Menyisir Pedalaman Demi Data Pemilih Berkualitas

Wacana.info

Dari Ekspedisi Bumi Kalumpang (Bagian Pertama)

Oleh: Hamdan Dangkang

(Ketua KPU Kabupaten Mamuju)

Jam digital yang melingkar di pergelangan tangan saya sudah menunjukkan pukul 9 lewat 15 pagi. Seperti biasa, Desa Kalumpang saat itu masih hening, udara terasa begitu segar. Jauh dari apa yang sering dikeluhkan oleh sebagian warga yang bermukim di perkotaan; bising lagi berpolusi.

Pagi itu saya bersama kawan Hasdaris yang juga Komisioner KPU Mamuju sekaligus Korwil untuk Kecamatan Kalumpang, bersiap menyisir wilayah desa di sepanjang sungai Karama, sungai legendaris yang belakangan jadi tenar karena akan jadi sumber utama PLTA itu. Bersama salah satu orang staf sekretariat KPU Mamuju, plus satu wartawan, kami siap
dengan sejumlah perlengkapan tempur.

Dari sepatu boat, jaket, persediaan makanan, termasuk memastikan baterai piranti elektronik yang kami bawa dalam kondisi yang fit. Kopi di teras penginapan yang kami jadikan base camp itu tersisa setengah gelas lagi. Tak lama berselang, empat orang Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kalumpang secara bersamaan datang.

Di teras penginapan itu, kami berdiskusi. Menanyakan ke PPK itu tentang progres Coklit di masa pemutakhiran data pemilih saat ini. Menanyakan ke mereka kendala yang dihadapi, termasuk mengecek kecukupan sejumlah logistik penunjang di masa pencoklitan yang bakal berlangsung hingga 13 Agustus 2020.

Kopi dan berbatang rokok berfilter itu telah kami habiskan. Waktunya bagi kami untuk berangkat. Kendaraan yang kami tumpangi dari kota Mamuju harus istirahat di halaman penginapan. Bukan apa-apa, lokasi yang hendak kami tuju tak mengizinkan kendaraan roda empat untuk melintas, mau yang 4x4 sekalipun.

Bismillah. bersama PPK Kalumpang itu, kami pun berangkat. Dengan motor khusus. Meski berjenis bebek, namun motor yang kami tumpangi itu telah mengalami sejumlah modifikasi. Disesuaikan dengan medan berat yang akan ia tempuh. Makanya dikatakan khusus.

Di tengah jalan, yang masih beton itu, kami bertemu rekan-rekan Bawaslu Mamuju. Rupanya Pengawas Pemilu itu juga punya agenda di salah satu desa di pedalaman Kecamatan Kalumpang. Tak seperti kami yang hanya berempat, rombongan Bawaslu Mamuju tampak begitu ramainya. Bersama rekan-rekan Bawaslu, kami pun menuju.

Tak terhitung lagi berapa jumlah anak sungai atau bahkan cucu sungai yang mesti kami lalui. Jika wajib menyeberangi sungai yang lebih besar lagi, maka tak ada pilihan lain. Jembatan gantung jadi satu-satunya akses. Di sana, adrenalin benar-benar terpacu, jembatan yang idealnya untuk akses bagi pejalan kaki itu, mesti kami lalui dengan motor. Jika sudah di atas jembatan, tekanan motor bikin jembatan bergoyang ke segala arah.

Hanya ada kawat berdiameter tebal dikedua sisi jembatan. Tak kuasa bertahan di atas jembatan, maka pilihannya ada dua; jatuh masih di lantai jembatan yang terbuat dari papan, atau terjun bebas ke dasar sungai. Ngeri kali... Kondisi Jalan yang silih berganti; batu, tanah dengan selingan lubang bekas aliran air yang terbilang curam, bikin perjalanan kami boleh dibilang ekstrim. Hingga kami tiba di Desa Limbong tempat persinggahan pertama kami.

Di Sekretariat Panitia Pemungutan Suara (PPS) desa Limbong kami beristirahat. Menikmati segelas kopi Kalumpang yang khas itu. Lengkap dengan aneka kue tentunya. Di sela-sela agenda istirahat itu, diskusi terkait proses Coklit di desa itu pun bergulir. Meski sudah menunjukkan progres yang menggembirakan, ada saja kendala yang dihadapi oleh Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) yang dilaporkan PPS kepada kami. Solusi tentu kami berikan, demi lancarnya proses pemutakhiran data itu.

Kami rehat di Desa Limbong hanya dalam tempo 30 menit saja. Tuntas dengan monitoring dan evaluasi di sana, perjalanan pun kami lanjut. Pakaian berikut peralatan yang kami bawa sudah mulai berdebu. Sepatu boat ?, jangan ditanya, sudah pasti kotor.

Masih dengan motor khusus itu, kami melanjutkan perjalanan. Menyusuri aliran sungai Karama. Kondisi jalan yang kami lalui masih sama, yang oleh penduduk lokal disebut sudah bagus itu. Oh iya, bagusnya kondisi jalan versi penduduk lokal dengan yang ada di benak kami-kami ini tentu jauh berbeda.

