Gender, Episode Tiada Akhir

Wacana.info
Syarifuddin Mandegar. (Foto/Manaf Harmay)

Oleh: Syarifuddin Mandegar (Pemerhati Sosial)

Perkara gender selalu menampilkan babak baru dan tak pernah hilang  ditelan zaman. setiap episodenya tak pernah ada akhirnya. Dari Sumur, dapur, kasur hingga pasar, perkara itu tak pernah lengang disetiap lembaran diskursus para aktivis perempuan. Setelah itu isu gender kemudian dimodifikasi menjadi interior yang menampakkan derita kaum perempuan. Seolah gender milik para perempuan.

Semangat perjuangan gender tersebut berawal dari sejarah kelam ratusan tahun silam dimana doktrin gereja menempatkan perempuan di kursi inferior. Kaum hawa kala itu tidak diberi ruang sedikitpun untuk memperjuangkan eksistensinya sebagai makhluk bebas dan merdeka sebagaimana layaknya kaum adam.

Ibarat mengulang era jahiliyah, kaum perempuan tak dibiarkan menghirup oksigen jagat raya. kenyataan tersebut, tentu saja menyimpan energi dendam kesumat dibatin kaum perempuan. Hingga datangnya abad pertengahan, sorak-sorai kaum hawa bangkit dari tidur panjangnya. Dari bilik-bilik gereja dan rumah mereka menancapkan bendera perlawanan atas derita yang menderanya selama bertahun-tahun.

Adalah aktivis perempuan yang sadar akan kenyataan pahit mereka alami kala itu, menjadi motor lahirnya gerakan gender. Tak tanggung-tanggung gerakan tersebut memadati ruang-ruang akademik melalui program women studies.

Perlahan tapi pasti, women studies menghirup udara segar atas legitimasi perserikatan bangsa-bangsa (PBB) dan membawanya larut dalam dekapan CEDAW   (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women).

Kini di negara-negara barat, gerakan gender tumbuh subur, termasuk di negara-negara mayoritas muslim. Kian tumbuh suburnya gerakan gender tersebut juga mendapat backing (dukungan) dari negara dan organisasi-organisasi perempuan dunia. Bahkan di Indonesia sendiri, LSM dan organisasi perempuan ikut kecipratan.

Cedaw telah menggelandang nasib perempuan untuk berjuang merebut pasar dengan dalih kesetaraan. Mereka bediri tegak dibawah payung revolusi perancis 1789. Gejolak politik pacsa revolusi perancis dimanfaatkan dengan mengusung isu liberty, equality dan fratenity (kebebasan, kesetaraan dan kedamaian) Latar sejarah itu kemudian menjadi aras lahirnya gerakan fenisme.

Ilustrasi. (Foto/Net)

Para feminis kemudian membongkar sesat pikir doktrin gereja terhadap perempuan bahwa gender merupakan konstruksi sosial dan berbeda dengan sex sebagaimana kodrat anatomi biologis. Gender lahir atas pengaruh sosial, budaya, agama dan hukum yang berlaku di masyarakat.  karenanya, gender harus dipahami sebagai konstruksi sosial.

Agresifitas gerakan gender yang begitu mendunia, satu sisi harus diapresiasi karena mampu membonkar sesat pikir eksistensi (keberadaan) kaum perempuan, namun disisi lain, agresefitas itu cukup mengkhawatirkan. Di Indonesia misalnya, gerakan gender yang begitu terorganisir dengan dalih Hak Asasi Manusia mampu mempengaruhi pemerintah dalam pengambilan kebijkan dan menyeruak hingga hal-hal teknis.

Pengaruh itu terbukti ketika semangat Cedaw  (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women) menjadi arus utama disahkannya Undang-undang No. 27 tahun 1984. Tidak hanya itu, begitu kuatnya pengaruh Cedaw makin menunjukkan tajinya setelah dikeluarkannya Undanga-undang No. 23  tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga serta Undang-undang perlindungan anak. Pada ruang politik, kaum hawa bermain dibelakang layar dikeluarkannya UU Pemilu  tahun 2008 tentang kuota caleg perempuan 30 persen.

Gerakan sistematis ini mendapat perhatian serius dari negara sehingga dasar inilah perempuan indonesia merasa memiliki ruang unjuk kekuatan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dialektika sosial, politik dan ekonomi. Sayangnya, tarik menarik kepentingan politik dan ekonomi tak membuahkan harapan undang-undang.

