Spritualitas dalam Bencana

Wacana.info
Kondisi Kantor Gubernur Sulbar yang Porak Poranda Akibat Guncangan Gempa Bumi 15 Januari 2020 yang Lalu. (Foto/Azhari S)

Oleh: Nur Salim Ismail (Direktur Esensi Sulbar)

Dua pekan sudah peristiwa gempa bumi di Sulawesi Barat telah berlalu. Setelah harta benda hancur, kepanikan pun turut melengkapi penderitaan para korban. Hidup susah di pengungsian adalah pilihan pahit yang harus dijalani. 

Siang hari harus menahan panasnya terik matahari. Saat malam tiba, suasana dingin tak sanggup dielakkan. Jika hujan turun, mereka hanya mampu pasrah dalam segala ketakutan dan keterbatasan.

Pilihan untuk kembali ke rumah masing-masing tentu bukan persoalan mudah. Memori tentang reruntuhan, bumi yang bergoyang, suasana gelap serta ketakutan akan datangnya kembali gempa belumlah terobati.

Ini membutuhkan terapi penyembuhan yang tak sekedar mengandalkan kekuatan sains semata. Dibutuhkan suntikan spiritual agar kesadaran duniawi yang selama ini menyelimuti kehidupan umat manusia dapat terobati dalam wujud kesadaran Ilahiyah.

Bahwa kekuatan umat manusia hanyalah pada kesanggupan berusaha. Namun di balik semua itu, Tuhanlah yang Maha segalanya. Jika selama ini kita memburu harta dan merebut eksistensi diri dalam berbagai cara, dengan hitung-hitungan investasi dan pasokan cadangan kehidupan masa depan, seketika Tuhan membantingnya tepat di depan mata kita semua. Hanya dalam hitungan tujuh detik dengan skala M 6,2, seluruhnya lepas tanpa kendali.

Apa pesannya ?. Bahwa dalam keakuan diri yang selama ini menggenggam hasrat kita, ternyata ada kekuatan yang melebihi segalanya. Dan sekali lagi, kita bukan siapa-siapa, kita tak punya apa-apa.

Untuk memulihkan kepanikan dan ketakutan yang belum sepenuhnya landai, kita membutuhkan terapi penyembuhan yang berbasis pada kesadaran spiritual. Di sini,  kiranya tak cukup sekedar memaknainya sebatas Agama. Lebih dari itu, spiritualitas
menembus seluruh anak tangga kesadaran manusia.

Dalam tarekat Naqsyabandiyah, terdapat delapan prinsip dasar yang menjadi pedoman ajaran tarekat Naqsyabandiyah. Prinsip dasar ini sangat memungkinkan untuk mengalami kontekstualisasi pemaknaan pada diri tiap-tiap manusia.

Pertama, Hush Dardam. Yakni kesadaran dalam bernafas. Ini dapat dimaknai bahwa dalam segala kehancuran akibat gempa bumi, masih tersisa harta yang paling berharga. Bahwa Tuhan masih memberi kita kesempatan hidup, di saat yang lain telah dimasukkan
dalam daftar nama-nama korban yang meninggal dunia.

Kedua, Nazar bar Qadam. Memperhatikan tiap langkah diri. Bahwa setelah bencana yang menimpa, tak ada kata mundur. Hidup ini haruslah terus berjalan. Namun ingat, teruslah memperhatikan kemana arah langkah diri kita. Sudahkah langkah diri kita telah bergerak
menuju pintu-pintu keridhaan Ilahi ?.

Ketiga, Safar dar Watan, perjalanan mistik di dalam diri. Bahwa sepatutnya bencana ini tak sekedar disorot dalam persitiwa bencana alam semata. Cobalah untuk menangkapnya sebagai isyarat spiritual. Bahwa di atas bencana yang memilukan, percayalah, Tuhan
masih memiliki samudera kasih sayang yang takkan berkurang sedikit pun.

Keempat, Khalwat dar Anjuman. Kesendirian di dalam keramaian. Apa yang dapat ditarik dari kalimat yang terkesan kontradiktif ini ?. Bahwa sudah saatnya kita tak melulu hanyut dalam bujuk rayu kehidupan yang fana ini. Jika anda termasuk orang yang percaya akan kehidupan setelah dunia ini, maka sisipkanlah beberapa waktu dalam kehidupanmu untuk mengumpul bekal di hari kemudian.

