Kita Dibuat Pusing oleh PSSI

Wacana.info
Foto/panditfootball

Bukannya mau mencari gara-gara, tapi saya memang penasaran, apa yang membuat adanya beberapa peraturan yang janggal dari PSSI dan pihak liga untuk penyelenggaraan Liga 1 Indonesia?

Mulai dari regulasi pemain U23, marquee player, sampai lima pergantian pemain, PSSI dan pihak liga seolah ingin mendapatkan banyak hal: “pembinaan” pemain muda, kemajuan bisnis, dan menjaga agar pertandingan tetap menarik, terutama pada babak kedua saat sudah tidak ada lagi pemain U23.

Jangan salah menilai dulu, saya pro dengan pemain muda. Tapi memang tidak dipaksakan. Mereka akan bermain jika mereka benar-benar sudah siap.

Saya juga setuju jika Liga Indonesia memiliki nilai pasar dan bisnis yang tinggi. Dengan begitu, maka kita akan punya uang yang lebih banyak dan lebih pasti lagi untuk membangun infrastruktur, mendidik pelatih dan wasit berlisensi, dan pada akhirnya mempercepat kemajuan sepakbola nasional.

Namun, jika kita ingin mencari tahu apa penyebabnya, dari yang saya tangkap dengan pembicaraan bersama Hanif Thamrin selaku Direktur Media dan Hubungan Internasional PSSI, maka target emas di SEA Games adalah penyebabnya.

“Sebenarnya kita lihat kacamata untuk mengejar [emas] SEA Games, [penggunaan regulasi U23] itu betul,” kata Hanif. (Selengkapnya: Kompetisi untuk Kelompok Usia atau Semua Usia dalam Satu Kompetisi?)

Semua gara-gara ingin emas di SEA Games

“Saya kira harus diputuskan di pekan-pekan ini agar timnas U23 dengan target emas di SEA Games ini segera terbentuk dan fokus di pelatnas," ucap Imam Nahrawi, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Indonesia, seperti yang dikutip dari CNN Indonesia (21/12/2016).

Jadi, semuanya gara-gara Pak Menpora? Eits, jangan terburu-buru dulu. Kalau kita telaah baik-baik, target emas di SEA Games itu sebenarnya tidak berlebihan, lho. Indonesia memang kelasnya masih di SEA Games atau AFF (Asia Tenggara), sehingga target ini sejujurnya tidak muluk-muluk. Bagus malah.

Jika ini bukan salah Menpora, lantas siapa yang salah? Ya tentunya yang menyikapi target tersebut dengan membuat peraturan-peraturan, yaitu PSSI dan pihak liga. Apalagi jika kita melihat fakta bahwa Presiden Joko Widodo saja mendukung percepatan kemajuan sepakbola ini. 

Bukan bermaksud menyudutkan PSSI dan pihak liga, saya juga terus berusaha memandang masalah ini dari sudut pandang mereka. Karena pada kenyataannya, membuat regulasi itu memang sulit.

Jadi saya bisa simpulkan, regulasi-regulasi yang hadir sekarang adalah efek domino dari ucapan Imam Nahrawi pada akhir tahun lalu tersebut.
Apakah PSSI melibatkan kesebelasan sebelum mengambil keputusan?

Peraturan Liga 1 sejujurnya aneh, bahkan dari awal sebelum diresmikan sekalipun, sudah terlihat jika PSSI dan pihak liga sudah kurang tepat mengambil langkah. 

Tapi, dari mana asalnya peraturan-peraturan itu datang? Kita sebagai penonton mungkin tidak tahu, tapi PSSI dan pihak Liga melakukan rapat evaluasi setelah Piala Presiden 2017 untuk menentukan regulasi yang pada akhirnya dipakai di Liga 1.

“Di akhir Piala Presiden, akan ada meeting evaluasi, untuk terkait seluruh kebijakan. Kita akan undang semua dari klub, dimintai bagaimana feedback-nya terhadap aturan ini,” kata Hanif pada bulan lalu.

“Terus dari sisi PSSI, melihat bagaimana aturan ini bisa mendorong pemain-pemain, munculnya pemain-pemain dan impact-nya terhadap timnas. Kita akan kasih dua argumen yang seimbang, nanti tentu yang memutuskan adalah baik itu dari sisi Pak Ketum, operator, maupun klub.”

“Karena, kan, sebelum liga dimulai mereka harus sign agreement participation. Kita mencoba dengar feedback-nya seperti apa. Kalau ternyata banyak pemain mudanya bisa naik dan bisa berkualitas, harusnya klub juga senang,” lanjut Hanif. 

