Catatan dari Dialog Publik Dalam Rangka Memperingati International Right to Know Day

Hitam Putih Keterbukaan Informasi Publik

Wacana.info
Diskusi Publik Keterbukaan Informasi. (Foto/Manaf Harmay)

MAMUJU--Sejarah mencatat, international right to know day atau hari untuk tahu sedunia mulai diperingati secara internasional sejak 28 September 2002 di Sofia, Bulgaria dalam sebuah pertemuan internasional para pembela hak akses atas informasi publik.  Mereka mengusulkan dan menyepakati perlunya hari khusus yang didedikasikan untuk mempromosikan ke seluruh dunia tentang kebebasan memperoleh informasi.

Apa urgensinya?.

Right to know day dinilai sangat penting untuk memunculkan kesadaran kolektif dan global terkait hak individu dalam mengakses informasi pemerintahan dan mengkampanyekan bahwa akses terhadap informasi adalah hak asasi manusia.

Lalu, bagaimana nasib pemenuhan hak keterbukaan informasi di Sulawesi Barat ?.

Rasanya, hak keterbukaan informasi di provinsi ke-33 ini masih perlu diperjuangkan. Keringat, darah hingga nanah sepertinya masih akan jadi tumbal bagi kita semua untuk dapat menjaminkan hak keterbukaan informasi tersebut benar-benar bisa terpenuhi di Sulawesi Barat.

Diskusi Keterbukaan Informasi Publik. (Foto/Manaf Harmay)

Angin segar akan hak publik untuk memperoleh informasi tersebut berhembus kian kencang tatkala lembaga Komisi Informasi (KI) Sulawesi Barat resmi terbentuk. Namun, apakah keberadaan lembaga itu dengan serta merta mampu untuk menjawab ragam tanya soal pemenuhan hak keterbukaan informasi bagi publik ?.

"Masyarakat sudah tahu tentang hak untuk memperoleh informasi. Tapi bagaimana prespektif mereka terhadap hak informasi, bagaimana akses untuk memperolehnya, serta tata cara untuk mengaksesnya, ini yang masih perlu disosialisasikan," ujar Ketua KI Sulawesi Barat, Ramat Idurs dalam diskusi publik bertajuk 'hitam putih keterbukaan informasi' yang digelar di Ngalo Rock Cafe Mamuju, (28/09) malam.

Belum genap 2 tahun lembaga KI Sulawesi Barat terbentuk. Dalam perjalanannya, banyak hal yang mesti segera dituntaskan. Secara bersamaan, ragam keterbatasan pun mesti dilalui demi ikhtiar memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi.

"Mari kita bersama-sama. Jangan biarkan kami berjalan sendiri. Agar bagaimana kehadiran KI ini tidak hanya sekedar ada secara lahiriahnya saja, tapi hakekatnya juga mestinya bisa kita rasakan di Sulbar ini," sambung Rahmat.

Diskusi publik yang diinisiasi KI Sulbar bersama WACANA.Info, Karang Taruna Mamuju, Pemuda Muslimin Mamuju, serta Esensi Sulawesi Barat itu juga memunculkan beragam persoalan yang masih harus diatasi terkait pemenuhan hak keterbukaan informasi. Padahal mestinya, membuka informasi ke publik merupakan salah dari sekian langkah untuk mewujudkan clean and good governance.

"Tantangan besar untuk kita saat ini ialah memberi edukasi ke masyarakat tentang jenis informasi apa saja yang bisa untuk dikases serta bagaimana cara mengaksesnya. Ini tantangannya, karena masyarakat kita pada umumnya masih tidak tahu," urai prakrisi sosial, Zakir Akbar.

Sebab keterbukaan informasi adalah hak azasi manusia, maka idealnya, upaya tersebut tak melulu hanya dibebankan ke lembaga KI Sulawesi Barat saja. Terlebih dengan segudang keterbatasan lembaga yang masih sangat belia tersebut.

"Perlu kerja keras bersama untuk menyadarkan publik akan pentingnya keterbukaan informasi itu. Lembaga publik kita juga seperti itu, masih banyak dari mereka yang enggan untuk membuka informasi. KI juga faktanya belum menjadi prioritas di daerah ini," sambungnya.

