Destructive Fishing di Perairan Pinrang oleh Nelayan Asal Tonyaman

MAMUJU--Selain menduskusikan seputar apa dan bagaimana Sulawesi Barat menumbuhkembangkan sektor kelautan dan perikanannya, rombongan komisi II DPRD Kabupaten Pinrang juga menyampikan hasil temuannya seputar dugaan aktivitas destructive fishing yang diduga keras dilakukan oleh oknum nelayan asal Tonyaman, Polman.
Semuanya terungkap dalam agenda kunjungan kerja komisi II DPRD Kabupaten Pinrang di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Barat, Rabu (23/04). Amri Manangkasi, ketua Komisi II DPRD Kabupaten Pinrang mengungkapkan, informasi di atas ia peroleh dari laporan sejumlah kepala desa di wilayah pesisir Pinrang.
"Jadi, konon katanya, ini juga masih sekadar dugaan dari para kepala desa berdasarkan informasi yang dihimpun, mayoritas nelayan yang berasal dari tonyaman yang melakukan aktivitas pengeboman. Bahkan pernah dikejar sama kelompok-kelompok dari kepala desa kami yang ada di pesisir," ungkap Amri Manangkasi, sosok yang memimpin rombongan kunjungan kerja komisi II DPRD Kabupaten Pinrang hari itu.
Untuk informasi, destructive fishing adalah kegiatan perikanan yang menggunakan cara, alat, atau bahan yang merusak sumber daya ikan dan ekosistem perairan. Ini termasuk penggunaan bahan peledak, bahan beracun, setrum, dan alat tangkap tidak ramah lingkungan lainnya.
Tak ada bantahan berarti terkait informasi di atas. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Barat, Dr. Suyuti Marzuki mengatakan, pihaknya memang mampu melakukan kegiatan pengawasan di wilayah pesisir Sulawesi Barat secara maksimal. Keterbatasan anggaran jadi alasan utamanya.
"Selama ini, kami kadang-kadang dibantu oleh Polri. Ada beberapa kasus yang telah berhasil kita ungkap bersama Polri, utamanya di perairan Kambunong, Tonyaman juga cukup banyak lapoiran, Binuang dan Paku yang berbatasan dengan Pinrang. Fakta di lapangan memang menyatakan seperti itu," ucap Suyuti yang ditemui di ruang kerjanya.
Ia menguraikan, regulasi seputar pengawasan aktivitas penangkapan ikan dibagi berdasarkan interval jarak dari pesisir. Di atas 12 mil, pengawasannya dilakukan oleh pemerintah pusat, di bawah 12 mil jadi tanggung jawab pemerintah daerah.
Satu-satunya hal yang masih dan terus dimaksimalkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Barat saat ini adalah dengan menggalakkan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat. Memastikan masyarakat pesisir memiliki pengetahuan yang utuh seputar apa dan bagaimana aktivitas penangkapan ikan yang baik dan benar.
"Karena aktivitas itu (destructive fishing) membuat terumbu karang kita mengalami degradasi yang sangat tinggi. Termubu karang kita berkurang luasannya. Kami juga sudah menyampaikan persoalan ini ke pusat agar secara berkala misalnya kapal pengawasan KKP melakukan pengawasan secara berkala membantu kita. Jadi di luar sana sepertinya ada schedule Satwas yang dilakukan oleh KKP yang mungkin bisa membantu kami dalam melakukan pengawasan. Tapi itu untuk di atas 12 Mil, untuk di bawah itu, yah saya kita itu kekurangan kita," terangnya.
"Tapi target kita tahun ini, sekiranya anggaran, kami akan melakukan penangkapan kepada mereka yang melakukan aktivitas destructive fishing. Semacam penindakan, bukan monitoring lagi," demikian Dr. Suyuti Marzuki. (*/Naf)