Manurung, Simbol Kekuatan, Kepemimpinan dan Keadilan
Laporan: Rusman Rusli (Staf DKP Sulawesi Barat)
MAMUJU--"Simbol ini sangat berarti untuk masyarajat Mamuju. Apalagi kita di sini sangat heterogen, semua damai tentram dalam kehidupan sosialnya," Maradika Mamuju, Bau Akram Dai dalam uraiannya pagi hari itu.
==
Gemuruh tabuhan gendang dan alunan serunai membelah pagi, mengiringi langkah hikmat dari para pinati adat yang mengenakan pakaian kebesarannya. Di tengah kabut tipis yang masih menyelimuti pelataran rumah adat Mamuju, Sabtu, (25/10) pagi, waktu seolah berjalan mundur.
Suasana sakral begitu terasa. Mengantar seluruh tamu undangan menyaksikan ritual 'Massossor Manurung', sebuah tradisi pencucian pusaka kerajaan Mamuju.
Ini bukanlah sekadar upacara biasa. Ia adalah nafas sejarah yang masih hidup, masih mengalir dari masa ke masa. Di sini, Bagi masyarakat Mamuju, Manurung (keris pusaka yang dipercaya sebagai kembaran Maradika Mamuju ribuan tahun silam) tak hanya dirawat secara fisik.
Secara harfiah, massossor Manurung adalah sebuah ritual membersihkan pusaka. Namun, bagi sebagian masyarakat Mamuju, ia juga jadi media 'menghadirkan' kembali roh leluhur di tengah kehidupan sosial masyarakat.
"Sema menginung uwai randanna to Mamuju, maka ia to Mamuju (Siapa saja yang telah meminum air Mamuju, maka ia telah menjadi orang Mamuju). Itu berarti bahwa orang yang tinggal di tanah ini sama-sama kita harus membangun Mamuju. Sama-sama kita harus menentramkan Mamuju jika ada satu persitiwa atau persoalan besar terjadi, kita harus menyelesaikannya secara bersama-sama," beber Bau Akram Dai.
Massossor Manurung diyakini punya akar sejarah yang kuat. Manurung, keris yang dipercaya merupakan kembaran dari Maradika Mamuju ribuan tahun silam itu telah dianggap sebagai simbol kekuasaan dan perlindungan dari Sang Ilahi. Ia tidak hanya berfungsi sebagai senjata atau perhiasan semata, tetapi juga sebagai medium penghubung antara manusia dan leluhur, antara dunia nyata dan alam gaib.
Dalam satu siklus tertentu, Manurung harus 'dimandikan'. disucikan melalui ritual khusus. Prosesi ini dipercaya mampu menegaskan kekuatan serta tuah pusaka, sekaligus jadi media memohon perlindungan demi kesejahteraan masyarakat.
"Kami dari lembaga kerajaan adat Mamuju senantiasa berupaya menjaga kelestarian dan budaya serta nilai kearifan lokal di Mamuju. Kemudian membantu pemerintah daerah untuk bersama-sama berjalan bergandengan tangan membangun Mamuju," begitu kata Bau Akram Dai, Maradika Mamuju ke-17 itu.
Rangkaian Acara yang Sarat Makna
Rangkaian Massossor Manurung dimulai dengan Kirab budaya. Pusaka Manurung diarak dengan penuh hormat hingga ke kompleks rumah adat.
Tiba di lokasi kegiatan, tarian Penjemputan dipersembahkan. Seoah menjemput roh leluhur yang diyakini hadir dalam prosesi hari itu. Gerakan tari yang lembut dan hikmat jadi simbol penghormatan yang teramat dalam.
(Foto/Sesar)
Puncak acara adalah riual adat Massossor Manurung. Saat pusaka dicuci dengan air bunga dan wewangian khusus, diiringi mantra atau mungkin doa yang dituturkan dalam bahasa Mamuju. Prosesi yang dipimpin Bau Akram Dai sendiri. Dari panggung utama, ia didampingi sejumlah pemangku adat.
Gubernur Sulawesi Barat, Suhardi Duka, Bupati Mamuju, Sutinah Suhardi, serta sejumlah tamu undangan turut hadir pada ritual yang digelar dua tahun sekali (setiap tahun ganjil) itu.
Pusaka; Penjaga Identitas dan Nilai Luhur
Bagi masyarakat Mamuju, Massossor Manurung bukan hanya tentang membersihkan benda pusaka saja. Proses itu juga menyimpan makna tentang merawat ingatan, menjaga warisan nilai, dan menghormati perjalanan sejarah.
Dalam prosesi tersebut, generasi sekarang seolah diajak untuk memahami bahwa pusaka adalah 'penjaga waktu'. Menghubungkan mereka dengan akar budaya mereka.
"Kita tidak boleh melupakan sejarah. Pusaka dan adat adalah jiwa kita. Melestarikan tradisi ini berarti menjaga identitas kita sebagai orang Mamuju, sebagai orang Sulawesi Barat," beber Gubernur Suhardi Duka.
(Foto/Dinas Kominfo, Persandian dan Statistik Sulbar)
Suhardi Duka menilai, membersihkan pusaka dalam tradisi Massossor Manurung punya kedalaman nilai. Baginya, Massossor Manurung juga jadi momentum pengingat bagi masyarakat tentang pentingnya membersihkan diri.
"Serta evaluasi dan implementasi dari kegiatan pembangunan pemerintahan, dan kegiatan sosial sehari-hari," ucap dia.
Suhardi Duka yang Bupati Mamuju periode 2005–2015 itu memberi penegasan tengang pentingnya budaya sebagai penuntun jati diri dan kepribadian masyarakat.
“Termasuk bahasa. Bahasa Mamuju adalah bagian dari identitas kita. Jika ada orang Mamuju yang tidak tahu bahasa Mamuju, itu artinya tercabut dari akar budayanya. Maka mari belajar bahasa, Mamuju,” pinta dia.
Bentuk Budaya, masih oleh Suhardi Duka, bisa dikembangkan menjadi satu potensi ekonomi daerah melalui pariwisata budaya. Provinsi Bali, kata dia, telah sukses mampu menggabungkan nilai spiritual, budaya dan aktivitas ekonomi.
“Budaya di era modern seperti sekarang tidak hanya disakralkan, tapi juga bisa dipasarkan. Contohnya Bali, orang datang ke sana bukan hanya untuk menikmati alamnya, tapi juga budayanya. Maka tradisi Massossor Manurung ini bisa kita kembangkan menjadi atraksi wisata budaya yang menarik wisatawan lokal dan mancanegara,” terangnya.
Keunikan budaya Mamuju yang berangkat dari kepercayaan bahwa Manurung bukanlah benda biasa, melainkan sesuatu yang 'dilahirkan', menyipan nilai mistik dan simbolik yang tinggi. Menurut Suhardi Duka, sebuah komposisi yang sangat menarik bagi dunia luar.
“Kalau orang asing mendengar bahwa keris ini dilahirkan, pasti mereka penasaran dan ingin tahu bagaimana keyakinan itu terbentuk. Ini daya tarik budaya yang luar biasa jika dikemas dengan baik,” demikian Gubernur Suhardi Duka. (*/Naf)