Tapi sudahlah, perjalanan itu mesti tetap berlanjut. Demi kualitas data pemilih yang jauh lebih baik, utamanya bagi saudara-saudara kami yang ada di pedalaman itu. Yang jauh dari jaringan telepon. Internet apalagi. Di sepanjang jalan yang jauh dari kata layak itu, kami hanya memikirkan bagaimana PPDP kami itu bekerja, memastikan proses Coklit berjalan maksimal diserba keterbatasan itu.

Menghabiskan waktu sekira sejam lebih, kami pun tiba di Desa Tumonga Kecamatan Kalumpang. Setelah melewati jembatan kayu beratapkan seng, kami sampai di pusat desa Tumonga. Di sisi lapangan bola di desa itu, kami singgah di Sekretariat PPS Desa Tumonga. Masih dengan agenda yang sama; istirahat dan berdiskusi dengan teman-teman PPS dan beberapa PDP yang bertugas di sana.

Masih ditemani sajian kopi Kalumpang yang memang khas itu, serta berpiring kue tradisional. Kami banyak berbincang dengan PPS dan PPDP yang ada di sana. Mengetahui kendala pencoklitan yang mereka rasakan, termasuk memastikan kelengkapan ragam bahan penunjang ditahap pemutakhiran data pemilih ini. Serta mengecek ragam piranti utama protokol kesehatan pencegahan Covid-19 yang memang diperuntukkan bagi penyelenggara Pilkada di level desa dan para PPDP tentunya.

Rasa lelah sudah pasti menyelimuti raga ini. Meski tak ada bosan yang terlintas untuk perjalanan memastikan pencoklitan itu benar-benar maksimal. Yang bikin stres ?, apalagi kalau bukan saat melintasi sungai besar di atas jembatan gantung. Rasanya, lutut ini ringan seketika begitu ban motor yang kami kendarai mulai menyusuri jembatan gantung berukuran kecil itu. Tapi, ekspedisi ini mesti berlanjut.

Puas masa rehat di Sekretariat PPS Desa Tumonga, perjalanan kami pun berlanjut. Tujuan selanjutnya adalah Desa Karama. Yang masih harus ditempuh dengan menyusuri sungai Karama yang besar nan deras itu. Yang masih wajib ditempuh dengan menyusuri kondisi jalan yang kata penduduk lokal sudah bagus itu.

Jarak Desa Tumonga ke pusat Desa Karama sebenarnya tak terlampau jauh. Kondisi jalan yang parah bikin kedua desa itu seperti dipisahkan oleh puluhan kilometer jauhnya. Sekretariat PPS Desa Karama jadi titik persinggahan kami selanjutnya. Letaknya pun tak jauh dari lapangan sepak bola di desa itu. Kopi masih jadi sajian utama yang disuguhkan tuan rumah untuk kami. Ditemani kue tradisional, proses diskusi seputar jalannya pemutakhiran data bersama PPS Desa Karama pun berlangsung.

Kami banyak menerima informasi seputar kendala yang dihadapi oleh PPDP di Desa Karama dalam melakukan pencoklitan. Meski kabar gembiranya, telah ada beberapa PPDP di desa itu yang telah menuntaskan proses pencoklitannya. Kami pun banyak memberi masukan kepada petugas PPS Desa Karama dalam hal menyelesaikan proses Coklit ini. Di sana kami juga mengecek kecukupan sejumlah format yang diperlukan di masa pemutakhiran data pemilih ini.

Di sela-sela diskusi itu, sesekali melintas motor khusus lainnya. Suara knalpotnya seolah sanggup memecah gendang telinga. Tak ada yang berboncengan, sebagian besar satu orang satu motor. Yang terlihat hanya tumpukan barang yang mereka bawa. Disimpan dibagian belakang, atau diletakkan dibagian depan sang pengendera.

Informasi dari PPS Desa Karama, mereka itu adalah warga Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan. Bahwa Desa Karama benar adalah titik yang berbatasan dengan Seko, Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan. Berjam-jam mereka mesti menyusuri jalan yang juga parah untuk ke Desa Karama membawa ragam bahan makanan untuk
mereka jual. Kopi jadi komuditi yang paling sering mereka bawa ke Karama.

Masih dari cerita PPS Karama, warga Seko itu tak pernah kembali kosong. Sebab ada banyak barang yang juga mereka bawa dari Karama. Bahan-bahan dapur, termasuk BBM yang paling banyak mereka bawa pulang. Wajar, karena katanya, harga BBM di Seko mahalnya berkali-kali lipat.

Oh iya, waktunya shalat Jumat. Kami pun mendirikan ibadah shalat Jumat di satu-satunya mushollah yang ada di desa itu. Yang letaknya seperlemparan batu dari sekretariat petugas pengawas Desa Karama. Usai menghadap, saatnya santap siang.