Berarti, pihak kesebelasan tentunya sudah setuju bukan? Karena PSSI menyatakan bahwa mereka merapatkan dan membahasnya, artinya bukan sekadar menentukan, mengumumkan, kemudian memaksakannya kepada kesebelasan-kesebelasan.

Jika hal itu yang terjadi pada kenyataannya, kita sebenarnya tidak perlu berisik, tidak perlu mengkritik, karena toh kesebelasan (mulai dari pemain, pelatih, ofisial, dan lain-lain) juga menyanggupi.
Ternyata kesebelasan tidak dilibatkan secara langsung mengambil keputusan soal regulasi

Akan tetapi, benarkah regulasi-regulasi “aneh” tersebut memang datang dari pihak kesebelasan? Sulit dimengerti dan sulit dipahami jika itu semua datang langsung dari kesebelasan, artinya, bukan hanya PSSI dan pihak liga yang memutuskan.

Ketika kami bertanya kepada kesebelasan, kebanyakan dari mereka, terutama pelatih, justru kaget dengan regulasi-regulasi tersebut, seolah mereka tidak dilibatkan.

Andi Widya Syadzwina, media officer PSM Makassar, menyatakan jika PSSI tidak mengundang pelatih, melainkan hanya manajemen kesebelasan. Padahal kita tahu, hal-hal teknis itu lebih banyak dipegang oleh pelatih.
“Setiap ada undangan meeting dari PSSI, Robert [René Alberts] (pelatih kepala PSM) sering nanya, ‘Pelatih diundang nggak?’. Dan beliau sangat kecewa karena pelatih tidak ikut dilibatkan,” ujar perempuan yang biasa disapa Wina tersebut.

Tidak bermaksud menggeneralisasi pernyataan tersebut, tapi jawaban-jawaban yang sejauh ini tim Pandit Football dapatkan dari pihak kesebelasan memang cenderung sama dengan yang Alberts rasakan sebagai pelatih kepala PSM. Bahkan ada salah seorang pelatih klub Liga 1 yang mengakui tidak tahu soal subsidi 7,5 M dan aturan marquee player, lho! "Saya baru tahunya dari Anda, malah," ujarnya.

Jadi artinya, PSSI dan pihak liga tidak melibatkan para pelaku teknis sepakbola, sehingga bisa dimaklumi peraturan yang keluar pun cenderung tidak masuk akal dan bahkan ada yang jelas-jelas tidak sesuai dengan Laws of the Game dari FIFA maupun IFAB.

Efek domino yang semakin buruk

Masih dari tema yang sama, kita berlanjut ke peraturan lima pergantian pemain. Saya bisa paham dan maklum jika itu adalah hasil kompensasi dari tiga pemain U23 yang diwajibkan menjadi starter dan bermain selama 45 menit (entah apa yang terjadi misalnya mereka cedera atau dikartu merah sebelum 45 menit).

Hal ini menimbulkan pertanyaannya lainnya. Kenapa sebuah kesebelasan difasilitasi dengan lima pergantian pemain ketika ingin memberdayakan pemain muda? Kan, kalau tetap tiga, setiap kesebelasan akan tidak terburu-buru menarik pemain U23 mereka.

Lanjutan dari halaman sebelumnya

Pergantian lima pemain ini, bisa jadi, karena pihak kesebelasan tidak menyanggupi jika pemain U23 mereka harus bermain, mungkin karena mereka anggap pemain U23 belum sepenuhnya siap, sehingga mereka harus diganti. Tapi kalau diganti terus, maka jatah pergantian pemain akan habis setiap pertandingannya untuk mengganti tiga pemain U23 saja.

Oleh karena itu PSSI membolehkan sampai lima pergantian pemain untuk menyikapi ini. Tapi, ini berarti, lima pergantian pemain secara tidak langsung menunjukkan jika PSSI, pihak liga, dan kesebelasan tidak percaya diri dengan pemain U23 mereka. Bukan begitu?

Kalau misalnya alasannya untuk berjaga-jaga, seharusnya peraturannya bukan boleh lima pemain, tetapi lebih detil, seperti boleh sampai lima pemain jika ada dua pemain U23 yang cedera, atau yang sejenisnya. Tapi tetap saja, peraturan itu tidak sesuai dengan Laws of the Game. (Selengkapnya: Kesebelasan Liga 1 Boleh Lakukan 5 Pergantian Pemain)

Saya rasa, entah disadari atau tidak, peraturan pergantian lima pemain ini akan berubah menjadi tiga lagi sebelum sepak mula Liga 1, karena, seperti yang kita tahu, sudah jelas-jelas ini tidak sesuai dengan Laws of the Game dari FIFA.

