Menuju Pemilu 2024

Banyak Partai, Penggunaan Proporsional Tertutup Tidak Tepat

Wacana.info
Ketua DPD Partai Demokrat Sulawesi Barat, Suhardi Duka. (Foto/Santo)

MAMUJU--Pro kontra menyelimuti wacana sistem proporsional tertutup yang kembali mengemuka menjelang Pemilu 2024.  Banyak yang menolaknya, tak sedikit pula yang memilih menolak penggunaan sistem tersebut, tentu dengan berbagai alasan.

Bagi Suhardi Duka, pihak yang menginginkan penggunaan sistem proporsional tertutup di Pemilu 2024 nanti adalah mereka yang rindu dengan rezim orde baru. Metode pemilihan yang digunakan di sepanjang 30 tahun lebih masa orde baru yang menurut Suhardi Duka tak lagi relevan untuk diaplikasikan hari ini.

"Orde baru itu hanya ada tiga partai. Sekarang ada banyak partai. Tiga partai saja, wakil-wakil rakyat itu tidak dikenal oleh yang memilihnya. Jadi, rakyat tidak pernah diberi kesempatan untuk memilih tokoh atau orang yang akan mewakilinya di parlemen. Pada akhirnya konstituen tidak mengenal siapa wakilnya, wakilnya juga tidak mengenal kontituennya. Ujungnya, pengabdian seorang wakil rakyat itu tidak lagi kepada rakyat tapi mengabdi kepada partai. Itu risiko dari proporsional tertutup dan memang gagal kita praktekkan di Indonesia. Itu menghancurkan demokrasi, hanya melahirkan demokrasi terpimpin," urai Suhardi Duka, Ketua DPD Partai Demokrat Sulawesi Barat saat ditemui di sela-sela aktivitasnya di Mamuju, baru-baru ini.

Era reformasi seperti sekarang ini menuntut lahirnya sistem demokrasi yang terbuka. masyarakat memilih secara langsung siapa figur yang akan mewakilinya. Masih oleh Suhardi Duka, sistem proporsonal terbuka seperti yang diberlakukan di era reformasi ini bikin partai 'hanya' sekadar jembatan.

"Rakyatlah yang memilih siapa wakilnya. Dengan begitu, rakyat akan tahu persis siapa yang mereka dipilih. Positifnya lagi bagi mereka yang terpilih akan menabdikan diri kepada konstituen, kepada rakyat," sambung pria yang juga Anggota Komisi IV DPR RI itu.

Selain akan mendegradasi semangat demokrasi, penggunaan sistem proporsional tertutup hanya akan menciptakan politisi berwujud 'kutu loncat'. Jika di partai tertentu politisi yang dimaksud tak kebagian nomor urut 1, besar kemungkinan yang bersangkutan bakal memilih pindah ke partai lain.

"Itu bisa terjadi, karena sekarang ini banyak partai. Beda dengan orde baru, politisi tidak akan bisa pindah partai karena hanya ada tiga partai saja. Jadi itu risiko. Makanya kami Demokrat menolak itu dan menyatakan bahwa apa bila proporsional tertutup yang terjadi terjadi adalah kemunduruan demokrasi, menghianati amanat reformasi," jelasnya.

Tetap dengan sistem proporsional terbuka, kompetisi baik di internal maupun di eksternal partai akan berjalan. Kompetisi yang yang bagi Suhardi Duka akan melahirkan kualitas. 

"Yah walaupun masih banyak kekurangannya. Misalnya praktek politik uang dan lain sebagainya. Bagi saya, dimana-mana ada politik uang. Solusinya bukan mengubah sistemnya tapi perbaiki kesadaran berdemokrasi. Mau proporsional tertutup bisa juga politik uang, lebih-lebih proporsional terbuka. Makanya dari tahun ke tahun pelaksanaan Pemilu kita itu harus diperbaiki kesadaran semua pihak dalam berdemokrasi," simpul Suhardi Duka. (*/Naf)