Memahami Iktikad dan Praktik Tawassul

Wacana.info
Syekh Dr. H. Ilham Shaleh, M.Ag. (Foto/Istimewa)

Oleh : Syekh Dr. H. Ilham Shaleh, M.Ag: Pengasuh Ponpes Darul Ulum Asy Ariyyah Syekh KH. Muhammad Shaleh

Perintah untuk bertawassul disebutkan dalam Q.S. Al-Maidah: 35 yang artinya, "Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan bersungguh-sungguhlah mencari jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya…". Tawassul sendiri dimaknai sebagai usaha sungguh-sungguh seorang hamba untuk memohon kepada Allah SWT dengan menjadikan sesuatu yang disyariatkan sebagai sarana dalam usaha permohonannya tersebut.

Dalam prakteknya, tawassul secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tawassul dengan berdoa dan doa dengan bertawassul. Pada tulisan ini, penulis akan berusaha untuk menjelaskan secara singkat dan padat agar perkara terkait tawassul ini dapat dipahami secara mudah. 

Sekaligus untuk meluruskan kesalahpahaman sebagian umat yang seringkali mengidentikkan praktek tawassul ini dengan kemusyrikan. Hal tersebut dapat dimengerti, sebab tanpa dengan pemahaman yang benar terkait makna dan praktek tawassul ini memang akan mengantarkan kita pada kemusyrikan yang mungkin tidak kita sadari.

Perbedaan Dua Praktek Tawassul

Di atas telah disebutkan bahwa tawassul dalam prakteknya dikenal ada DUA jalan, yaitu tawassul dengan berdoa dan doa dengan bertawassul. Pertama tawassul dengan berdoa. praktek tawassul seperti ini pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, dikisahkan dalam hadis riwayat Al Tirmidzi. 

Suatu waktu Umar bin Khattab RA pernah meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk melaksanakan umrah. Rasulullah kemudian mengizinkan sahabatnya dan berpesan, "Tolong untuk sertakan kami dalam doamu,". Jika praktek tawassul dengan berdoa ini dipraktekkan sendiri oleh Rasulullah SAW, maka pasti dia mempunyai hikmah dan manfaat yang besar jika umatnya turut melazimkan. Untuk praktek tawassul yang pertama ini umat Islam pun banyak yang mempraktekkan dengan saling mendoakan dalam kebaikan dan meminta didoakan kepada orang shaleh.

Kedua adalah praktek doa dengan bertawassul. Praktek doa dengan bertawassul dapat didefinisikan sebagai usaha sungguh-sungguh seorang hamba untuk memohon hanya kepada Allah SWT dengan menjadikan sesuatu yang disukai Allah SWT sebagai sarana permohonannya tersebut. 

Jadi dalam praktek tawassul yang kedua ini perlu digaris bawahi adalah kita harus yakin dengan sebenar-benarnya bahwa yang dapat menghasilkan manfaat dan mudharat hanyalah Allah SWT dan yang bisa dijadikan sebagai sarana tawassul dalam berdoa kepada Allah SWT adalah hanya sesuatu yang disukai oleh Allah SWT. 

Adapun dalam Al Qur’an untuk praktek doa dengan bertawassul ini dapat dipahami dengan menelaah Q.S. Al Baqarah: 89 dan 248.
Pada Q.S. Al Baqarah 89 yang artinya, "Dan setelah sampai kepada mereka kitab (Al Qur’an) dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka sedangkan sebelumnya mereka memohon kemenangan atas orang-orang kafir, ternyata setelah sampai kepada mereka apa yang telah mereka ketahui itu, mereka mengingkarinya. Maka laknat Allah bagi orang-orang ingkar”. 

Ayat ini menggambarkan keadaan kaum Yahudi di Yastrib (Madinah), dimana dikisahkan bahwa mereka jauh sebelum diutusnya Rasulullah SAW telah mengetahui melalui kitab Taurat bahwa akan ada Nabi terakhir yang akan diutus di kota tersebut. Kerapkali orang-orang Yahudi tersebut memohon kepada Allah dengan perantara kemuliaan Nabi yang kepadanya akan diturunkan Al Qur’an (Rasulullah SAW). Hanya saja, setelah datangnya Rasulullah ke kota itu, mereka ingkar terhadap semua yang disampaikan Taurat dan tidak lagi bertawassul kepada Rasulullah SAW sebagaimana yang jauh sebelumnya mereka sudah lakukan.

Hikmah dari Q.S. Al Baqarah: 89 tersebut dapat kita petik adalah jika Allah SWT senantiasa memperkenankan doa orang-orang Yahudi dengan perantara Rasulullah SAW yang bahkan belum dilahirkan di dunia. Lantas bagaimana dengan umat Islam hingga hari kiamat nanti yang senantiasa berdoa kepada Allah SWT dengan menyertakan Rasulullah SAW sebagai perantara dalam doanya ?. 

Tentang ini Imam Al Baihaqi dalam kitabnya sya’bul iman dan Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengisahkan ‘Atabi untuk menjelaskan tafsir Q.S. An Nisa: 64. ‘Atabi berkisah dimana ketika dia duduk didepan makam Rasulullah SAW datanglah seorang Arab Badui seraya menyampaikan salam kepada Rasulullah kemudian membacakan Q.S. An Nisa: 64 yang artinya, "Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzalimi dirinya datang kepadamu (Rasulullah SAW), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat, Maha Penyayang ”.

