Menulis; Jalan Keabadian untuk Melawan Ketidakadilan
Oleh : Muhammad Alif Aiman/Muh sukri
(Catatan Kecil Dari Sekolah Tanpa Guru)
Damai, teduh dan penuh makna. Malam itu, puluhan aktivis berkumpul dan berdiskusi, membahas tentang apa dan bagaimana menulis itu.
Diskusi tersebut untuk kesekian kalinya diadakan oleh komunitas Sekolah Tanpa Guru. kediaman Aswan Achsa yang letaknya tak jauh dari terminal Wonomulyo. Polman dipilih jadi tempat berdiskusi.
Tempat nya terbilang cukup sederhana. Teras belakang rumah disulap menjadi laboratorium penggodokan sejumlah aktivis dari berbagai daerah. Benar memang, bagi sebagian besar aktivis social khususnya di Polman, bahkan di Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan, nama Aswan Achsa cukup familiar. Beliau merupakan salah seorang senior yang masih konsisten berdiri dijalur kaderisasi.
Jujur, malam itu, malam yang sangat berarti bagi penulis. Rasa penasaran yang selama ini menggerogoti pikiran penulis perlahan terobati.
Penulis akui, materi belajar menulis dari Suardi Kaco berhasil membongkar kebekuan dan kekauan alam pikiran yang selama ini keras mengkristal. Doktrin yang diterima penulis, bahwa untuk menjadi seorang penulis hebat, haruslah dimulai dari banyak memahami pengetahuan dan paham banyak hal, malam itu tegas terbantahkan.
Teori sederhana, 'mau jadi penulis hebat, mulailah dari kebiasaan menulis', begitu kata suardi kaco memecah dingin malam itu.
Meski tidak sepenuhnya benar, namun penulis mencoba menganalogikan kata kuci itu, jika ingin menjadi pemain bola hebat, haruslah banyak bermain bola. Itu teori kausalitasnya.
Selain hal itu, titik tekan pada materi Kak Suardi, begitu kami menyapanya, cukup menggugah eksistensi peserta malam itu. Menurutnya, menulis bukan hanya untuk menyampaikan apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Lebih dari itu, juga bisa sebagai pelindung dan pembelaan terhadap kaum lemah yang terpinggirkan.
'Menulis bisa digunakan untuk melawan ketidakadilan' ucapnya.
'Menulis dan terus menulis' sumbang Kak Aswan, sang tuan rumah sesaat sebelum diskusi malam itu ditutup.
Bagi kami yang hadir malam itu, menjadi penulis merupakan keinginan yang belum sepenuhnya terwujud. Boro-boro untuk jadi penulis hebat, sungguh masih teramat jauh.
'Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis. Ia akan hilang dari sejarah' begitu yang pernah diucap Pramoedya Ananta Toer. 'Menulis adalah bekerja untuk keabadian' begitu katanya.
Pantas saja hingga saat ini kita masih mengenal Scorates, Plato dan Imam Al Gazali. Kini Beliau-beliau itu seakan masih berbicara jelas di tengah kita semua. Padahal telah sekian lama mereka sudah berpulang.
Malam itu, tidak berlalu begitu saja. Pahatan yang terungkap dalam paparan materi yang dibawakan Suardi Kaco benar-benar membekas. Ada dua poin penting yang menyatu dalam diri; menulis adalah keabadian dan menulis untuk membela kaum yang tertindas.
Selamat menulis...!