Kecuali PSSI dan pihak liga memang ingin Liga 1 menjadi liga yang tidak resmi atau menjadi liga yang dianggap bukan kompetisi tertinggi di Indonesia. Jika memang PSSI menginginkan liga 1 tidak dianggap sebagai kompetisi tertinggi Indonesia, yang diakui AFC, maka selesai perkara.

Tapi jangan salahkan jika liga tidak akan terpandang dan juga kesebelasan jadi tidak bisa berlaga di kompetisi AFC (Liga Champions maupun Piala AFC) musim depan. Perlu kita pertanyakan (sedang kami cari tahu jawabannya), apakah soal aturan ini PSSI sudah berkordinasi dengan AFC atau belu,

Ketidakjelasan yang tercermin dalam marquee players

Kemudian soal marquee player, PSSI juga masih punya hutang untuk menjelaskan sejelas-jelasnya marquee player itu apa. Jika memang boleh lebih dari satu marquee player, bahkan sampai lima, maka tidak masalah juga, kok, jika acuan yang dipakai bukanlah salary cap, asal memang harus konsisten.

Satu hal yang harus kita pahami, PSSI melakukan kebijakan ini karena ingin menaikkan nilai pasar dan bisnis di Liga 1. Kita tidak bisa menilai ini berhasil atau gagal sekarang, waktu lah yang akan menjawabnya. 

Kemudian kecuali ada revisi (lagi) dari definisi marquee player dan/atau salary cap, perdebatan ini terlihat sudah selesai, padahal masih terus bergejolak. Gejolak tersebut hadir misalnya dari tidak terbatasnya marquee player. Jika ini terjadi, bagaimana dengan aturan main di lapangan nantinya? Apa semua pemain asing dan marquee player bisa langsung dimainkan bersama-sama di setiap pertandingan?

Contohnya, kesebelasan A memiliki 5 marquee player, 2 pemain asing, 1 pemain Asia. Jika kesebelasan A memainkan seluruh pemain asing mereka tersebut (boleh, kah?), maka akan ada sisa tiga posisi lagi, yang seharusnya menjadi jatah untuk 3 pemain U23.

Kalau hal ini terjadi, secara tidak langsung kita akan menyediakan “kuburan” bagi pemain lokal alias pemain Indonesia yang berusia dewasa (23-35 tahun) dan juga pemain berumur (lebih dari 35 tahun, yang pada Liga 1 setiap klub hanya boleh memiliki dua pemain saja).

Pusingnya menjadi PSSI

Hal-hal di atas membuat saya heran, apa PSSI selalu berkoordinasi dan/atau berkonsultasi dengan FIFA atau minimal AFC mengenai regulasi-regulasi tersebut? Kalau sudah, feedback-nya apa dari FIFA dan/atau AFC? Kalau belum, apa ada rencana untuk berkoordinasi dan/atau berkonsultasi? Kalau ada rencana, kapan, dan apa kira-kira tanggapan mereka?

Pertanyaan demi pertanyaan tidak henti-hentinya muncul. Lebih mengesalkannya lagi bagi PSSI dan pihak liga, ketidakjelasan ini muncul padahal liga sudah akan dimulai dalam hitungan hari.

Sebenarnya, kalaupun mau membuat regulasi “sembarangan” seharusnya untuk musim depan saja, bukan untuk periode waktu yang singkat (Liga 1 dua pekan lagi, lho), tapi sosialisasinya bisa dari sekarang. MLS memutuskan adanya marquee player sekitar delapan bulan sebelum kedatangan David Beckham ke LA Galaxy. Itu baru tidak apa-apa, jadi kesebelasan juga lebih siap, dan masih ada waktu untuk dikoordinasikan ke FIFA dan/atau AFC.

Jika kita runut, semuanya memang berawal dari target emas di SEA Games 2017 yang disikapi dengan kurang tepat oleh PSSI dan pihak liga melalui regulasi-regulasi mereka, sehingga menjadi efek domino yang semakin buruk.

Hari ini kita mendapatkan pelajaran berharga, tapi sebenarnya menunjukkan kebodohan kita semua (termasuk saya, kamu, dia, dan PSSI), karena ini adalah masalah klasik pada mentalitas: kita tidak bisa maju kalau maunya hanya cepat, hanya instan.

Sumber: Dex Glennıza/panditfootball.com