Di sisi lain, yang juga mestinya memiliki kesdaran utuh atas pemenuhan hak keterbukaan informasi publik tak lain dan tak bukan ialah para pejabat publik. Faktanya, pembentukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) sebagai salah satu keharusan untuk menjamin hak keterbukaan informasi sesuai amanat Undang-Undang hingga kini belum dapat direalisasikan. KI Sulawesi Barat menyebut, Pergub tentang PPID lingkup pemerintah provinsi Sulawesi Barat hingga kini masih mengendap tak jelas nasibnya.

Diskusi Keterbukaan Informasi Publik. (Foto/Manaf Harmay)

"Kenapa pemerintah terkesan susah memberi informasi ?, karena model birokrasi kita terlampau mekanistik. Satu sisi birokasi kita terlampau mekanistik, sementara di sisi lain ada hak-hak masyarakat untuk tahu seputar keterbukaan informasi publik. Kondisi ini semakin parah, karena masyarakat kita juga cenderung apatis terhadap kondisi itu," jelas pembicara dari lembaga Esensi Sulawesi Barat, Syarifuddin Mandegar.

Dikutip dari berbagai sumber, PPID adalah jenis pejabat baru yang dibentuk melalui Undang-Undang disetiap badan publik. PPID adalah pejabat yang bertanggung jawab di bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan/atau pelayanan informasi di badan publik. 

PPID bertanggungjawab ke atasan dimasing-masing badan publik. Setiap badan publik harus menunjuk PPID masing-masing dan mengembangkan sistem layanan informasi yang cepat, mudah dan wajar. PPID harus membuat uji konsekuensi dengan seksama dan penuh ketelitian sebelum menyatakan sebuah informasi yang dikecualikan dapat diakses atau tidak.

Di berbagai kesempatan, KI Sulawesi Barat terus menggaungkan soal keberadaan PPID sebagai ujung tombak keterbukaan informasi publik. Masalahnya sekarang, di pemerintah provinsi Sulawesi Barat, regulasi tentang hal tersebut belum juga diwujudkan.

"Di Sulbar ini, 5 kabupaten plus Pemprov, yang terbentuk PPID-nya itu baru ada 3. Padahal itu yang menjadi ujung tombak pada setiap informasi yang dibutuhkan masyarakat. Faktanya, tidak semua PPID ini efektif berjalan. Dia hanya ada di atas kertas secara aturan, tetapi berjalan sebagaimana yang diharapkan, ini yang belum. Nah, ini yang terus kami dorong di KI," keluh Rahmat Idrus.

Sejumlah pihak turut hadir pada diskusi yang dipandu oleh moderator Nur Salim Ismalim malam itu. Selain dari Komisioner KI Sulawesi Barat, juga hadir sejumlah perwakilan LSM dan wartawan media cetak, online, TV dan radio.

"Saat ini mestinya kita semua menggungat kesadaran penyelenggara negara bahwa keterbukaan informasi publik ini penting. Masalahnya sekarang, kemampuan SDM kita yang harus diakui masih sangat terbatas. Ini menjadi tantangan kita semua. Apalagi pejabat kita tidak melihat manfaat dari membuka informasi itu ke masyasrakat. Padahal dengan membuka informasi ke publik, itu bisa meminimalisir kecurigaan sekaligus mengevaluasi diri kita sendiri. Kesadaran itu tidak muncul di pejabat kita," harap Zakir.

Harapan akan power KI Sulawesi Barat untuk mampu berdiri paling depan dalam hal pemenuhan hak keterbukaan informasi juga mencuat pada diskusi malam itu. Sebagai lembaga yang keberadaannya dijamin oleh Undang-Undang, KI mestinya diberi amunisi untuk mampu bekerja seuai tugas pokok dan fungsinya.

"KI ke depan semoga bisa menjadi lembaga yang disegani. Lembaga yang dihormati. Lembaganya semoga dikuatkan di masa mendatang," harap praktisi media, Naskah M Nabhan.

Memperoleh informasi dari badan publik merupakan hak masyarakat. Negara pun mengamininya dengan hadirnya lembaga Komisi Informasi hingga ke daerah. 

Publik juga mestinya sadar akan hak keterbukaan informasi yang melekat padanya. Di saat yang bersamaan, pejabat publik idealnya ikut melek terhadap era keterbukaan dan tranparansi dengan membuka kran-kran informasi tersebut.

Akhirnya, selamat hari untuk tahu sedunia... (*)