OPINI

'Fatamorgana'; Lirik dan Musik yang Nakal, Tapi...

Wacana.info
(Foto/Istimewa)

Dibuka dengan gemuruh, seolah suara-suara perlawanan itu mulai mendengung. Muncul Menyeruak, tak lagi di balik layar.

Tentang muak, benci hingga rasa ketidaksukaan lainnya untuk kondisi sosial yang tak lagi ideal. Pesan perlawanan yang disuarakan dengan lantang oleh Artja; band indie asal Mamuju lewat karyanya berjudul 'Fatarmogana'.

Sebuah keresahan yang mereka dengungkan lewat lagu berdurasi hampir lima menit itu. Lirik yang nakal, dibungkus alunan musik yang terbilang gahar seperti melempar pesan bahwa dunia saat ini memang sudah sebegitu bobroknya.

'Kekuasaan adalah kekacauan itu sendiri'. Hingga 'kerja semu perankan Tuhan', jadi penggalan lirik nakal yang dibunyikan oleh band beranggotakan DJ (vokalis), Bogo (bassist), Udi (drummer) serta Mank (gitarist) itu. 'Bukan rahasia keadilan hanyalah fatamorgana' satu pesan berulang yang mengisi bagian reffrein dari lagu yang kini sudah bisa dinikmati di ragam plaform streming musik itu.

Fatamorgana, seolah hadir dengan tawaran pilihan berbeda bagi pendengar musik lokal. Di tengah gempuran lagu dengan tema cinta-cintaan, atau di tengah gilanya musik jedag jedug khas musik timur, Artja hadir dengan spirit berbeda; perlawanan.

Mereka hadir seperti jadi panggung utama bagi sekumpulan muak yang mungkin selama ini tak pernah dibunyikan. Tak hadir dengan solusi, Artja justru membunyikan sederet keresahan itu dengan distorsi vokal dan gitar yang begitu mengaum.

Pesan kuat, semangat yang mesti diapresiasi, mesti sebaiknya ia dibungkus dengan komposisi musik yang pas. Muak boleh, melawan harus, tapi bagi saya, poin-poin itu hendaknya diramu dengan cara yang presisi.

Mendengar 'fatamorgana', bagi saya, terlalu menyisakan banyak ruang berhenti, terlalu banyak jeda. Sesuatu yang bikin semangat perlawanan itu seperti 'stop and go'.

Hadir dengan semangat dan ide yang fresh, itu harus diapresiasi. Meski di sisi lain, dinamika dalam sebuah lagu wajib terjaga. Kan sayang kalau semangat perlawanan itu hadir dengan rasa yang 'stop and go'.

Selamat untuk Artja. Tetaplah konsisten di jalur perlawanan itu, biar publik punya ruang, punya panggung untuk menyuarakan segala ketidakadilan itu. (*)