Membincang Perempuan dan Parlemen

YOGJAKARTA--Peranan perempuan di kancah politik telah diperkuat dengan adanya UU No. 2 tahun 2008 yang memuat tentang kebijakan yang mengharuskan partai politik melibatkan seminimalnya 30 Persen perempuan baik dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat.
Namun, sejak 1999 hingga 2014, jumlah perempuan yang menduduki kursi DPR-RI belum pernah mencapai angka 30 Persen. Menelisik ke belakang, di tahun 1999 hanya ada 45 perempuan atau sekitar 9 Persen saja yang menduduki kursi parlemen. Setelah itu pada tahun 2004, peranan wanita dalam parlemen meingkat 3, Persen, Sekitar 62 orang mampu berada di barisan wakil rakyat.
Begitupula pada tahun 2009 mengalami peningkatan, pada pemilu tahun ini ada 102 perempuan (18 Persen) yang memberikan kontribusinya.
Tahun ini merupakan tahun dengan persentase tertinggi selama Pemilu berlangsung, karena pada tahun 2014 peranan perempuan dalam parlemen mulai berkurang. Jika dilihat dari segi kuantitatif, hanya 97 perempuan (17 Persen) yang menduduki kursi parlemen tersebut.
Perempuan dan laki-laki mempunyai ruang yang sama dalam politik. Namun untuk saat ini tidak dipungkiri bahwa ada beberapa tantangan dalam pemenuhan kuota 30 Persen tersebut.
Satu dari sekian banyak tantangan yang dimaksud adalah ketidakmauan dan kurangnya kepercayaan diri perempuan untuk terjun lansung ke ranah politik.
Seperti yang disampaikan Ketua DPRD Mamuju, Suraidah Suhardi saat menghadiri sarasehan 'Perempuan dan Parlemen' yang diadakan oleh Ikatan Keluarga Mahasiswa Mandar Sulawesi Barat di Basabasi cafe, Yogjakarta, kemarin.
“Pandangan wanita yang harus di rumah itu tidak bisa lagi. Itu adalah manifesto yang sudah sangat tua. R.A. Kartini kan hadir untuk menggebrak hal itu. Kita sudah hidup di zaman merdeka, maka kita harus menghargai perjuangan R.A. kartini tersebut. Hal yang bisa kita lakukan adalah menjawab keraguan masyarakat dengan kemampuan diri dan terus bersosialisasi. Karena bagaimana kita akan menyampaikan suara-suara perempuan jika kita tidak pernah membaur dalam masyarakat," tutur Suraidah di hadapan sejumlah peserta sarasehan.
Politisi berparas cantik itu menambahkan, peranan perempuan dalam parlemen sangatlah berguna, apalagi untuk menyuarakan suara-suara perempuan, yang bisa jadi tidak akan dilihat oleh kaum adam.
Seperti halnya pengadaan fasilitas-fasilitas umum yang memang di khususkan untuk perempuan. Seperti adanya bis khusus perempuan dan ruangan khusus di gerbong kereta api bagi perempuan yang menyusui.
“Perempuan dan Parlemen adalah tentang kemauan. Belajar untuk bagaimana bisa melangkah ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Kita bisa membantu pemerintah untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan kita ketika berada dalam jalur parlemen. Seperti yang kita lihat,” uranya.
ketua KKMSB (Kerukunan Keluarga Mandar Sulawesi Barat), Rifai Halim ikut menegaskan bahwa perempuan itu harus maju, cerdas, dan harus menjadi oknum yang progresif dengan tidak hanya berada di belakang publik namun juga dapat tampil dan berkarya di dalam parlemen.
“Ini masalah gender ya. Kalau kita kembali pada perjuangan Kartini yang memperjuangkan hak-hak wanita, sekarang ini sudah sejajar. Namun itu tadi bagaimana caranya agar menumbuhkan peran wanita untuk berparlemen dan berpolitik. Kita ini mengharapkan mahasiswa-mahasiswa yang ada di Jogja ini ikut berpolitik. Namun, sebelum itu lebih baik mebuat karya terlebih dulu baru terjun ke politik. Saya mengharapkan perempuan itu harus maju dan menunjukan peranannya, harus cerdas dan dapat memenuhi kuota 30 Persen tersebut. Namun juga kodratnya sebagai perempuan pun harus dipertakankan. Pokok itu, tidak boleh melupakan kodratnya,” sumbangnya.
“Memang pada awal pelaksanaannya mungkin ada diskriminatif ya dan anggapan apa sih perempuan, nggak bisa apa-apa. Tapi kenyataannya sekarang berbanding terbaik. Banyak juga (perempuan) pemangku kekuasaan yang sangat eksis dan membuktikan peranannya. Semua itu tentang proses saja, ketika dia sudah terjun ke politik, dia akan mengerti bagaimana itu politik dan bagaimana untuk bersikap. Semua itu hanya tentang proses belajar dan nggak ada yang instan," simpulnya.
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Keluarga Mahasiswa Mandar Sulawesi Barat, Hairil Amri menganggap, minimnya pergerakan yang dilakukan perempuan dalam ranah politik, merupakan suatu bentuk manifesto bahwa perempuan saat ini masih belum bisa lepas dari zona nyamannya.
Masih bungkam terhadap masalah-masalah sosial dan politik dalam suatu masyarakat. Partisipasi perempuan dalam bidang sosial dan politik itu masih perlu dipantik. Mengingat sejarah telah menggambarkan bahwa perempuan itu adalah kaum yang cerdik. (*/Naf)