Debat Pilgub Sulbar; Fakta Politik Tanpa Visi

Wacana.info
Udin Mandegar. (Foto/Manaf Harmay)

Oleh; Syarifuddin Mandegar (Pemerhati Sosial)

Perhelatan Politik selalu menempatkan genre kemenangan di poduim number one. Tradisi kongko-kongkow di Warkop tak pernah sepi dari nada politik yang liriknya tidak hanya berkutat pada calon A atau B yang menang. 

Saya seringkali hadir sebagai pendengar setia dan menyimak setiap lirik-lirik itu oleh para tim sukses sembari membaca perdebatan sengit klaim tim sukses di media sosial. Sungguh suatu pemandangan yang lain daripada teori politik yang sering saya baca lewat buku. 

Entah bacaannya saya yang salah...? sehingga sering kali bertentangan dengan fakta politik saat ini. tapi para penulis buku itu adalah orang-orang yang pengetahuan politiknya sangat mumpuni. Mungkin ada  benarnya kata  sebagian orang, bahwa apa yang kita baca seringkali bertentangan dengan fakta. Terus, apa pasal..?. Bukan maksud menghakimi para pendukung atau tim sukses itu tapi mungkin tidak ada salahnya jika kita saling mengingatkan. 

Mari kita fokus...

Jika sebagian besar pendukung, baik calon A maupun B atau C, lirik  politiknya menyuguhkan hal-hal negatif bahkan nadanya cenderung tendesius dan itu dianggap hal-hal yang wajar saja. Apakah pantas untuk diwajarkan...?. 

Tanpa kita bergeming sedikitpun untuk mengatakan bahwa itu bukanlah politik, tapi iri dan dengki yang dipolitisasi. Menang atau kalah, adalah hasil akhir dari pilihan masyarakat Sulbar dalam Pilgub. Tapi menebar fitnah, aib, dan kampanye hitam yang dianggap sebagai legitimasi pembenaran mempertahankan calon yang didukung adalah hal yang bertentangan dengan nalar logika kemanusiaan. 

Kenyataan seperti inilah yang saya sebut fakta politik tanpa visi. 

Dalam setiap perdebatan di media sosial itu, ada yang kerjanya mencari kekurangan suatu daerah kemudian dijadikan alat banding untuk mengangkat citra daerahnya. Lalu diposting ke media sosial kemudian para pengguna media sosial ramai-ramai memberikan komentar yang jauh dari kata ilmiah. 

Ada juga yang senang mencari-cari kesalahan salah satu calon lalu mencitrakan calonnya. Alih-alih tampil sebagai orang yang lebih memahami geopolitik Sulawesi Barat ketimbang calonnya Gubernur yang didukungnya. 

Fakta seperti ini adalah bukti fallacy of dramatical, yakni sebuah kesalahan berpikir yang didramatisasi sedemikian rupa sehingga tampak seperti kebenaran sesungguhnya. Benar kata Hitler, bahwa kebenaran itu adalah kesalahan yang didokrinkan berkali-kali akhirnya menjadi kebenaran meskipun hakikatnya semu. 

Secara psikis, orang yang sedang dengan propaganda-proganda negatif adalah ciri orang yang sedang tidak bahagia melainkan sedang menuai penderitaan. Sebab, kebahagian itu sendiri bersumber dari hal-hal yang positif. Hal-hal yang bersifat negatif akan mendatangkan derita (lawan bahagia adalah derita). 

Propaganda-propagada negatif itu, bahkan bisa dipandang sebagai kekerasan terselubung yang jauh lebih berbahaya ketimbang kekerasan yang tampak di dapadapan kita. 

Jadi seseorang yang sedang berkampanye atau propaganda-proganda hitam (buruk), sesungguhnya sedang mengalami penderitaan psikis yang tidak mereka sadari. Kelihatannya memang bahagia tapi secara kejiwaan jauh lebih menderita ketimbang orang sedang terbaring di rumah sakit akibat suatu penyakit. 

Berkenaan dengan itu, ada dua macam penyakit, pertama: penyakit yang bersumber dari makanan atau lingkungan yang tidak sehat. Kedua : penyakit yang diakibatkan oleh Bala’ (bencana) yang diakibatkan oleh perbuatan dosa berupa kesenangan melakukan propaganda atau kampanye hitam. 

Itulah sekelumit gambaran fakta politik tanpa visi. Padahal, Kerinduan masyarakat Sulawesi Barat terletak pada prosesi politik edukatif yang menampilkan branding visi-misi calon Gubernur bernuansa inovasi dan inspirasi mencakup persoalan pendidikan yang memaparkan indeks pembangunan manusia, persentase angka pengangguran dan cara mengatasinya, tentang kesehatan dan pertumbuhan ekonomi beserta berbagai solusinya. 

Sehingga rakyat kektika memilih calon Gubernurnya, bukan hasil dari propaganda-propaganda aib, dengki, hasut dan fitnah. Masyarakat mestinya diberi ruang untuk menentukan pilihannya sesuai dengan kebutuhan untuk membangun Sulawesi Barat menjadi lebih baik. (*)