Korupsi dan Permakluman Kita
Oleh: Nur Salim Ismail (Akademisi)
Merebaknya kabar korupsi di Sulawesi Barat membuat nalar publik tersentak. Bukan hanya di jazirah mandar, tapi segenap penjuru tanah air. Sulawesi Barat kini terlanjur dipersepsi sebagai daerah baru yang melengkapi anggapan miring terhadap konsep desentralisasi selama ini. Bahwa desentralisasi memberi sumbangsih riil terhadap praktik korupsi di daerah.
Bukan hanya itu, ditetapkannya keempat pimpinan DPRD Sulawesi Barat sebagai tersangka oleh pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulselbar makin mengokohkan bahwa provinsi ini belum sepenuhnya terjamah dengan baik dan benar. Maka, proses hukum biarlah berlalu dengan prinsip praduga tak bersalah. Ini sekaligus hendaknya dipahami sebagai pesan berantai yang sepatutunya juga demikian, berlaku di benak publik.
Korupsi memang diakui sebagai musuh bersama yang mesti diberantas dengan sekuat tenaga. Korupsi harus secara konsisten dilawan dalam bentuk massif. Bukan hanya menyorot lingkar korupsi di medan viralitas. Namun ada baiknya menelisik dimensi lain dari praktik korupsi yang terus mewabah di negeri ini.
Pertama, praktik korupsi yang menjalar dimana-mana merupakan buah dari proses politik yang juga cenderung koruptif. Mahalnya sebuah harga kursi untuk menduduki jabatan di legislatif membuat segalanya harus ditangani serba transaksional.
Dapat dibayangkan, ketika seorang calon anggota legislatif (Caleg) harus turun ke masayarakat melakukan sosialisasi politik. Apa yang mereka hadapi? Tidakkah mereka dihadang oleh pertanyaan yang sangat nyata merusak akal sehat kita?
Mereka dipaksa menyetujui kontrak transaksional tanpa harus menunggu waktu lama. Abaikan soal program periodik yang dijanjikan. Maka di saat itulah, uang menjadi medium transaksional yang disepakati.
Dapat dibayangkan, ketika seorang caleg bergerak dalam tempo setahun sebelum pemilu. Itu berarti, dalam 365 hari, mereka harus terjun ke lapangan mencari suara dan dukungan. Jika dalam setiap perkumpulan yang dihadapi selalu menghadirkan pemilih beraroma uang, sekali lagi, bayangkanlah berapa uang yang harus mereka gelontorkan.
Itu baru sisi kost politiknya saja. Belum lagi jika harus melangkah ke detik-detik pemilihan. Suasananya kian ekstrim. Sebab pergumulan yang terjadi selama ini dapat tergerus dalam semalam, akibat praktik sogok politik atau serangan fajar. Maka agak sulit dipercayai jika ada politisi yang mengaku tak mengeluarkan uang hingga duduk di kursi empuk sebagai wakil rakyat dalam lima tahun. Kecuali jika memang benar-benar memiliki massa fantik. Inilah babak pertama jebakan korupsi.
Belum cukup sampai disitu. Sebab para politisi yang telah menduduki jabatan sebagai wakil rakyat bakal menghadapi jebakan korupsi babak kedua. Yaitu pertarungan antara idealisme mewujudkan predikat sebagai wakil rakyat, dengan upaya merawat konstituen yang terus menerus mengaku diri sebagai aktor tim sukses yang paling berjasa dalam pemenangan.
Sebagai wakil rakyat, mereka akan berhadapan dengan pihak eksekutif yang memiliki sejumlah kekuatan dan pengalaman. Baik dari sisi merancang program hingga pada aspek memainkan program.
Sebaliknya, wakil rakyat (apalagi yang benar-benar baru) harus belajar lebih awal memahami ritme dan permainan gelap birokrasi. Di sini, eksekutif dan legislatif bakal berjumpa dalam medan pertarungan yang tak berkesudahan. Eksekutif berdiri di atas dalih menegakkan aturan. Sementara legislatif kokoh dengan kepentingan yang diusungnya.
Pendekatan yang dikemukakan DR. Riant Nugroho dalam buku Public Policy (2009) cukup menguatkan anggapan di atas. Menurutnya, hal terbesar yang dihadapi dalam upaya penerapan kebijakan publik adalah belum hadirnya perangkat yang benar-benar pas dalam menghadapi dua arus kebijakan teknis versus arus kebijakan politis tersebut.
Jika pun harus keluar dari dua arus di atas, dikuatirkan bakal melahirkan kekacauan baru. Pendekatan teoritis yang terus dikencangkan oleh kalangan akademis dan pengamat selama ini cenderung amat jauh dari solusi. Sebab hampir dari sekian banyak konsep berbasis text-book yang disodorkan, seringkali terpental sebelum diterapkan. Jika dipraksiskan dapat dilihat dalam dua model perencanaan.
Pertama melalui proses musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) berikut dengan segala jenjangnya. Kedua, melalui usulan, aspirasi atau pokok-pokok pikiran anggota DPRD. Dari sisi ideal, pola pertama, yakni Musrenbang merupakan pilihan paling aman dari jeratan hukum, serta memenuhi unsur prosedural.
