Siapakah Penguasa Masa Kini ?

Wacana.info
Nursalim Ismail. (Foto/Facebook)

Oleh: Nur Salim Ismail (Dosen Ilmu Sosial Politik UNIKA)

Suatu ketika, Prof. Hamid Awaluddin menuturkan, masa depan dunia terus bergerak pada perubahan yang begitu cepat. Mulai dari kemajuan teknologi yang sangat cepat, meningkatnya kesadaran merawat lingkungan, kesadaran berdemokrasi lintas elemen, hingga kemunculan masyarakat menengah baru. Proses tersebut cukup memberi dampak sistemik terhadap pola dan strategi kekuasaan dalam merespon arus deras gelombang perubahan itu. 

Di era masa kini, argumentasi normatif-mekanistik dalam pergumulan sosial tidaklah cukup, kendati hal itu bersumber dari otoritas yang terpercaya. Sebab di zaman ini, manusia tak cukup puas berkompromi dengan jawaban-jawaban serba kaku dan baku. Dibutuhkan story telling yang memadai, terukur dalam medan kekinian. 

Perubahan itu tak pelak membuat mekanisme kehidupan pun kian terbuka. Ruang-ruang yang selama ini hanya dapat disentuh oleh kekuatan tertentu, kini dengan mudahnya dapat diperebutkan oleh semua pihak. Objek-objek yang sebelumnya dijalankan dalam suasana remang-remang, dipaksa bergeser ke lingkaran yang penuh keterbukaan, terang benderang. Siapa yang tak mengikuti alur itu, ia akan terseret oleh arus zaman. Entah tertuduh sebagai generasi tertinggal, atau terkutuk sebagai perompak akhir zaman. 

Lihatlah bagaimana marwah kekuasaan masa kini misalnya. Dengan segala tuntutan keterbukaan, seluruhnya dipaksa bermain terbuka. Sebaliknya, bagi yang masih gandrung dengan kebiasaan gelap, tunggulah saatnya anda akan diringkus oleh kehendak zaman. Realitas tersebut membuktikan adanya lompatan yang luar biasa dalam kehidupan. Jika ditelisik berdasarkan teori generasi, akan ditemukan sejumlah lapisan generasi dari masa ke masa. Rumus ini berangkat dari hitungan siklus 20 tahunan. 

Di antaranya, generasi Pre Baby Boom (lahir pada 1946-1964). Bagi generasi Pre Baby Boom, kehidupan mereka cenderung adaptif, terbuka pada realitas serta kaya dengan kisah dan pengalaman. Wajar, sebab dalam konteks Indonesia misalnya, mereka adalah generasi yang bersentuhan langsung dengan sisi kelam zaman penjajahan. 

Adapun generasi kedua disebut generasi X. Lahir antara 1965-1980, saat awal penggunaan PC (personal computer), video games, TV kabel, dan internet. Generasi X rata-rata masuk dunia kerja era 1990-an, saat terjadi berbagai perubahan besar di bidang ekonomi, kemasyarakatan, kebudayaan dan transformasi dunia industri.

Watak Gen X sebagian di antaranya mencari aman. Tingkat stress memang tinggi, tetapi lebih disebabkan karena kesibukan kerja. Banyak dari Gen X yang menunda perkawinan hingga 35-40 tahun. Serta kurang konkret dalam beraksi. 

Setelah generasi itu, lahirlah gerbong The Baby Boom alias generasi Y. Istilah Baby Boom digunakan Don Tapscott dengan merujuk pada kadar kelahiran yang tinggi selepas Perang Dunia Kedua. 

Generasi inilah yang sedang menguasai hampir seluruh dimensi kehidupan saat ini. Baik di lingkup kekuasaan, korporasi maupun dalam gerakan-gerakan oposisi. Mereka mampu menggerakkan arus bawah, serta mengintervensi level atas. Mereka adalah yang terlahir di antara tahun 1981-1994.

Tipikal generasi ini adalah kelompok generasi progressif. Kecenderungannya interdependen dan partisipatif, lebih manusiawi, memi¬liki lebih sedikit hirarki dalam hal organisasi, kompetitif, lebih bebas dari diskriminasi, berjejaring dan cepat. Mereka cukup berdikari dan tidak terlalu bergantung kepada keluarga. 

