Pengelolaan Sampah; Kondisi Masyarakat vs Regulasi

Wacana.info
Rizky Pratama. (Foto/Istimewa)

Oleh: Rizky Pratama (Pemerharti Lingkungan, Alumni Universitas Muhammadiyah Malang)

Jangan berbicara solusi jika regulasi belum dibenahi. Jangan bicara regulasi jika kebutuhan masyarakat belum teratasi.

Dalam beberapa waktu yang lalu, terdengar beberapa keresahan masyarakat tentang kondisi Polewali Mandar. Keresahan terhadap para pemangku kebijakan dalam mengelola daerah ini. Entah itu di segi pemerintahan, sosial, ekonomi, pendidikan, pertanian dan berbagai segi lainnya. 

Dan sudah menjadi keharusan bagi pemangku kekuasaan untuk terus dikritisi. Bukan personnya, tapi apa yang telah menjadi kebijakannya. Sebab sebelum menduduki kekuasaan, ada janji yang disampaikan untuk melakukan pembenahan terhadap kondisi yang ada. Itulah yang menjadi dasar bagi masyarakat untuk tetap melayangkan kritikan.

Dalam tulisan ini, coba kami sampaikan pendapat yang sejak beberapa waktu terakhir tak sempat tersampaikan. Kami memberi batasan untuk tulisan kali ini, yakni ada di ruang hukum dan sosial. Lebih spesifik kepada permasalahan terkait aturan yang mengatur permasalahan persampahan dilihat dari segi regulasi dan kondisi sosial yang ada di Polewali Mandar. 

Terdapat juga beberapa keresahan yang terjadi sebenarnya, namun bagi kami hal ini menjadi keresahan umum bagi masyarakat di bumi Tipalayo ini.

Kondisi Umum Persampahan Polewali Mandar

Beberapa waktu lalu, terdapat unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Pemuda Polewali Mandar (APPM) untuk menolak keberadaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di dusun Passu’be, desa Paku, kecamatan Binuang, Kabupaten Polewali Mandar.  

Keresahan terhadap masalah sampah berdampak buruk bagi keberlangsungan hidup di sekitar pemukiman yang ada didaerah sana. Hal ini kemudian menjadi dasar atas aksi unjuk rasa atas penanganan sampah yang ada di Polewali Mandar.

Data yang ditemukan oleh APPM menunjukkan adanya dampak negatif atas keberadaan TPA yang terletak tak jauh dari pemukiman warga. Sebut saja masalah kesehatan, ekonomi dan lingkungan. 

Dalam hal kesehatan, banyak yang mengalami gangguan pernafasan dikarenakan menghirup udara yang sudah tercampur dengan bau sampah. Urusan ekonomi, akibat bau yang dikeluarkan banyak warga yang terganggu karena bau yang ditimbulkan dari sampah tersebut. Bicara lingkungan, banyak kasus warga yang mengalami gatal-gatal dikarenakan air yang sudah terampur dengan air dari genangan sampah. Hahkan air sampah tersebut sudah masuk ke air irigasi sawah warga. 

Hal ini dapat menggambarkan kondisi pengelolaan sampah yang belum dikelola dengan baik oleh pemerintah. Akibat kondisi itu, banyak warga yang sepakat dan menyetujui untuk menutup TPA yang ada di Polewali Mandar. Hal itu pun kian menegaskan ihwal belum maksimalnya pengelolaan sampah di Polewali Mandar. 

Salah Satu Potret Buruknya Pengelolaan Sampah di Kabupaten Polman. (Foto/Telegraph)

Yang harus dihindari, jangan sampai muncul asumsi di tengah publik bahwa pemerintah daerah tak becus mengatasi sampah. Jangan sampau. Meski begity, tak elok juga membiarkan pemerintah untuk tak bekerja maksimal dalam urusan ini.

Di kondisinya saat ini, terdapat beberapa kecamatan lain di Polewali Mandar juga mengalami kondisi serupa. Banyak juga titik TPS yang masih menyimpan ragam masalah. Kondisinya bikin problemnya jauh lebih kompleks. Pemerintah daerah jangan terkesan lepas tangan dalam hal pengelolaan sampah.

Regulasi Polewali Mandar Terkait Persampahan

Terdapat beberapa poin yang perlu disampaikan dalam tulisan ini terkait pengelolaan sampah di Polewali Mandar. Keberadaan TPA perlu dilihat dalam Pasal 35 Ayat (2) huruf e Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 03/Prt/M/2013 Tentang Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Persampahan Dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. 

Disana disebutkan; jarak dari permukiman, yaitu lebih dari 1 Km (satu Kilometer) dengan mempertimbangkan pencemaran lindi, kebauan, penyebaran vektor penyakit, dan aspek sosial. Hal ini sudah diatur dalam Permen PUPR. Faktanya, kondisi di lapangan diketahui jarak TPA dengan pemukiman hanya berkisar 200 Meter. Jelas telah melanggar ketentuan Permen PUPR tersebut. 
Bahkan 1 Km, harus juga dipertimbangkan terkait dengan pencemaran, kebauan, penyebaran penyakit dan aspek sosial. Hal-hal seperti ini perlu diperhatikan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah ini. 