Tapi dalam kenyataannya, tidakkah musrenbang juga terus-menerus menyisakan kekecewaan publik? Marilah menengok betapa malasnya warga mengikuti kegiatan musrenbang walau sekelas Kelurahan/ Desa. Alasannya sederhana. Bahwa musrenbang tak ubahnya hanya sebatas stempel basah untuk melegalkan apa diinginkan oleh penguasa.
“Tunggu saja, di musrenbang kita mau ada pembangunan jalan, tapi nanti hasilnya yang datang justeru bibit kambing yang berpenyakit,” tegas seorang warga kepada penulis beberapa tahun silam. Bandingkan dengan model aspirasi atau pokok pikiran (pokir).
Model ini memang sangat kental dengan aroma politik take and give. Tapi jika bicara dampak, model ini relatif mudah dirasakan dampaknya oleh rakyat. Nilai plus yang lain, karena tingkat kerumitannya tidak serumit dengan mekanisme pengusulan program ala musrenbang.
Dengan kata lain, mengorek praktik korupsi di Sulawesi Barat, sepatutnya benar-benar terbuka lebar, tanpa memilah salah satu dari dua model di atas.
Jika program aspirasi telah dibuka sebagai dugaan praktik korupsi di kalangan anggota legislatif, maka saatnya jualah program pokok eksekutif turut dibuka ke permukaan. Sebab jangan lupa, anggaran pokok (non-aspirasi) tiap-tiap Dinas juga tak punya dalil penguat untuk tak disebut sebagai ruang lain dari praktik korupsi.
Selain itu, masih terdapat jebakan ketiga. Yaitu para wakil rakyat masih harus terus terkonsentrasi pada upaya merawat konstituen. Namun jangan lupa, dalam mekanisme maintenance tersebut, politisi dihadapkan pada tuntutan menjawab keinginan, harapan dan kebutuhan mereka. Mulai dari kebutuhan komunal hingga kebutuhan personal, seorang politisi harus menyiapkan segalanya.
Dari sisi kebutuhan komunal misalnya, mereka akan mengusulkan permohonan bantuan agar para anggota legislatif dapat turut serta menyuseskan lomba sepak bola hingga permintaan sumbangan untuk malam penutupan yang dirangkaikan dengan malam pesta rakyat misalnya. Dengan kompensasi bakal diberi kesempatan membawakan sambutan plus sesekali disebut sebagai donatur paling dominan dalam perhelatan itu.
Miris dan menggelikan bukan?
Lalu dari sisi kebutuhan personal, juga tak kalah hebohnya. Seorang tim sukses yang akan menikah misalnya, anggota legislatif diposisikan sebagai pihak yang harus menanggung beban pernikahan itu. Mulai dari sumbangan uang panai, sewa electone, turut mengundang hingga peminjaman mobil untuk mempelai.
Belum lagi jika ada di antara keluarga tim sukses yang menaruh harapan agar dapat dibantu biaya bulanan dengan alasan sedang kuliah di luar daerah. Bahkan datang dan perginya seorang tamu bermerek tim sukses, juga harus diikuti dengan biaya transportasi. Sejumlah hal ini memang harus diakui turut memicu tumbuh suburnya perilaku korupsi para pejabat.
Karena itu, ada dua hal yang sebaiknya dapat menjadi perhatian bersama. Pertama, praktik politik hendaknya terus ditata sebaik mungkin. Partai Politik cukup bertanggung jawab untuk melahirkan wakil rakyat yang tidak korup.
Tetapi di sisi lain, rakyat harus terus diajak untuk tidak mengawali perilaku korupsi politik di setiap momentum politik yang berlangsung. Pemilu 2019 akan menjadi cermina atas kesadaran tersebut. Kendati kita pun tak mesti kaget dengan perilaku amnesia publik di setiap hajatan politik itu tiba.
Kedua, sebagai daerah pemekaran yang baru, Sulawesi Barat memerlukan personil analis kebijakan publik yang benar-benar mumpuni.
Sebagai jawaban atas bekunya dua pendekatan; teknis versus politik. Siapa mereka? Tentu bukan dari kalangan circle politic. Juga bukan dari unsur akademisi murni. Tapi mereka yang mampu melihat, berefleksi, memberi komparasi yang tepat serta solutif dalam proses ekskusi kebijakan.
Ketiga, moralitas sebuah daerah sangat tergantung pada kekuatan mereka memberi makna atas kearifan yang dimilikinya. Nyaris saja kita berkesimpulan, kemungkinan praktik korupsi tumbuh subur juga dikarenakan oleh defisit pemaknaan terhadap arti sebuah kearifan.
Toh, istilah malaqbi hingga kini juga belum menemukan format empiriknya yang mudah disemaikan di benak publik.
Bagi Prof. Miftah Thoha (2007), moralitas tak cukup jika hanya diselipkan sebagai asesoris kehidupan. Melainkan sebagai rambu utama bagi rakyat, pemerintah pengusaha, akademisi dan segenap stakeholder lainnya, sebelum hukum bertindak.
Akhirnya, korupsi memang tak patut dimaklumi. Namun juga tak arif kiranya kita selalu mengutuk sesuatu di hilir semata. Sebab di hulu-pun kita punya dosa yang tak kalah nistanya. (*)