Kemajemukan yang Tercekik

Wacana.info
Nur Salim Ismail. (Foto/Facebook)

Oleh: Nur Salim Ismail (Direktur Lembaga Esensi Sulawesi Barat)

Istilah majemuk dalam lanskap kehidupan adalah keniscayaan. Kemajemukan adalah warna tersendiri dari kehidupan itu. Di dalamnya, manusia saling menyapa, mendalami serta memahami satu dengan lainnya. Perbedaan (ikhtilaf) tak melulu disejajarkan dengan perseteruan dan permusuhan (al ‘udwan). Perbedaan disemaikan sebagai fitrah kehidupan yang taken for granted.

Hidup majemuk juga punya tarikan nafas yang sama dengan harapan saling merangkul pada kepentingan kemanusiaan. Perbedaan agama, budaya, pilihan politik serta keragaman stereotipe merupakan akumulasi pembeda yang tak selamanya harus dibedakan. Apalagi ditertentangkan.

Namun argumentasi ini bukan tanpa hambatan. Arus besar perlawanan kini menembus ruang-ruang strategis. Mulai dari pintu pendidikan, hingga singgasana kekuasaan. Termasuk pada mekanisme instan yang melanda manusia modern dalam memahami realitas. Jadilah kehidupan majemuk ini kian tercekik di medannya sendiri.

Bukan hanya itu, argumentasi kemajemukan tak jarang dijadikan sebagai senjata makan tuan. Para penentang gagasan ini merayap masuk ke dalamnya, lalu menegaskan diri bahwa konskuensi paham keragaman atas perbedaan adalah menerima gagasan penyeragaman.

Tak hanya sampai disitu, kehendak penyeragaman berkontribusi mematikan potensi kekayaan intelektual disebabkan sikap kukuh terhadap manhaj yang dibangunnya. Sebagai dalih atas sikap yang ditampakkan. Hasilnya, agama selalu menjadi objek yang pas menjadi benteng legitimasi kebenaran. Di tempat inilah, kekerasan dibenarkan, caci maki diserukan, korupsi menjelma dalam istilah harta rampasan perang (ghanimah) dan provokasi dipahami motivasi.

Lagi-lagi kita harus mengakui, hal fundamental dari persoalan ini ada pada kegagalan membaca konsep dalam lintasan pengetahuan yang utuh. Sebagai contoh, dalam tradisi penafsiran al Quran. Saat ini cenderung datar dalam memahami dua hal yang tampak mirip, namun sesungguhnya berbeda. Yaitu, antara menerjemahkan al Quran dan menafsirkan al Quran.

Menerjemahkan al Quran memang relatif lebih mudah dioperasikan. Sebab hal itu tak ubahnya hanya menyajikan sejumlah kosa kata dasar. Namun itu sungguh-sungguh tak cukup jika hendak dijadikan sebagai produk pemahaman yang tepat terhadap ajaran agama. Kita butuh Tafsir yang sesuai dengan landasan, korelasi, historisitas hingga pada metode yang tepat. Tak terkecuali, juga pada kemampuan menerima racikan tafsir lain dengan beberapa penonjolan perspektif keilmuan.

Keterbatasan memahami teks-teks agama hanya akan menghasilkan umat yang sebatas punya semangat berapi-api, namun mudah padam dikarenakan perangkat pemahaman yang terlampau gampang dibengkokkan.

Kecenderungan lain, kata Yusuf Qardhawy (2017), ada pada kehendak memahami teks-teks agama dalam tinjauan harfiah saja. Padahal justeru sangat berbahaya jika mematok pandangan zhahiri sebagai basis kerja memahami dalil. Di sini otoritas ulama yang benar-benar mumpuni memahami kompleksitas nash penting dihadirkan.

Di sisi lain,  kita pun akan menemukan adanya pertentangan yang seringkali menonjolkan problematika sampingan, lalu melupakan persoalan-persoalan mendasar bagi kehidupan dan kemanusiaan. Dapat dibayangkan, ketika media sosial hari ini menyajikan konten dakwah yang saling menyerang satu sama lain. Lalu dengan mudahnya menyebut bahwa di luar sana, terlalu banyak praktik beragama yang menyimpang, hanya karena perbedaan dalam menafsir pesan-pesan ilahi.

Pertanyaannya, adakah hal ini ditemukan dalam fakta paling empirik? Jawabnya, ada. Temukanlah dunia pendidikan hari ini yang cenderung lumpuh menghadapi paparan para penghalau kemajemukan. Sekolah yang diharapkan sanggup merancang generasi bermental majemuk justeru diperhadapkan pada realitas yang berdeda. Ajaran agama kian dogmatis dalam penyajiannya. Tanpa menimbang lintasan perspektif komparatif lainnya.

Hasil dari evaluasi itu adalah melakukan percepatan transformasi kapasitas guru-guru agama agar-benar-benar tak hanya menyajikan bahan ajar agama. Namun juga mampu mendudukkan secara tepat, benar dan terarah. Ringkasnya, guru-guru agama mesti memahami dengan baik sejumlah perangkat keilmuan yang berlaku dalam tradisi Agama.  

Bukan hanya itu, singgasana kekuasaan juga gagal merancang masa depan kemajemukan. Agama, dalam pandangan kekuasaan tak ubahnya hanya menjadi objek pencanangan yang takkan pernah menyentuh aspek hakiki dalam kehidupan. Agama hanya dibangun dengan aneka rupa ajaran privat yang ‘dipublikkan’. Sementara panggung belakang kekuasaan terus memberi pembiaran terhadap budaya korupsi, nepotisme dan sejumlah ambisi lainnya.

Bukankah hal itu menjadi bukti nyata bahwa kekuasaan telah memainkan sejumlah ajaran subtantif? Dalam bentuk yang lebih tegas, apa guna bicara kesalehan, jika korupsi dan perampasan hak kaum miskin terus-menerus dipertontonkan? 

Di sini, rancang bangun tata kelola kemajemukan tampaknya sulit diharapkan akan hadir dari rahim kekuasaan. Di samping karena dipandang tak punya urgensitas, juga disebabkan oleh kapasitas pembacaan holistik yang minus. Atau dalam istilah Bikhu Parekh, tak punya penghormatan terhadap budaya.

Karena itu, dua objek di atas penting untuk dicermati lebih serius. Bahwa dunia pendidikan dan medan kekuasaan tampaknya sedang menjauh. Bahkan turut serta mencekik dimensi kemajemukan.

Billahittawfiq wal Hidayah...