Generasi Y juga tak terikat oleh titik profesi tertentu. Bukan mustahil juga jika ditemukan sejumlah profesi rangkap dapat disandangnya. Hal itu bukan tanpa alasan. Label profesi bukan hal penting lagi. Bahkan boleh jadi hanya akan berupa penjara sosial yang memasung aneka kreativitas lain yang dimilikinya. Orientasi hasil jauh lebih diutamakan. Sebab itulah yang terpenting dalam hidupnya.

Komitmen dan loyalitas yang dibangun bukan pada pada figur, melainkan pada apa yang bakal dihasilkan. Mengharapkan kesetiaan berjuang bersama berbanding lurus dengan kesiapan bersikap equal serta simbiosis mutualisme dalam kehidupan. 

Era generasi Y juga senang dengan aktivitas layar maya. Bahkan perebutan eksistensi mereka tak jarang padat merayap di medan maya dari pada di dunia nyata. Wajar ketika dunia penyiaran (broadcasting). TV, radio dan surat kabar sangat mempengaruhi keputusan mereka. 

Jangan heran ketika setiap isu dengan begitu cepatnya mengular ke sana kemari. Dari generasi Y, anda bakal menemukan kecepatan itu berlangsung begitu dahsyat. Sebab dalam hitungan menit bahkan detik, isu itu telah meluber menjadi bagian dari perlawanan virtual. 

Terdapat kemiripan dengan apa yang dikemukakan John Fiske (1995) terhadap generasi penguasa masa kini. Ia menyebut adanya fenomena semacam kesenangan-kesenangan produktif dalam perkembangan budaya. Khususnya dalam konteks budaya pop.

Kesenangan itu muncul dari loyalitas-loyalitas sosial yang dibangun oleh suasana batin rakyat tertindas dari bawah menuju ke atas. Sehingga, sejatinya berada dalam hubungan oposisi dengan kekuasaan yang berusaha mendisiplinkan dan mengendalikan kesenangan tersebut. 

Dapat dibayangkan ketika menyuarakan kepentingannya. Di sini, jangan menjegal mereka dengan tuduhan tak prosedural maupun tak beretika. Sebab sedari awal telah tersampaikan bahwa generasi ini telah lama meninggalkan kebekuan dan kekakuan atas nama aturan dan regulasi. 

Proses interaksi dengan generasi Y cukup unik. Mereka cenderung memandang linear di hampir seluruh dimensi kehidupan. Untuk tidak menyebut hal ini menyimpang dari rumus tata krama dalam kehidupan masyarakat konvensional.

Dalam dimensi ruang komunikasi, generasi Y cenderung menggunakan model komunikasi arus rendah; lugas, terbuka, dan tidak bertele-tele. Lebih terang lagi, pada generasi Y, akan ditemukan sejumlah lompatan sikap hidup yang boleh jadi selama ini dianggap ‘bukan pada tempatnya’. 

Karena itu, pesan terpenting dari catatan ini, kegaduhan yang sedang maupun akan berlangsung, disebabkan oleh makin massifnya generasi Y merebut pengaruh dari transisi generasi sebelumnya. 

Ringkasnya, generasi Jeans telah menaklukkan generasi kemeja. Bagi Fiske, labelitas ini mesti dibaca semiotik, bukan sosiologis. Dalam timbangan semiotika, generasi kemeja telah terlampau lama merekayasa kehidupan serba formal dengan mengandalkan identitas kesenangan tingkat tinggi. Tanpa merasa bahwa generasi jeans terus bergerak dengan menawarkan model yang nyaman, tanggung, kadang murah serta membutuhkan pemeliharaan yang seadanya. 

Pada lingkar kekuasaan sekalipun, perspektif ini cukup faktawi. Maka, jangan pernah berpikir picik, bahwa masih ada banyak cara berkelit, menimpali beragam kegaduhan dari bombardir perebutan makna generasi Y. Sorot dan tatapan mata generasi Y sedemikian tajam. Ia mampu menembus ketebalan tembok konspirasi di balik layar. 

Kata R. Buckminster Fuller, dalam Khayalethu Mofu et. al (2009), tidak ada yang bisa kau ubah dengan melawan kenyataan. Untuk mengubah sesuatu, bangunlah sebuah model baru yang membuat model lama menjadi kuno.

Maka pilihannya hanya dua, anda rela untuk terbuka dengan perubahan yang disodorkan generasi jeans. 

Atau lebih pahit, anda terjungkal oleh paksaan generasi Jeans Celana Robek. 

Sekian...