebur ke dalam kolam.

Sejak peristiwa itu, Oon dicap sebagai anak yang tidak baik dan punya keterbelakangan mental. Padahal warga tahu jika Oon sering mengusir binatang yang memakan padi petani atau berjalan jauh ke tengah hutan hanya untuk memperbaiki saluran sumber air warga kampung yang tersumbat ranting dan daun yang terbawa air hujan.

Genap umur Oon 17 tahun, ia pernah hampir dibakar hidup-hidup karena dianggap melanggar norma kampung lantaran menentang kebijakan yang mengharuskan setiap warga mengumpulkan sekaleng beras sebagai sumbangan membangun jalan.

Bagi Oon nilai sekaleng beras sama dengan sebagian dari hidupnya yang bakalan tidak mampu ia penuhi. Juga karena ia pernah melihat orang yang dipercayai mengelola anggaran pembangunan jalan, mabuk-mabukan bersama perempuan di warung sudut pasar kecamatan.  
Memang di tahun 80-an, protes terhadap sesorang yang punya jabatan merupakan hal yang tabu kala itu. Karena kuatnya tekanan rezim oteriter sehingga protes sedikit saja bisa masuk bui.

Puncak dari rasa terpuruk yang dialami oleh Oon ketika hatinya tertambat kepada seorang gadis. Dia adalah anak dari seorang terpandang di kampungnya, gadis itu adalah anak yang pernah ia tolong saat terjatuh ke dalam kolam.

Kedekatan keduanya memang erat setelah peristiwa itu. Hampir setiap hari mereka sering bermain di kebun dan hutan. Dari kedekatan itu sampai keduanya dewasa, benih cinta pun tumbuh dan bersemi.

Cinta Oon dan gadis tidak seperti roman picisan. Bukan restu orang tua yang tidak didapatkan, namun warga kampung yang tidak merestui hubungan keduannya. Bagi warga kampung, Oon merupakan kutukan roh leluhur. Jangankan bercinta, bersahabat dengannya pun adalah kesialan bagi mereka.

Pernah satu ketika kedekatan itu dimusyawarahkan di balai desa. Hasil dari rembuk para orang tua kampung, keduannya harus dipisahkan dengan jalan mengawinkan sang gadis dengan anak tuan tanah. Padahal dalam musyawarah itu ada intrik dari anak tuan tanah yang diam-diam memendam perasaan kepada gadis pujaan Oon.

Pesta pernikahan pun digelar. Pertunjukan pentas musik diadakan tujuh hari tujuh malam. Semua berpesta, seluruh warga tertawa riang. Yang anak-anak memakai baju bagus berlari ke sana ke mari kegirangan.

Tinggallah Oon bersandar pada pohon besar yang tumbuh di belakang rumahnya. seluruh hidupnya seakan sirna. Tatapannya kosong, mukanya kaku hingga lalat yang hinggap di bibirnya tak lagi dihiraukannya.

Sejak hajatan pernikahan itu dilangsungkan, Oon hanya duduk lunglai di sana. Rambutnya yang ikal terlihat acak-acakan. Semut hitam yang berjalan bergerombol melewati badannya tak lagi ia rasakan. Sang nenek pun hanya terbaring lemah di balai bambu melihat cucunya dari balik pintu yang sedikit terbuka.

Bulan belum sepenuhnya purnama. Badan Oon mulai bergerak, namun hanya meluruskan badannya yang hampir dalam posisi baring. Ia menatap langit, dipandanginya bulan di sela-sela dedaunan. Dalam hatinya bergumam, bermunajat memohon pentunjuk akan masalah hidup yang dialaminya.

Oon tahu jika dunia dan isinya ada Pemiliknya Yang Agung. Meskipun ia tak pernah diajari soal konsep Ketuhanan sejak kecil seperti anak-anak yang lain.

Malam itu ia lewati dengan beribu tanya. Hingga tak terasa sinar mentari mulai menyinari kampung. Burung-burungpun berkejaran di ranting-ranting pohon berkicau menjambut pagi yang cerah. Oon yang tak pernah memejamkan mata, bangkit dari duduknya. Badannya terasa kaku, Persendiannya seperti tak lagi berfungsi baik.

Setelah menghela nafas ia membalikkan diri berjalan masuk ke dalam gubuk dengan terseok-seok.

Sang nenek terlihat masih di pembaringan, namun tangannya mengelantung ke tanah. Badanya terasa dingin dan pucat. Oon coba membangunkan namun tak berhasil. Orang yang paling berharga dalam hidupnya itu rupanya telah dipanggil oleh Sang Maha Penyanyang. Mata Oon mulai berkaca-kaca sembari terus menggoyangkan tubuh neneknya.

Ia pun menangis histeris kemudian beranjak meniggalkan gumbuk. Di depan gubuk ia pun roboh. Selang berapa lama, ia bangun dan berlari, terus berlari dengan sempoyongan menembus lebatnya hutan.

Dalam dirinya ia ingin mengadukan nasibnya. Tapi tak tahu mengadu ke mana. Hingga kakinya salah menginjak tebing jurang, ia sempat meraih rumput agar tak jatuh, namun akar rumput tak kuat untuk menahan badannya.

Ia terperosok ke dalam jurang. Kepalanya terbentur batu sungai yang cadas di dasar jurang.

Saat tersadar, Oon melihat 4 orang memakai baju putih bercahaya berdiri di hadapanya. Mereka adalah ayah, ibu dan neneknya. Mereka tersenyum bersama seorang laki-laki berjanggut dan berjubah. Keempat orang itu lalu mengandeng tangan Oon dan membawanya pergi.

Tak satu pun warga kampung yang mengetahui kejadian itu. Semua masih larut dalam pesta. Sementara sang gadis yang duduk meyendiri di balik tirai jendela dengan make up yang masih menempel di wajah cantiknya. Matanya merah karena tangisan. Dalam hatinya seperti berbisik lirih, itu bikin nafasnya seolah terhenti sejenak. Pun dengan detak jantungnya yang tak lagi beraturan. Bisikan itu mengisyaratkan pesan suci dari sang terkasih; "Aku Pamit"