Selanjutnya, terdapat Perda yang membahas terkait pengelolaan persampahan yang ada di Polewali Mandar. Yakni Perda Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah. Pasal 1 Angka 6 dalam Perda tersebut disebutkan bahwa sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat yang terdiri atas sampah rumah tangga maupun sampah sejenis sampah rumah tangga. 

Maka, sampah dalam hal ini segala jenis sisa dari kegiatan sehari-hari manusia baik dalam rumah tangga maupun yang sejenis rumah tangga. Lantas, proses alam yang dimaksud di atas seperti apa ?.

Dalam Perda yang sama juga diatur tanggung jawab dari para pihak, baik pemerintah maupun masyarakat dalam hal penanganan sampah. Perda ini memberikan wewenang kepada pemerintah untuk menentukan lokasi TPA dalam RTRW Polewali Mandar. 

Artinya, dalam hal ini RTRW Polewali Mandar sudah ditetapkan bahwa TPA ada di Kecamatan Binuang. Termasuk di dalamnya tentang pengelolaan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dalam mengatasi permasalahan dalam pengelolaan sampah sesuai dengan ketentuan yang ada. Sehingga ada tanggung jawab yang harus dilakukan oleh pemerintah. Oa tak boleh lepas tangan dalam urusan ini.

Kemudian dalam Perda itu juga mengatur tentang cara penanganan, pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan hingga pemrosesan akhir sampahnya. Hal-hal tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten Polewali Mandar. Kontras dengan kondisi di lapangan yang faktantya terdapat ketidaksesuaian dalam melakukan pengelolaan sampah. Ini menjadi hal yang patut untuk dikritisi. 

Terdapat juga pembagian hak dan kewajiban bagi para pihak, baik masyarakat ataupun badan hukum lainnya dalam urusan pengelolaan sampah. Ini menjadi dalih pemerintah daerah (Ddalog di DPRD menyebutkan bahwa masyarakat punya keterlibatan 30 Persen dalam pengelolaan persampahan) untuk seakan-akan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan. Padahal terdapat batasan masyarakat dalam melakukan pengelolaannya.

Keterlibatan masyarakat terdapat dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 40, hal ini menunjukkan bahwa seakan terdapat kedudukan yang sama dalam mengatasi masalah sampah. 

Ini juga jadi poin yang perlu untuk disadari bersama-sama. Masyarakat tidak seharusnya terlibat dalam pengelolaan ini apabila tidak ditunjang oleh sarana dan prasarana yang ada. Sementara terkait sarana dan prasarana itu tidak terlalu dibahas dalam Perda tersebut. Sehingga perlu dipertanyakan keterlibatan Pemda seperti apa dalam menangani masalah ini.

Kemudian, asumsi penulis terhadap Perda di aras adalah peraturan yang belum selesai dan tidak disusun dengan baik. Dapat dilihat dari ketentuan yang belum selesai. Dalam ketentuan Pasal 29 yang mengatur mengenai insentif dan disinsentif terhadap kewajban pemerintah daera untuk memberikan insentif kepada perseorangan, lembaga, dan badan usaha yang melakukan. 

Indikator untuk pihak-pihak yang menerima insentif karena melakukan sesuati itu maksudnya seperti apa ?. Belum ada rumusan yang jelas dan konkret dari Perda ini. Hal ini menunjukkan Perda ini tidak disusun dengan baik.
 
Bukan hanya pemerintah daerah saja yang perlu melakukan tindakan terhadap pengelolaan sampah. Di sisi lain, lembaga legislatif perlu untuk membenahi peraturan-peraturan yang ada terkait masalah ini. 

Dengan melihat satu peraturan yang modelnya seperti ini, dapat diasumsikan tentang apa dan bagaimana dengan Perda-Perda yang lain ?. Sudah menjadi keharusan bagi pemangku kebijakan untuk membenahi masalah ini. Jangan berbicara solusi jika regulasi belum dibenahi. Jangan bicara regulasi jika kebutuhan masyarakat belum teratasi.

Segala permasalahan mengenai pengelolaan sampah ini masih menjadi masalah yang sangat kompleks. Perlu adanya pembaharuan, baik dari segi regulasi sebagai solusi untuk mengatasi kondisi yang dialami masyarakat. 

Aturan yang tidak bersesuaian dengan kondisi atau kebutuhan masyarakat mengakibatkan terjadinya keresahan. Memunculkan kritikan masyarakat, memicu adanya gerakan protes. Sehingga aturan yang ada mestinya didasari oleh kebutuhan masyarakat, bukan kebutuhan pemangku kekuasaan. Apalagi sudah kacau (tidak sesuai dengan regulasi yang berlaku) bikin keresahan masyarakat kian memuncak. (*)