Membincang Pemerintahan dan Masyarakat Sipil
Oleh: Syarifuddin Mandegar
(Pemerhati Sosial)
Rapuhnya sistem sosial, tidak terlepas dari pengaruh kekuatan massif pragmatisme pemerintahan yang semakin menyeruak hampir di setiap sendi kehidupan. Kehadirannya merupakan ancaman besar yang akan mengeksploitasi keberadaan masyarakat sipil yang sejatinya sebagai mitra sosial dalam mewujudkan tatanan kehidupan yang lebih baik. kini berubah warna menjadi rivalitas politik, ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Kebijakan-kebijakan pemerintah seringkali meninggalkan hakekat kerakyatan seolah menutup ruang rasionalitas keadilan dan kesejahteraan yang berimplikasi pada pelemahan terhadap struktur sosial masyarakat sipil. Jika dicermati lebih dalam tentang kehidupan nyata masyarakat sipil maka kita akan menemukan hubungan kausa sosial yang sarat dengan rekayasa kebijakan pragmatisme pemerintah membuat jurang pemisah antara kebijakan pembangunan dengan basic need (kebutuhan dasar) masyarakat sipil semakin melebar. Padahal, setiap kebijakan yang dibangun berangkat dari kesepakatan bersama dengan masyarakat.
Untuk itu, Good Governance (pemerintahan yang baik) dan Penguatan masyarakat sipil adalah jalan untuk menyambungkan tali sinergi pembangunan dengan label kesejahteraan dan keadilan dengan meletakkan instrumen sosial seperti, Politik, Ekonomi, Pendidikan dan Kesehatan sebagai kerangka universal untuk menyusun kebijakan-kebijakan yang memihak kepada masyarakat umum.
Universalitas itu adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa di pertentangkan dengan kekuatan politik semata tetapi kekuatan politik merupakan bagian dari instrumen sosial yang harus dibawa pada ranah kemaslahatan bersama, sehingga apa yang menjadi agenda periodesasi pemerintahan mendapat dukungan secara massif dari masyarakat. Sebab, kekuasaan adalah mandat masyarakat sipil yang didalamnya terdapat hak-hak kesejahteraan hak-hak pemberi mandat.
Telah kita pahami bersama bahwa good governance adalah istilah yang oleh para ahli yang lahir dari rapuhnya sistem pemerintahan kemudian tata moral system pemerintahan sebagai jawaban terhadap ego-ego pragmatisme pemerintahan yang seringkali berseberangan dengan kebutuhan masyarakat sipil.
Bahwa semangat dari cita-cita wujudnya pemerintahan yang baik dan penguatan masyarakat sipil ini actual hingga capaian implementasinya, maka ini akan menjadi salah satu modal social yang sangat bernilai bagi berlangsungnya proses social untuk mencapai kehidupan yang demokratis.
Sebaliknya jika penggunaan Istilah-istilah tersebut hanya dijadikan semacam ritus ketahanan kolektif seperti nasib Reformasi, maka dapat dipastikan bahwa good governance hanya sebatas retorika belaka tanpa bukti yang kongkrit.
Keinginan yang kuat untuk melakukan perubahan secara mendasar terhadap mekanisme dan tata cara para actor pemerintahan dalam mengelola berbagai sumber daya melandasi gagasan good governance menjadi sebuah paradigma pembangunan yang bermartabat.
Karenanya, pembangunan sejatinya diarahkan pada penguatan kapasitas institusi pemerintahan, kapasitas kebijakan dan kebijakan administrasi secara simultan, sebab pemerintahan yang baik hanya dapat terwujud manakala state, civil society dan private sector percaya bahwa pengambilan keputusan public merupakan sebuah keniscayaan atau sebuah kemestian yang harus dijalankan.
Implementasi pemerintahan yang baik dan penguatan masyarakat sipil mensyaratkan dua hal, yaitu : pertama : adanya konstitusi yang menjamin visi-misi dan semangat good governance serta kualitas kepemimpinan yang kuat dan memiliki kompetensi, credible, dan mengelola relasi yang sehat antara state, civil society dan private sector. Kedua : adanya modalitas social-politik terberdayakan yang menjadi penopang terhadap jalannya good governance (pemerintahan yang baik).
Namun bila pemerintah masih bertahan pada mental pragmatismenya maka tidak ada jaminan bagi kesejahteraan ekonomi, pendikakan yang berkualitas, pelayanan kesehatan yang menyehatkan dapat terwujud sebagaimana ide besar tentang good governance.
Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa rapuhnya system social saat ini adalah bias dari ketidak siapan mental pemerintah untuk menjalankan paradigma good governance. Sehingga setiap pengambilan kebijakan selalu menempatkan masyarakat sipil sebagai objek, bukan sebagai subjek pembangunan.
Disinilah letaknya esensi good governance perlu di wujudkan dimana pemerintah dan masyarakat sipil merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam hal ini pemerintah dan masyarakat sipil tidak bisa di dikotomikan antara superior (Pemerintah) dan inferior (masyarakat sipil).
