Membincang Sederet Tulisan Kocak di Spanduk Aksi Mahasiswa

Wacana.info
Tuntutan Massa Aksi Diterima oleh Pimpinan DPRD Sulbar di Ruang Paripurna DPRD Sulbar. (Foto/Asmadi)

MAMUJU--Gelombang aksi unjuk rasa digelar secara serentak oleh mahasiswa di berbagai daerah pada Senin (11/04). Mahasiswa yang berasal dari berbagai organisasi kemahasiswaan serta BEM itu mengusung beberapa tuntutan. Dari mengkritisi kemerosotan perekonomian akibat beberapa kebijakan pemerintah, hingga desakan menolak penundaan pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan, serta beberapa isu lainnya.

Ada yang menarik dari gelaran unjuk rasa besar-besaran tersebut. Beredar di ragam platform media sosial sederet foto pendemo yang terlihat membawa poster bernada lucu, kocak dan bikin ngakak. Spanduk atau pun poster berisi pesan lucu yang dibawa pendemo dari kalangan mahasiswa di aksi 11 April tersebut rupanya mengundang atensi besar dari publik.

Massa Aksi di DPRD Sulbar. (Foto/Ipeng)

Pakar komunikasi dari STAIN Majene, Nurul Islam menilai, pesan-pesan yang termuat dalam poster kocak itu mengusung permainan pikiran melalui bahasa verbal untuk merepresentasikan setiap ide yang ada. Representasi ide tersebut, bagi Nurul Islami, mengandung konsep petanda dan penanda di dalamnya.

"Dalam kajian semiotika (ilmu tentang tanda), petanda itu merupakan konsep rujukan, penanda itu citra atau suara. Bila dilihat pesan yang dibawa, tentunya dalam konsep permainan pikiran, maka memiliki rujukan (konsep) dimana para pembacanya 'dipaksa' untuk memahami apa yang mereka inginkan," beber Nurul Islam kepada WACANA.Info, Jumat (11/04) malam.

Penanda dalam hal ini citra, suara, kata, sambung Nurul Islam, akan menjadi saluran dari ide-ide permainan kata-kata yang dimaksud. Sehingga, permainan pikiran melalui pesan verbal tersebut punya kuasa yang lebih bila tiga hal utama tersimulasi dengan baik.

"Siapa yang menyampaikan, apa pesan dan medianya apa," sambung alumni Universitas Indonesia itu.

Pakar Komunikasi STAIN Majene, Nurul Islam. (Foto/Istimewa)

Nurul Islam pun mengaku sempat mengamati dinamika di platform Twitter. Penting sebagai bentuk observasi melalui big data Twitter dengan tagar #Aksi11april. Dari apa yamng diamatinya, sekitar 2.550 ciutan mayoritas menyebutkan sentimen negatif atas kepemimpinan Presiden Jokowi. Sentimen yang tentunya bernada negatif sekaligus jadi narasi yang dianggap urgen untuk disoroti mahasiswa dalam aksi unjuk rasanya.

"Saya menggunakan metode netlytic dengan analisis data kualitatif atas konten dan perilaku pengguna media sosial. Bagi saya, mahasiswa sekarang, semakin cerdas turun ke jalan sebagai saluran untuk demokrasi, sekaligus tak melupakan gerakan melalui jejaring sosial. Hal ini salah satunya disebabkan karena media mainstream tidak mampu memberitakan apa keinginan mahasiswa. Media mainstream sekarang kesannya sudah terkoptasi oleh pemerintah dan pengusaha," urai Nurul Islam.

Poster Kocak yang Dibawa Massa Aksi di Mamuju. (Foto/Hablu Tribun Sulbar)

"Ketika sentimen negatif meluap dari tagam platform media sosial, maka mereka yang disororti ini akan terdiam, terpojokkan. Sebab algoritma media sosial mencitakan banjir informasi yang negatif bagi mereka. Sederhananya semakin negatif orang maka yang bersangkutan akan semakin tersudut," pungkas Nurul Islam.

Meski materi yang termuat di berbagai poster atau spanduk itu terbilang kurang eits, tulisan-tulisan bernada kocak itu merupakan bentuk ekspresi demontrasi kaum milenial dalam menyampaikan aspirasinya. Peneliti dari lembaga Esensi Sulawesi Barat, Syarifuddin Mandegar mengatakan, era digital sekarang saat ini sangat memungkinkan bagi publik untuk menyerap setiap pesan yang sifatnya sensional dan terbilang berani.

"Dalam bahasa komunikasi, saya kira itu sah-sah saja sebab belum tentu apa diekspresikan menggambarkan orangnya seperti itu," kata Syarifuddin Mandegar dalam sebuah diskusi selepas salat tarawih.

Peneliti dari Lembaga Esensi Sulbar, Syarifuddin Mandegar. (Foto/WACANA TV)

Masih Syarifuddin Mandegar, ragam pesan kocak dalam aksi unjuk rasa mahasiswa tersebut hanya satu aspek terkecil dari demonstrasi berbasis digital. Yang jauh lebih penting bagi mantan aktivis HMI itu, substansi demontrasi tetap berada pada koridor tuntutannya. Setiap pesan lucu dan kiocak itu bisa diartikan sebagai bumbu penyedap di tengah massa aksi.

"Peran media sosial begitu urgen dalam menyampaikan aspirasi masyarakat. Kehadiran media sosial telah menjadi the second world yang mampu merubah perilaku, gaya hidup dan cara berpikir. Demikian halnya dengan demonstrasi, mesia sosial dapat lebih dimksimalkan," tutup Syarifuddin Mandegar.

Di Sulawesi Barat, aksi unjuk rasa mahasiswa di gelar dalam dua gelombang. Diawali oleh sejumlah mahasiswa yang menamakan dirinya aliansi Sulbar Bergerak yang memusatkan aksi unjuk rasanya di gedung DPRD Sulawesi Barat. 

Sekian lama berorasi, massa aksi pun diterima oleh pimpinan DPRD Sulawesi Barat di ruang paripurna DPRD Provinsi Sulawesi Barat. Dalam aksinya, aliansi Sulbar Bergerak mengusung 12 tuntutan utama; menolak penundaan Pemilu dan Amandemen UUD 1945, turunkan harga BBM, turunkan harga Sembako, menolak kenaikan PPN, yudisial review Undang-Undang IKN, yudisial review Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Minerba, menolak hutang baru dan menghapus hutang lama, menolak impor bahan jadi, dan stop mengespor bahan mentah, mengesahkan RUU masyarakat hukum adat dan RUU kepulauan, mengawal pengesahan RUU TPKS, revisi Undang-Undang ITE, stop kriminalisasi mahasiswa dan masyarakat.

Poster Kocak yang Dibawa Massa Aksi. (Foto/fajar.co.id)

Ketua DPRD Sulawesi Barat, Suraidah Suhardi, Wakil Ketua DPRD Sulawesi Barat, Abdul Rahim, termasuk beberapa Anggota DPRD Sulawesi Barat lainnya menerima aksi aliansi Sulbar bergerak hari itu. 

Tak berhenti sampai di situ, sejumlah mahasiswa yang menamakan diri Aliansi Pemuda Sulbar pun menggelar aksi serupa, masih dengan semangat yang sama, aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh perwakilan sejumlah organisasi mahasiswa itu memusatkan aksinya di perempatan Jalan Jenderal Sudirman Mamuju. Termasuk aksi mahasiswa yang juga digelar di Kabupaten Polman dan Majene. (*/Naf)