Tansi Militer yang Bergaya Sipil

Wacana.info
Suhardi Duka. (Foto/Manaf Harmay)

Oleh: Suhardi Duka


Di mana-mana yang namanya militer tentu berbeda dengan yang lain. Markas komando yang berseragam dan bersenjata, serta dihuni oleh orang-orang yang terlatih untuk menghadapi situasi yang sulit di medan perang. 

Namun di Makorem 142 Taraada Tarogau (Tatag) yang saya kunjungi minggu lalu rasanya berbeda. Di sana justru bergaya sipil, ramah dan santun.

Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dulu dikenal sangar dan serba keras kini jauh berbeda bila berada di tengah masyarakat. TNI kini benar-benar ditempah untuk sabar. Sabar menonton drama kehidupan dan jalannya politik nasional.

Pasang surut peran militer dan dwi fungsi ABRI telah menempa TNI untuk  menjadi perisai bangsa, sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan. Militer telah berada di barak dan dwi fungsinya telah dicabut sebagaimana tuntutan reformasi 98.

TNI dulu yang peran sosial politiknya cukup menonjol kini berubah 180 derajat. Bahkan jabatan asisten sosial politik telah dicabut di intitusi militer saat ini. Kepala BIN yang selalu dijabat oleh TNI kini sudah tidak, apalagi Dirjen di sejumlah Kementerian. 

Artinya hampir seluruh jabatan sipil kini tak lagi diduduki oleh TNI. Peran politik TNI telah ditinggalkan, namun rakyat tetap berharap kepada TNI akan peran sosialnya. 

TNI dibutuhkan rakyat dan bangsa karena di tangan TNI persoalan bangsa mampu dilalui dalam kondisi apapun. Dalam kondisi damai TNI sangat membantu rakyat dalam penanganan setiap bencana. Di mana mana ada bencana, selalu TNI yang menjadi garda terdepan untuk membantu penderitaan rakyat. Demikian juga dalam menembus wilayah-wilayah sulit, TNI menjadi pembuka jalan untuk pembangunan infrastruktur jalan melalui TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD).

Saat ini pun TNI banyak membantu petani dalam peningkatan produksi pertanian khususnya swasembada pangan.

Di beberapa diskusi tentang proses reformasi di institusi pasca 98 yang notabene semua melakukan reformasi, harus diakui TNI-lah yang cukup sukses melakukan itu. Mulai dari rekruitman atau proses penerimaan perwira, bintara dan tantama yang berjalan sesuai SOP ketimbang sistem koneksi dan jalur abal-abal 'sogok menyogok'.

TNI relatif lebih bersih dibanding dengan institusi lain. Demikianpun dalam pembinaan sisitim karier TNI lebih terstandar dan terbuka termasuk dalam jenjang pendidikan mulai dari sesko sampai ke lemhanas, TNI kurang terdengar 'jeruk makan jeruk'.

TNI tidak ingin mengulangi kekurangan masa lalu. TNI sadar bahwa negara butuh TNI yang profesional untuk menjadi pilar terdepan dalam menjaga marwah, harkat dan martabat bangsa. Pengalaman dengan negara-negara di timur tengah sangat mudah tercabik-cabik dan diadu domba yang pada akhirnya diinfasi dan perang saudara.

Bagi TNI,urusan politik, demokrasi dan pemerintahan biarlah menjadi tugas sipil agar tercipta negara modern yang lebih demokratis.
 
Namun kewaspadaan terhadap berbagai ancaman dan ganguan tetap menjadi langkah preventif yang harus tetap terjaga, termasuk bahaya laten komunis tentunya.

Apakah masih memungkinkan komunis akan tumbuh di Indonesia, di tengah komunis dunia yang sudah runtuh ?. Pertanyaan seperti ini sering muncul dan dangkal, tidak paham cara kerja komunis di Indonesia yang terbukti telah berkhianat beberapa kali.

Saat ini banyak yang memuji langkah panglima Gatot, yang secara tegas kembali memutar Film G30 S/PKI, karena faham dan cara-cara komunis tidak pernah padam dan mati di Indonesia. Untuk itu, generasi muda harus tahu perjalanan sejarah. 

Karena PKI mulai ingin memutarbalikkan fakta, seakan-akan dia yang korban dan pemerintah perlu mengembalikan kehormatan dan minta maaf. Herannya, ada juga yang bersimpati.

PKI memang hantu karena perjalanan sejarah PKI selalu muncul tiba-tiba dan menusuk dari belakang. Untuk mendirikan partai sendiri pasti tidak mungkin, tapi caranya menginfiltrasi dan masuk di lini-lini vital dan juga Parpol, pasti telah dilakukan oleh PKI saat ini. 

Jadi tepat panglima TNI kembali mengingatkan akan bahaya PKI. Jangan dikatakan ini mimpi, ini bukan mimpi tapi kewaspadaan.

Kasat mata juga saat ini ada institusi yang tidak mampu mengontrol langkahnya, bahkan menjadi super hero, karena ia telah menembus jabatan apapun yang diinginkan, dan menjadi alat politik. Institusi itu saya sebut 'ter'; terkuasa, terkaya, terhormat, terkuat dan banyak lagi 'ter' yang disandangnya.

Hati-hati kalau sudah terlalu 'ter', maka alam akan mengotreksinya. Era dan rezim tidak pernah abadi, sekuat apapun orde baru jatuh juga karena 'ter'. Untuk itu koreksi dan mawas terhadap kasadaran diri menjadi penting.

Selamat menyonsong HUT TNI tahun 2017. Tetaplah menjadi tentara rakyat. (*/Naf)

Batik Air, 21 September 2017