Kemudian Arab Badui tadi menutup ziarahnya dengan niatnya agar Rasulullah SAW memohonkan ampun baginya kepada Allah SWT. ‘Atabi kemudian bertemu dengan Rasulullah dalam tidurnya dan diperintahkan baginya untuk menyampaikan kepada Arab Badui tadi bahwa Allah SWT telah mengampuni dosanya. Refleksi dari kisah ini adalah praktek memohon kepada Allah SWT dengan perantara Rasulullah SAW adalah hal yang justru sangat dianjurkan.

Selain praktek doa dengan bertawassul kepada Rasulullah SAW, dalam Q.S. Al Baqarah 248 disebutkan, "Dan Nabi mereka berkata kepada mereka, “Sesungguhnya tanda kerajaannya ialah datangnya Tabut (peti tempat Taurat) kepadamu yang di dalamya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun yang dibawa oleh malaikat".  Pada ayat tersebut jelas disebutkan bahwa Tabut terdapat ketenangan dari Tuhanmu, yang menggambarkan pada kita bahwa peninggalan-peninggalan Nabi Musa AS dan Harun AS tersebut dijadikan Allah SWT perantara ketenangan yang pun juga berasal dari Allah SWT. 

Refleksi dari Q.S. Al Baqarah: 248 di atas menggambarkan kepada kita akan dapatnya sesuatu menjadi mulia adalah karena sesuatu itu dilekatkan pada sesuatu yang juga mulia. Sebagaimana Tabut yang hanya adalah sebuah peti namun karena peti tersebut digunakan sebagai tempat yang dimuliakan Allah SWT (Taurat) maka ia pun ikut mulia karenanya. Begitupun dengan peninggalan-peninggalan Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS yang disebutkan dalam ayat tersebut juga ikut mulia karena disandingkan dengan orang-orang yang dimuliakan oleh Allah SWT (para nabi). Semua kemudian menjadi perantara ketenangan dari Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam ayat.

Jadi perlu secara tegas digaris bawahi bahwa dalam Q.S. Al Baqarah: 248 jelas tidak pernah menyebutkan bahwa Tabut dan benda-benda peninggalan para nabi tadi sebagai sebab ketenangan. Hanya saja ia menjadi perantara ketenangan di dalamnya yang berasal dari Allah SWT. Hal ini penting sebab sekali lagi meyakini datangnya manfaat dan mudharat selain dari Allah SWT adalah kemusyrikan yang nyata.

Selanjutnya yang lazim dijumpai dalam ragam praktek doa dengan bertawassul adalah menjadikan orang-orang shaleh sebagai perantara doa kepada Allah SWT. Dengan dasar bahwa mereka orang-orang shaleh tersebut adalah orang-orang pilihan yang disukai bahkan dicintai oleh Allah SWT. Jadi bukan memohon kepada orang-orang shaleh yang jelas adalah musyrik tetapi menjadikan sesuatu yang disukai Allah SWT sebagai perantara untuk memohon kepada Allah SWT.

Salah satu contoh praktek orang-orang shaleh sebagai perantara doa kepada Allah SWT adalah dengan menyimak syair Sholawat Badar yang digubah oleh ulama besar asal Banyuwangi KHR. Muhammad Ali Mansyur. Sholawat yang akhirnya dikenal dan lazim dilantunkan di seluruh dunia terutama pada peringatan-peringatan keagamaan. 

Seluruh baitnya adalah doa kepada Allah SWT dengan bertawassul pada para pejuang Islam sekaligus sahabat Rasulullah saw yang tanpa pamrih berjuang pada perang Badar. Dalam Q.S. Al Imran: 169 disebutkan, "Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki”. 

Selanjutnya pada Q.S. Al Jatsiyah: 21 disebutkan, "Apakah orang-orang yang melakukan kejahatan itu mengira bahwa Kami akan memperlakukan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, yaitu sama dalam kehidupan dan kematian mereka? Alangkah buruknya penilaian mereka itu”.

Dua ayat di atas menjelaskan bahwa orang-orang shaleh adalah mempunyai derajat khusus di sisi Allah SWT, bukan hanya pada saat mereka hidup tetapi bahkan setelah wafat. Bahkan mendapat rezeki dari Tuhannya sebagaimana orang hidup mendapat rezeki tentu dengan bentuk yang lain. Di sini menjadikan orang-orang shaleh perantara berdoa kepada Allah SWT adalah merupakan kelaziman di kalangan para ulama masyhur di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah di Indonesia maupun dunia. 

Adapun pada hadis riwayat Bukhari secara jelas juga mengisahkan bagaimana Umar bin Khattab RA pernah berdoa kepada Allah SWT meminta hujan dengan bertawassul melalui paman Rasulullah SAW Abbas bin Abdul Muthalib RA. Cara terakhir dari cara doa dengan bertawassul adalah dengan perantara amal shaleh kita. Sebagaimana kisah yang terdapat pada hadis riwayat Bukhari yang menceritakan kisah tiga pemuda yang terjebak dalam gua. Satu pemuda bertawassul dengan ibadahnya yang telah menjaga amanah harta orang lain, satu lagi bertawassul dengan ibadah baktinya kepada ibunya dan pemuda terakhir bertawassul dengan ibadahnya yang mampu menghindari zinah. Kemudian Allah SWT memperkenankan doanya dengan perantara yang disukainya yaitu amal shaleh dari para pemuda tersebut. (*)