OPINI

Pendidikan dan Pengangguran

Wacana.info
Pertiwi Tanihaha, SST.,MM. (Foto/Istimewa)

Pertiwi Tanihaha, SST.,MM (Statistisi Ahli Muda)

Bayangkan jika di dunia ini tidak pernah ada manusia yang memutuskan untuk menyusun simbolisasi dari apa diucapkan. Besar kemungkinan perkembangan pengetahuan dan teknologi tidak akan seperti apa yang ditemukan saat ini. Termasuk tidak akan adanya yang di baca saat ini.

Mungkin banyak yang tidak menyadari, bahwa 8 September lalu adalah salah satu hari penting yang diperingati dunia. Tanggal tersebut didaulat sebagai hari aksara internasional. UNESCO sebagai penggiat pendidikan menginisiasi adanya hari Aksara untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya melek huruf. Upaya pemberantasan buta huruf di Indonesia dengan penyediaan sarana pendidikan nampaknya cukup berhasil. Sejak dicetuskan, 57 tahun lalu, hingga saat ini menurut Badan Pusat Statistik (BPS), 98 persen lebih penduduk Indonesia sudah melek huruf atau beraksara. 

Di Sulawesi Barat sendiri hingga tahun 2022 hanya tersisa sekitar 4 persen penduduk usia 15 tahun ke atas yang masih buta aksara. Upaya pemerintah dalam pengentasan buta aksara ini memang penting, namun saat ini tuntutan itu sudah berubah. Kemampuan baca tulis tidak cukup untuk memajukan kesejahteraan masyarakat. Mereka perlu pendidikan yang berkualitas, lapangan kerja yang memadai, dan terbuka luasnya kesempatan usaha. Pendidikan dasar gratis tentu menjadi perangsang jitu bagi orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya.

Animo berpendidikan tinggi pada masyarakat juga semakin baik seiring bertambahnya sarana pendidikan tinggi. Pertumbuhan jumlah lulusan pendidikan tinggi di Sulawesi Barat makin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Begitu pula dengan perkembangan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dan Harapan Lama Sekolah di Sulawesi Barat terus meningkat. RLS adalah rata-rata lamanya penduduk usia 25 tahun ke atas menjalani pendidikan formal dalam ukuran tahun. HLS sendiri didefinisikan sebagai lamanya tahun sekolah formal yang diharapkan akan dijalani oleh anak pada umur tertentu di masa mendatang. Selama periode 2010 hingga 2022, HLS di Sulawesi Barat telah meningkat sebesar 2,29 tahun, sementara RLS meningkat 1,45 tahun.

Harapan Lama Sekolah secara rata-rata tumbuh sebesar 1,66 persen per tahun. Meningkatnya Harapan Lama Sekolah menjadi sinyal positif bahwa semakin banyak penduduk yang bersekolah. Di tahun 2022, Harapan Lama Sekolah di Sulawesi Barat telah mencapai 12,87 yang berarti bahwa anak-anak usia 7 tahun memiliki peluang untuk menamatkan pendidikan mereka hingga lulus SMA atau D1. Sementara itu, Rata-rata Lama Sekolah di Sulawesi Barat tumbuh 1,67 persen per tahun selama periode 2010 hingga 2022. 

Pertumbuhan yang positif ini menunjukkan peningkatan kualitas SDM yang merupakan modal penting dalam membangun Sulawesi Barat yang lebih baik. Hingga tahun 2022, secara rata-rata penduduk Sulawesi Barat usia 25 tahun ke atas telah mengenyam pendidikan hingga lulus SMP kelas 2.

Sayangnya kondisi ini belum mampu diimbangi dengan peningkatan peluang untuk memperoleh pekerjaan yang baik. Pendidikan yang semakin tinggi membuat pemangkunya semakin selektif dalam memilih pekerjaan. Tentunya hal ini akan berimbas pada pengangguran. Pengangguran didefinisikan sebagai mereka yang tidak mempunyai pekerjaan, sedang mencari pekerjaan dan bersedia untuk bekerja. 

Secara spesifik, konsep penganggur yang digunakan oleh BPS dalam surveinya yaitu Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) adalah mereka yang tidak bekerja dan mencari pekerjaan, mereka yang tidak bekerja dan mempersiapkan usaha, mereka yang tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan atau mempersiapkan usaha karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, dan mereka yang tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan atau mempersiapkan usaha karena sudah diterima bekerja, tetapi belum mulai bekerja.

Salah satu indikator yang sering digunakan dalam analisis ketenagakerjaan adalah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Secara matematis, TPT didefinisikan sebagai hasil bagi antara jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja. Yang perlu ditekankan adalah denominator/faktor pembagi yaitu angkatan kerja atau penduduk yang aktif secara ekonomi, bukan jumlah penduduk. TPT di Sulawesi Barat pada Agustus 2022 tercatat sebesar 2,34 persen. Pengertiannya yaitu dalam 100 orang angkatan kerja terdapat sekitar 2 orang yang menganggur.

Karakteristik penganggur yang sangat penting diperhatikan adalah tingkat pendidikan. Hal tersebut penting karena disamping berkaitan dengan penawaran tenaga kerja, juga berkaitan dengan permintaan tenaga kerja. Dari sekitar 17 ribu orang penganggur di Sulawesi Barat, hampir 14 persen adalah penganggur yang berpendidikan tinggi yaitu penganggur lulusan diploma dan sarjana. Belum lagi jumlah pengangguran yang
berpendidikan SMA sederajat. 

Jika disandingkan dengan jumlah penganggur berpendidikan tinggi tahun lalu, besarannya masih lebih rendah. Tahun sebelumnya jumlah pengangguran lulusan diploma dan sarjana tercatat hampir 4 ribu orang. Sedangkan lulusan SMA sederajat lebih dari 12 ribu orang. Adanya pengangguran terdidik tersebut tentunya cukup meresahkan. Penyebab utama pengangguran terdidik adalah kurang selarasnya perencanaan pembangunan pendidikan dan perkembangan lapangan kerja yang tidak sesuai dengan jurusan mereka. 

Hal tersebut mengakibatkan para lulusan perguruan tinggi tidak terserap ke dalam lapangan kerja yang ada. Kampus dan lembaga pendidikan yang ada tentu tidak berniat mencetak para penganggur. Apa daya, sistem pendidikan yang ada saat ini belum cukup mampu menghasilkan lulusan yang berdikari, yang tidak hanya menghasilkan pencari kerja namun juga pencipta kerja.

Keadaan ini tentu tidak “sehat” karena dapat berdampak pada laju Indeks Pembangunan Manusia. Para lulusan pendidikan tinggi ketika dihadapkan pada masalah sulitnya mencari pekerjaan di Sulawesi Barat akan berusaha mencari penghidupan yang layak di daerah lain.

Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah daerah memiliki lembaga-lembaga pelatihan kerja yang aktif dan mendirikan workshop yang produktif. Pengembangan potensi daerah seperti pengolahan hasil laut, kehutanan, dan perkebunan bisa menjadi peluang besar pemberdayaan tenaga produktif di Sulawesi Barat. Event-event wisata yang saat ini sudah rutin dilaksanakan dan media online yang semakin mudah dijangkau bisa menjadi pasar potensial bagi pengembangan usaha mereka. (*)