Lahap betul kami makan di siang itu. Selain karena perjalanan yang menguras banyak tenaga, terik matahari bikin energi dibadan butuh asupan ekstra. Makanlah kami di Desa Karama. Di Sekretariat Pengawas Desa Karama. Bersama rekan-rekan dari Bawaslu Mamuju.

Lumayan lama kami rehat di Desa Karama. Di desa yang konon diisi oleh penduduk asal Seko, Luwu Utara itu. Di desa yang di lapangan sepak bolanya juga dijadikan tempat parkir beberapa ekor kuda yang katanya sering dugunakan untuk membawa barang yang lebih banyak lagi dengan menembus jalur ekstrim menuju Seko, Luwu Utara itu.

Desa Sandapang jadi destinasi kami selanjutnya. Tujuan akhir dari ekspedisi ini. Titik ujung dari monitoring dan evaluasi tahap pemutakhiran data pemilih di Kecamatan Kalumpang. Jarak dari Karama ke Desa Sandapang pun tak terlampau jauh. Lagi-lagi karena kondisi jalan yang parahnya dipangkat dua dari apa yang sebelumnya telah kami lewati, bikin keduanya seolah terpisah sangat jauh.

Kami meninggalkan Desa Karama sekira pukul 14.30. Saat dimana matahari sedang unyu-unyunya. Lagi-lagi ada jembatan gantung yang mesti kami lewati. Kali ini panjangnya juga dipangkat dua dari jembatan gantung yang sebelumnya telah kami lalui.

Karena ia panjang, goyangannya pun lebih terasa. Jika diskalarichterkan, goncangannya cukup untuk mengundang gelombang tsunami dalam keadaan gempa. Yang pasti, ada banyak doa yang kami ucap, dalam hati tentunya. Apalagi kami baru saja tuntas menghadap lewat ibadah shalat Jumat yang telah kami dirikan.

Lepas dari jembatan gantung itu, tak lagi ada jalan luas yang kami lalui. Semuanya setapak berlubang, khas jalan kebun yang membelah hutan belantara. Bertuntung pemandangan di sepanjang jalan itu amat sangat indah. Selain karena wajah pegunungan yang begitu asri, padang ilalang juga jadi warna indah tersediri yang menemani kami di
sepanjang jalan.

Di tengah perjalanan, kami memutuskan untuk berhenti. Bukan di tengah hutan, bukan pula di perkampungan. Kami berhenti di sisi jalan setapak itu, di tempat yang sangat tinggi. Dari sana terlihat jelas wajah gunung Sandapang. Gunung yang legendaris itu. Gunung yang bentuknya termuat di logo Kabupaten Mamuju itu.

Kamera pun beraksi. Mengabadikan momen di lokasi itu wajib hukumnya. Kapan lagi bisa ke sini, itu yang ada dibenak kami. Maka berfoto di tempat itu hukumnya memang wajib.

Puas mengabadikan momen itu, perjalanan pun berlanjut. Masih dengan menyusuri jalan setapak, melewati beberapa anak dan cucu sungai. Genangan serta lubang bekas aliran air tak bikin perjalanan kami itu terhenti. Tak jarang, bahkan sangat sering motor khusus yang kami tumpangi itu mengeluarkan bunyi yang begitu kasar. Maklum, jalan seperti itu mesti dilalui dengan memposisikan perseneling motor di gigi satu.

Hingga tibalah kami di Desa Sandapang, beberapa saat sebelum memasuki waktu shalat Maghrib. Sandapang-lah titik akhir dari perjalanan kami itu. Lokasinya sendiri memang terletak di lembah gunung Sandapang. Maka wajar jika udara di sana terasa sangat dingin. Sekretariat PPS Desa Sandapang jadi basecamp kami. Yang lokasinya hanya beberapa meter
dari lapangan sepak bola itu.

Di sana, rekan-rekan Bawaslu Mamuju pun beristirahat. Ada yang bergegas mandi di jernihnya aliran air sungai di desa itu, ada juga yang memutuskan untuk rebahan sekadar mengobati lelah di ruang tamu sekretariat PPS Desa Sandapang. Bersama petugas PPS, kami banyak menerima informasi seputar jalannya proses pemutakhiran data pemilih
yang telah berlangsung sejak 15 Juli 2020 ini.

Kami pun memastikan kelengkapan protokol kesehatan bagi PPS dan PPDP telah terdistribusi dengan baik. Itu penting, sebab jalannya pencoklitan kali ini mesti dilakukan di tengah badai covid-19 yang masih melanda. Bersama rekan-rekan PPS Sandapang, kami juga mendiskusikan tentang kendala yang dihadapi di masa Coklit ini.

Semuanya menjadi penting. Sebab proses pemutakhiran data pemilih yang dilakukan oleh PPDP memiliki situasi yang sangat kompleks. Apalagi bagi masyarakat kita yang bermukim di wilayah pedalaman. Yang jauh dari akses informasi. Yang terputus dari aliran telekomunikasi apalagi internet.

Bersambung....

(Sumber: kpu-mamuju.go.id)