Merasakan Keangkeran Gedung Kesenian Sulbar
Gedungnya tua, sudah pasti lama tak terjamah. Tiang-tiang, serta temboknya juga tampak lusuh. Proses pembangunannya pun jauh dari kata usai.
Akses menuju gedung itu ?, jangan ditanya. Jik bisa digambarkan, jalannya bak kubangan kerbau dan sambal kacang. Penuh becek dan sama sekali jauh dari kata layak.
Iya. Kira-kira begitu gambaran kondisi gedung kesenian Sulawesi Barat. Gedung yang jaraknya kurang lebih 100 Meter dari jalan utama menuju pelabuhn ferry Simboro. Jika tak punya tekad yang bulat untuk sampai ke gedung itu, sekedar saran, mendig putar haluan saja.
Miris rasanya melihat kondisi gedung kesenian yang dibangun beberapa tahun yang lalu itu. Menelan anggaran sebesar Rp. Rp. 3,5 Miliar, rasa-rasanya tak pantas jika melihat kondisi gedung yang tak ubahnya seperti rumah hantu, angker kalau saya bilang.
Jumat, (12/05) malam, saya berkesempatan menghadiri pagelaran seni di gedung mangkrak itu. Ada suasana lain saat saya menginjakkan kaki pertama kalinya di gedung kesenian Sulawesi Barat.
Malam itu, Gedung yang lebih pas disebut sarang hantu tersebut sedikit tertata rapi. Ada sepeda ontel ditempatkan di sisi kiri ruang, bersama tumpukan jerami dan beberapa lukisan. Uniknya, di sepeda ontel itu dipasangi nomor plat mobil yang terbuat dari karton, tertulis DC 6. Ada pula taman sederhana berlabelkan ‘taman Ismailyah’.
"ini cocoknya jadi tempat tim pemburu hantu," celetup salah seorang penikmat seni yang ditemui di sela-sela pertunjukn seni di gedung itu.
Di sana, sejumlah penggiat dan aktivis seni banyak berkumpul. Hanya api unggun dan lentera yang menjadi penerang sehinggah ruangan dalam bangunan itu tidak gelap gulita.
"Kami ingin memberitahukan semua tentang penemuan kami. Bahwa di Sulbar ada candi mangkrak," ungkap koordinator pagelaran seni, Bathola.
Candi mangkrak, begitu penggiat seni menamai gedung kesenian Sulawesi Barat. Disebut begitu lantaran gedung tersebut hingga kini belum rampung. Padahal, sudah miliyaran uang negara yang dimakan oleh proses pembangunannya.
Bathola menyebut, konstruksi bangunan itu tak ubahnya dengan gedung-gedung pertemuan pada umumnya.
"Pembangunannya tidak serius. Yang mengerjakan juga bukan orang yang paham tentang seni. Sepertinya sejak awal sudah ada orang yang sudah berniat untuk korupsi saat membangun," ucapnya.
Meski dengan bahan dan kelengkapan pertunjukan yang terbilang sederhana, pagelaran seni hari itu belangsung cukup meriah. Puluhan aktivis dan penggiat seni pun larut dalam buaian lantunan lagu dan puisi yang secara bergantian ditampilkan oleh sejumlah penggiat seni.
"Ini merupakan prakonsolidasi bagi penggiat seni untuk mendorong agar gedung ini bisa segera rampung," ujar Bathola.
kritik berbalut karya seni juga dilontarkan dalam bait demi bait syair puisi yang juga sempat ditampilkan. Semuanya satu hati, menyakini jika yang terjadi di gedung seni, ada permainan dan intrik dari beberapa oknum untuk 'mengamankan'uang rakyat.
Apapun bentuknya, itu hanya suara sumbang yang bersemayam di lubuk hati dari puluhan penggiat seni malam itu. Layaknya rakyat kecil yang hanya dapat menonton pertunjukan seni yang dipertontonkan oleh para penguasa. Rakyat pun tahu, bahwa para penguasa sedang berakrobat, bersandiwara. Meski itu hanya bisa dirasakan, tanpa mampu untuk disuarakan.
"Rakyat adalah kepalan tangan. Ya, kepalan tangan yang hanya tahu untuk berkeja," begitu bait puisi yang dibacakan salah seorang penggiat seni, Hanafi Saro. (Keto/Naf/A)









