Pujian Kepada Rasulullah SAW dan Permasalahannya

Wacana.info
Syekh Dr. H. Ilham Shaleh, M.Ag bersama KH Ahmad Multazam dalam Sebuah Kesempatan Diskusi di kota Mamuju. (Foto/Manaf Harmay)

Oleh: Syekh Dr. H. Ilham Shaleh, M.Ag

(Pengasuh Ponpes Darul Ulum Al Asy Ariyyah Syekh KH. Muhammad Shaleh)

Bulan ketiga dalam perhitungan tahun Hijriyah telah tiba. Bulan yang oleh umat Islam, bukan hanya di Indonesia tapi juga seluruh dunia diperingati Maulid Rasulullah SAW. Bulan dimana umat Islam banyak mengisinya dengan bershalawat. Shalawat yang dirangkai dari syair yang berisi sirah Nabawi maupun pujian kepada Rasulullah SAW.

Perihal pujian kepada Rasulullah SAW, terdapat segelintir dari umat Islam yang berselisih paham bahwa kegiatan tersebut menyalahi ajaran Islam dan dapat mengganggu kemurnian tauhid. Asumsi tersebut berangkat dari hadits Riwayat Imam Bukhari, “Janganlah kamu mengkultuskan aku sebagaimana kaum nasrani mengkultuskan Ibnu Maryam, katakanlah aku adalah hamba dan utusan Allah SWT.” Selain itu juga hadits Riwayat Imam Muslim,” Semburkanlah pasir ke muka orang-orang yang suka memuji.”

Pada hadits di atas yang menerangkan larangan untuk mengkultuskan Rasulullah SAW, secara tekstual sangat jelas adalah jika itu dilakukan sebagaimana kaum nasrani mengkultuskan Ibnu Maryam (Nabi Isa as.). Artinya, larangan di sini tidak bersifat mutlak melainkan ada perkara yang menyebabkan sesuatu tersebut dilarang, yaitu jika dilakukan sebagaimana kaum nasrani melakukannya pada Ibnu Maryam. Adapun pengkultusan kaum nasrani kepada Ibnu Maryam adalah dianggap sebagai Tuhan, anak Tuhan dan seterusnya.

Jadi selama umat Islam dalam memuji Rasulullah SAW tetap dalam koridor akidah dimana posisi Rasulullah SAW adalah tetap sebagai hamba Allah SWT. Kita mengakui bahwa tidak ada kuasa Rasulullah SAW atas dirinya selain daripada yang dikehendaki Allah SWT, maka hal tersebut sesuai dengan pegangan tauhid yang benar dalam Islam.

Ilustrasi. (Foto/Net)

Bahkan seorang Muslim paling bodoh sekalipun yang senantiasa melazimkan shalawat pujian kepada Rasulullah SAW, tidak akan menganggap Rasulullah SAW sebagai Tuhan atau anak Tuhannya.

Adapun pada hadits kedua yang memerintahkan untuk menyemburkan pasir ke muka orang-orang yang suka memuji konteksnya sama sekali bukan pada perkara pujian pada Rasulullah SAW. Allah SWT dalam Q.S. Al Qolam: 4 memuji Rasulullah SAW dengan, “Dan sungguh engkau (Rasulullah SAW) benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” Lebih lanjut bahkan Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk senantiasa memuliakan Rasulullah SAW dalam Q.S. Al A’raf: 157, “…Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur’an) mereka itulah orang yang beruntung.”

Olehnya memuliakan Rasulullah SAW dengan memujinya ini pun menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW. Misalnya sahabat Ali bin Abu Thalib ra yang menyebut sebagaimana Riwayat Imam Tirmidzi, “…Aku belum pernah melihat sebelum dan sesudahnya orang yang seperti beliau”. Juga Ummul Mukminin Aisyah ra memuji sebagaimana Riwayat Imam Ahmad dengan,”… Adalah akhlak beliau itu Al Qur’an.”

Jika dikaji lebih jauh hadits , ”Semburkanlah pasir ke muka orang-orang yang suka memuji” adalah ditujukan bagi orang yang suka memuji demi mendapatkan manfaat duniawi pada sesama manusia. Sebagaimana yang banyak dilakukan oleh banyak penyair-penyair di zaman dulu yang menjadi pendamping para penguasa yang tugasnya merangkai syair-syair yang menjunjung tinggi sang raja yang kemudian darinya didapatkan imbalan yang banyak.

Jadi sekali lagi bukan merupakan larangan memuji Rasulullah SAW secara mutlak karena selain dicontohkan para sahabat juga dilakukan oleh Allah SWT dalam Al Qur’an sekaligus diperintahkan-Nya.

Banyak nama-nama sahabat Rasulullah SAW yang di zamannya dikenal perannya lebih pada sebagai penyair yang selalu memuji Rasulullah SAW. Hasan bin Tsabit ra., Kaab bin Zuhair ra., Labid bin Rabiah ra., adalah beberapa nama yang lazim dikisahkan dalam literatur sejarah Rasulullah SAW sebagai sahabat yang pandai bersyair untuk memuji Rasulullah SAW.

 Bahkan syair-syair pujian tersebut menjadi lantunan shalawat yang umumnya dibaca oleh umat Islam. Semisal syair thala al badru, syair banat suad, dan lain-lain merupakan syair pujian para sahabat kepada Rasulullah SAW.

Lebih lanjut sejarah membuktikan bahwa syair pujian yang ditujukan untuk mendapat cinta kasih dan ampunan dari Allah SWT bersama Rasulullah SAW adalah tidak dapat sejajarkan dengan kebiasaan para penyair raja yang berharap imbalan dunia.

Terbukti dengan memuji Rasulullah SAW dengan syairnya Imam Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Al Ishobah mengisahkan, Kaab bin Zuhair ra yang awalnya diperintahkan untuk dibunuh namun oleh Rasulullah SAW karena permintaan maafnya sekaligus syair pujian yang meredam kemarahan Rasulullah SAW menjadi ampunan kepada Kaab bin Zuhair ra.

Begitupun dengan penyair Labid bin Rabiah ra yang oleh Rasulullah SAW mendoakan agar sukunya ditimpakan kekeringan paceklik selama 7 tahun sebagaimana kaum Nabi Yusuf as. Dalam penderitaannya karena paceklik tersebut Labid bin Rabiah ra kemudian menghadap Rasulullah SAW menyampaikan ke-Islamannya dan bersyair memuji Rasulullah SAW agar bersedia mendoakan kembali kaumnya agar selamat dari musibah paceklik. Dengan senang hati Rasulullah SAW menyambut pujian tersebut dan menunaikan permohonan dari Labid bin Rabiah.

Dari penggalan kisah-kisah di atas dapat disimpulkan bahwa larangan memuji dengan bersyair pun bukanlah merupakan larangan mutlak. Selama syair tersebut ditujukan kepada pengagungan akan syiar Islam dan pujian kepada Rasulullah SAW. Membangkitkan dan menyadarkan manusia dari kesalahan dan keterpurukan atas dosanya sebagaimana yang dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah SAW. (*)