Kuota 30 persen di meja politik lagi-lagi dituding sebagai biang kerok keterbelakangan perempuan dibidang politik. 30 persen itu dianggap sebagai upaya menginferior hak politik perempuan. padahal, hak politik perempuan adalah sama kedudukannya dengan laki-laki.

Di forum-forum ilmiah, di headline media, mereka dengan lantang menolak porsi 30 persen karena dianggap diskriminasi hak-hak politik kaum perempuan. lalu dengan tegas menuding partai politik tidak mampu melakukan kaderisasi terhadap kaum perempuan.

Kecurigaan itu bisa saja diacungkan jempol, jika kuota 30 persen mampu mereka penuhi. Anehnya disetiap momentum pemilu kaum perempuan justeru tidak memilih sesamanya perempuan. pada aspek lain, perempuan yang lolos ke parlemen, justeru mangkir dari dari idealisme gender yang selama ini mereka perjuangkan.

Ilustrasi. (Foto/Net)

Tidak sedikit dari mereka bermigrasi dari kemegahan gedung parlemen ke lembaga pemasyarakatan akibat perilaku korupsi. Mulai dari korupsi dimeja kerja hingga operasi tangkap tangan. Padahal mereka duduk diparlemen, tidak hanya perempuan, laki-laki pun ikut terlibat memilihnya. Implikasi ini membuktikan bahwa keluh-kesah kaum perempuan atas kuota 30 persen tidak selamanya dipandang diskriminatif tetapi lebih pada integritas dan komitmen perempuan memperjuangkan nasib kaum perempuan dari kalangan menengah sampai ke kelangan bawah.     

Parlemen tujuannya bukan untuk bagi-bagi kue politik tetapi lebih pada legalitas amanah rakyat yang melegalisasi nasib kaum perempuan dan laki-laki. Politik harus dimaknai bukan pada aspek kalkulasi kuantitas semata, politik harus diukur dengan kacamata universal, meskipun dialektikanya sarat dengan strategi meraih simpati publik. Artinya, politik tidak bisa dipandang sektarian.

Soal kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Katanya, perempuan menjadi objek penderita. Baru-baru ini, komnas perempuan merilis data kekerasan dalam rumah tangga sebanyak 245.548  kasus yang berujung pada perceraian. Pada ranah personal kekerasan dalam rumah tangga sebanyak 5.784 kasus. (sumber kompas.com). Kasus sebesar itu tentu saja mengetuk nurani keprihatinan kita.

Akan tetapi kasus itu tidak serta merta menjadi altar bahwa para suami begitu beringas di rumah tangganya. Sejatinya kuantitas kasus itu diurai latar masalahnya secara kualitatif. Memang kacamata hukum tidak membenarkan perlakuan kasar terhadap perempuan demikian juga sebaliknya terhadap laki-laki.

Namun secara kultur hal itu sejatinya ditimbang ulang. Dalam soal ini bukan berarti kita ingin membenturkan hukum dengan kultur dimasyarakat. Hal ihwal soal kasus kekerasan terhadap perempuan tersebut sifatnya kasuistik dan tidak serta merta digeneralisasi bahwa nasib perempuan sudah seperti itu adanya.

Boleh jadi diantara kasus itu penyebabnya karena perempuan itu sendiri melampaui batasannya sebagai istri namun tidak tercatat sebagai dalam tindak pidana. Sebab soal itu bersifat abstrak sementara dimata hukum hal-hal abstrak sulit dibuktikan. Karena itu, perkara gender tidak bisa dilihat hanya dengan kacamata empirik saja. Alasan filosofis juga tak kalah pentingnya. Tentunya pendekatan rasionalitas akal adalah kunci utama dalam memandang persoalan gender.

Alasan itu sejatinya membuka kran gender yang lebih akrab dengan kondisi ke-Indonesian kita. genre ketimuran kita mustahil disejajarkan dengan genre gender di barat sana. kendatipun ada yang memiliki kesamaan.