Selain itu, ketika kita menelisik lebih jauh tentang eksistensi masyarakat sipil terhadap pengambilan kebijakan pemerintah, mereka (masyarakat sipil) sering kali tidak berdaya dan hanya menjadi penikmat kebijakan yang kontras dengan kebutuhan mereka.
Bahkan pemerintah lebih sering menggunakan logika kekuatan ketimbang menggunakan kekuatan logika untuk mengatur distribusi sumber secara adil. Bukankah substansi relasi social dalam menciptakan pemerintahan yang baik merupakan cikal bakal terciptanya transparansi anggaran untuk menjamin kepentingan public. Sebab pemerintahan bukanlah milik pribadi tetapi sebagai sebuah institusi Negara yang diperuntukkan untuk kemasalahatan bersama sebagaimana hakikat masyarakat yang memiliki hasrat, cita-cita, tata nilai yang saling bekerjasama. Untuk mencapai tujuan bersama tentu saja tujuannya adalah terciptanya keadilan ekonomi dan keadilan social.
Mewujudkan hal tersebut diatas memang tidak semudah yang kita bayangkan. Tapi paling tidak, setiap keputusan atau kebijakan yang diambil oleh pemerintah pada hakikatnya merupakan sebuah kompromi dari suatu perjuangan untuk mewujudkan pencapaian tujuan organisasi pemerintahan dan kepentingan individu dengan tidak menempatkan masyarakat pada posisi inferior dan pemerintah pada posisi superior.
Keterasingan masyarakat dari keadilan dan kesajahteraan justru menciptakan disharmonisasi social dimana agenda-agenda politik seringkali digunakan sebagai label market visi-misi pemerintahan diambang kekuasaan dengan menggandeng nasib anak-anak putus sekolah, nasib para kaum dhuafa, nasib para petani dan nasib para nelayan. Itu menjadi bahan untuk menciptakan visi-misi politik, tatepi pasca agenda itu, nasib mereka sering terabaikan.
Birokrasi yang kaku dan cenderung statis telah banyak mengakibatkan hilangnya hakekat pemerintahan yang bersumber dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat ditambah lagi dengan kekuatan control legislative yang makin melemah dan kadang tidak berdaya dihadapan eksekutif.
Kalkulasi-kalkulasi pencapaian keberhasilan pembangunan lebih didasarkan pada kuantitas-kuantitas empirik diatas lahan Geografis dan Demografis masyarakat tanpa memperhitungkan kondisi psikografi suatu masyarakat sehingga lahan-lahan yang ada hanyalah untuk memenuhi kebutuhan investasi para pemilik modal dan pada akhirnya masyarakat menjadi penonton di kampung sendiri.
Untuk itu, penguatan masyarakat sipil sejatinya didasarkan pada membangun perekonomian masyarakat dengan memanfaatkan potensi dan sumber daya alam, peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan yang berkualitas dan murah dan menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan yang manusiawi.
Dalam hal pengelolaan anggaran diperlukan transparansi dan accountable sebagai jawaban terhadap kemiskinan terstruktur yang selama ini mendera masyarakat. Disadari atau tidak klaim pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya yang dinilai makin meningkat sangat kontradiksi dengan fakta social yang sebenarnya. Bahwa disatu sisi kita mengatakan pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan tetapi pada saat yang sama kemiskinan makin menyeruak.
Dengan kondisi riil seperti itu, Mungkin kita perlu mereview lagi tentang defenisi kesejahteraan yang terlalu kuantitatif dan sangat over generalisasi. Karena kalkulasi itu hanya berlaku dalam system perekonomian WW. Rostow dengan menempatkan rakyat sebagai objek dimana institusi Negara adalah pengendali kebijakan dan membuat suatu mekanisme pasar yang sangat kompetitif dan cenderung menguntungkan para pemilik modal sehingga esensi good governance dan penguatan masyarakat sipil hanya menjadi catatan sejarah yang tak terwujud. Inilah petaka pembangunan yang aroganis dan sepihak.
Dengan demikian, sudah saat saatnya kita merubah arah berpikir kita menuju sebuah gerakan social baru dalam mewujudkan good governance dan penguatan masyarakat sipil yakni gerakan social tidak bisa hanya berupa pendekatan tunggal bottom-up, melainkan ia harus sinergis dan membutuhkan penetrasi gradual, juga pada sektor-sektor yang nampaknya tidak berhubungan langsung dengan agenda pemberdayaan dan advokasi.
Kita perlu menjadi palang pintu untuk mengingatkan pemerintah agar tidak terlena dengan pragmatismenya dan terlalu kaku dalam menjalankan roda pemerintahannya bahwa kebijakan pembangunan harus berdiri diatas kebutuhan public. Selain itu sudah saatnya pula merubah cara pandang pemerintah dalam menyusun program yang pro terhadap kemaslahatan masyarakat.
Semoga dengan ini, kita sebagai bagian dari gerakan social baru dalam mewujudkan proses demokratisasi yakni demokrasi dalam konteks sumbu sejarah saat ini bukan hanya urusan mengontrol kekuasaan sebagaimana kata Plato, melainkan juga soal membuat kekuasaan dan praktik social apapun menjadi accountable.
Wassalam