Teruslah bergaul dalam keramaian. Di saat yang sama, suasana keramaian demi keramaian tak mesti membuat kita lepas dari
ingatan rindu kepada Tuhan, Zat Yang Maha Abadi.

Kelima, Yad Kard. Pengingatan kembali. Durasi tujuh detik yang meruntuhkan bangunan mewah, menghancurkan properti rumah tangga, hingga merenggut nyawa, telah  mengajarkan arti penting bagi kita semua. Boleh jadi ini merupakan peringatan dari
Tuhan.

Mungkin sudah terlampau jauh kita meninggalkan garis demarkasi keridhaanNya. Mungkin juga makin banyak kemungkaran yang dimaklumi. Atau boleh jadi sudah makin banyak kebatilan yang dibenarkan. Sementara kebenaran, justru dipandang
sebagai kebatilan. 

Pesan Nabi SAW tentang mati sebelum Mati, menorehkan nasehat penting; bahwa tak ada di dunia ini yang mesti dipertaruhkan habis-habisan. Berhentilah menghalalkan segala cara hanya untuk meraih ambisi. Kembalilah ke jalan Tuhan. Ini memang tak sederhana, tapi bukan berarti tak mungkin untuk dilalui. Apalah arti terbilang sukses di dunia, namun Tuhan menanti dengan kemurkaanNya.

Keenam, Baz Gard. Menjaga pemikiran sendiri. Saatnya kita belajar untuk memerdekakan hati kita. Merdeka dari tekanan, merdeka dari paksaan. Bahkan merdeka dari segala hal yang mebuat kita jauh dari Tuhan. Jika selama ini, bobot ibadah kita baru sebatas melepas kewajiban, menggugurkan dosa, tibalah saatnya untuk mengangkatnya ke derajat kerinduan. Rindu akan 'senyuman' Ilahi, rindu pada keabadian.

Ketujuh, Nigah Dasht. Memperhatikan pemikiran sendiri. Jika sebelumnya kita belajar tentang kemerdekaan jati diri, maka dalam memperhatikan diri sendiri, juga tersingkap makna tentang perlunya mawas terhadap segala macam bujuk rayu kehidupan dunia
yang fana. Dunia yang seperti apa ?.

Dalam tasawuf, dunia bukan semata soal langit dan bumi. Dunia dipahami sebagai segala hal yang membuat manusia jauh dari Tuhannya. Kendati telah menjadi bagian dari umat yang taat dalam menunaikan kewajiban, namun jangan lupa, merasa diri paling suci, juga adalah bagian dari dunia. Mengapa ?, sebab hadirnya rasa yang demikian itu, justru menjauhkan kita dari Tuhan, sejauh-jauhnya.

Kedelapan, Yad Dasht. Saat naik pesawat, kita dilarang menyalakan segala perangkat elektronik. Sebab itu mengganggu aktivitas navigasi. Atas alasan keselamatan, kita mematuhi peringatan itu. Demikian pula dengan pemusatan perhatian kepada Allah. Agar navigasi spiritual kita tak terganggu, dibutuhkan kesiapan melepas segalanya. Mulai dari melepas harta benda, hingga kesiapan untuk melepas tuntutan hawa nafsu.

Perjalan hidup kita tidak digambarkan sebagai lingkaran yang bulat. Namun seperti garis lurus yang tak punya istilah kata mundur. Sekali anda hidup, setelah itu, kematian menanti anda. Di ujung perjalanan yang sangat panjang nan melelahkan itu, terkuak satu pertanyaan penting bagi kita semua. Apa yang disiapkan ketika tiba saatnya Tuhan memanggil kita untuk pulang keharibaanNya ?.

Pertanyaan ini menjadi penting untuk direnungkan, sebagai alas kehidupan. Setelah seluruhnya porak-poranda di depan mata. Mungkin ada di antara kita yang masih dirundung ragu dan bimbang atas tumpukan dosanya selama ini. Itu bukan masalah. Sebab Tuhan lebih senang kepada pendosa yang mengakui kesalahannya. Dari pada ahli Ibadah yang membanggakan amal-amalnya. 

Wallahu A’lamu Bis Shawab.

Terima kasih, maaf jika ada yang keliru…….