Ilustrasi. (Foto/Net)

Di akhir dari tulisan ini, penulis memberikan empat teori sosial sebagai bahan perenungan kita semua. keempat teori ini penulis kutip dari buku telaah buku argumentasi kesetaraan gender persfektif Al-Qur’an karya Prof. DR. H Nasaruddin Umar (Imam besar Masjid Istiqlal jakarta). Buku itu ditulis oleh Nasitotul Janah. Dalam bukunya Nasitotul menjelaskan argumentasi Nasaruddin Umar, antara lain :

Pertama, Teori Psikoanalisa, yang beranggapan bahwa peran dan relasi gender ditentukan oleh dan mengikuti perkembangan psiko-seksuel terutama dalam masa phallic stage yaitu suatu masa ketika seorang anak mulai mengidentifikasikan jenis kelamin yang dimilikinya dengan jenis bapak atau ibunya, kemudian ia memilih peran berdasarkan identifikasi jenis kelamin tersebut. Menurut teori ini, jenis biologis dipandang sebagai faktor dominan yang menjadi sebab seseorang mengidentifikasikan peran dirinya sesuai jenis biologisnya.

Teori Fungsional Structural, yang berpandangan bahwa pembagian peran dan fungsi laki-laki dan perempuan dikontruksi sedemikian rupa demi menjaga keutuhan, harmonisasi dan stabilitas masyarakat tertentu, bukan untuk kepentingan kompetisi, apalagi rivalisatas antara laki-laki dan perempuan yang justru akan dapat membahayakan keutuhan masyarakat.

Kedua, Teori konflik yang beranggapan bahwa konsepsi gender sepenuhnya dibentuk oleh lingkungan budaya masyarakat. Oleh karenanya marginalisasi perempuan yang tenggelam dibawah hegemoni laki-laki adalah bentuk penindasan. Jadi gender bukanlah kodrat Ilahi, ia sepenuhnya konstruk manusia yang sangat boleh untuk didekontruksi dan dibangun ulang sesuai kebutuhan situasi dan kondisi.

Ketiga, Teori-teori Feminis, yang mencoba mengkritisi dan menyuarakan suara perempuan yang selama ini sangat dimarginalkan dan tenggelam dalam dominasi laki-laki. Menurut Nasaruddin, dalam teori Feminisme ini, suarananya masih beragama yang terkadang tidak sama persepsi dan orientasinya bahkan karena saking semangatnya membela perempuan sehingga terkesan muncul juga wacana-wacana yang utopis dan sama sekali tidak realistis di tengah kehidupan yang pada kenyataannya memang masih didominasi laki-laki. Diantara teori yang populer adalah Feminisme Liberal, Feminisme Marxis-Sosialis, dan Feminisme Radikal.

Keempat, Teori Sosiologis-Biologis, yang berpandangan bahwa yang menyebabkan hegemoni laki-laki adalah dipengaruhi faktor biologi dan juga sosial budaya. Fungsi reproduksi (proses hamil, melahirkan, dan menyusui) memang membuat langkah perempuan lebih lambat dari laki-laki, sedangkan hormon testoron yang ada pada laki-laki justru membuat laki-laki mampu lebih cepat, agresif dan juga progresif.

Menurut Nasaruddin Umar dalam buku itu bahwa diantara teori-teori di atas, menurutnya belum ada yang melibatkan agama.

Teori teori tersebut diatas sudah barang tentu mempunyai unsur-unsur kebenaran. Namun diantara teori tersebut diatas belum ada yang disepakati oleh semua pihak. Apalagi jika diperhatikan teori-teori tersebut tidak satupun diantaranya yang melibatkan nilai-nilai agama sebagai salah satu sumber pertimbangan, padahal nilai-nilai agama merupakan salah satu unsur penting di dalam kehidupan masyarakat. Hampir setiap agama mempunyai kitab suci yang diyakini bersumber dari Yang Maha Sempurna dan Maha Netral.

Dalam konteks itu, hemat Nasitotul Janah tentang perbedaan peran antara laki dan perempuan dalam masyarakat terbagi menjadi 2 (dua) kelompok. Pertama, teori nature, yang berpandangan bahwa perbedaan biologis melahirkan pemisahan fungsi dan tanggungjawab. Laki-laki dianggap lebih kuat, produktif, rasional,agresif dan progresif diberi otoritas di ruang public, sedangkan perempuan yang dibatasi organ reproduksinya dianggap lebih lembut dan emosional ditempatkan di ruang domestic.

Kedua, teori nurture, yang berpandangan bahwa perbedaan peran sosial antara laki-laki adalah konstruksi sosial semata yang dinamis dan terus berubah.  Kedua teori ini, mari kita analisa dengan kepala dingin dan tidak melibatkan ego sentris yang terlalu sektarian yang terlanjur kita kunyah mentah-mentah lalu kita sibuk memperpanjang episode gender yang semestinya diakhiri dengan kembali menata ulang berciri ke-Indonesiaan. Sampai jumpa pada seri kedua tulisan ini. (*)