‘Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja Seperti Kembali ke Zaman Kolonial’

Wacana.info
Suhardi Duka. (Foto/Net)

JAKARTA--DPR RI akhirnya mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna DPR RI, Senin (5/10). Tercatat hanya ada dua fraksi di DPR RI yang menolak RUU tersebut untuk ditetapkan menjadi Undant-Undang; fraksi Demokrat dan PKS.

Dalam video jalannya paripurna yang banyak beredar di ragam media sosial, fraksi Demokrat bahkan memilih untuk meninggalkan jalannya sidang alias walk out. Anggota fraksi Demokrat, DPR RI, Suhardi Duka membeberkan alasan di balik penolakan partai berlambang bintang mercy itu atas RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Menurut Suhardi Duka, Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja hanya akan menguntungkan segelintir koorporasai saja. Tanpa memberikan jaminan perlindungan kepada kaum pekerja.

"Undang-Undang ini seperti kembali ke zaman kolonial. Karena diperuntukkan untuk kepentingan korporasi tanpa perlindungan kepada kaum pekerja termasuk petani dan sumber daya alam. Hak buruh ditarik dan tidak dilindungi. Kekuasaan lebih kepada pengusaha, begitupun kewenangan daerah ditarik ke pusat semua," beber Suhardi Duka kepada WACANA.Info, Rabu (7/10).

Masih kata Suhardi Duka, Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja juga akan berimplikasi pada impor pangan yang semakin bebas dan tidak melindungi pangan dalam negeri.

"Begitupun terhadap kKawasan hutan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan pengusaha tanpa persyaratan yang ketat dan pidana hanya hukum administratif bagi mereka yang melanggar. Sumber nilainya tidak dari nilai Pancasila, tapi liberalisme," ujar pria yang Bupati Mamuju dua periode ini.

Partai Demokrat, sambung Suhardi Duka, bakal konsisten untuk bersama-sama rakyat, memperjuangkan kepentingan rakyat.

"Partai Demokrat akan tetap mengawal harapan rakyat," demikian Suhardi Duka.

Gelombang Penolakan Hingga ke Mamuju

Keputusan DPR RI yang menetapkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang itu jadi pemantik gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat di sejumlah daerah. Mulai dari organisasi buruh, hingga kalangan mahasiswa membuktikan penolakannya dengan menggekar aksi unjuk rasa.

Sama halnya yang tergambar di kota Mamuju, Rabu (10/07). Ribuan mahasiswa dari berbagai organisasi mahasiswa yang ada mendatangi gedung DPRD Sulawesi Barat. Satu tuntutan utama mereka; menolak Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.

Dalam tuntunannya massa meminta kepada DPRD Provinsi Sulawesi Barat untuk menandatangani penolakan terhadap UU Cipta Kerja.

Aksi tersebut merupakan lanjutan atas di sahkannya kesepakatan Undang-undang Omnibus Law yang baru saja Oleh DPR RI dan Pemerintah, awal pekan ini, Senin, 05 Oktober 2020.

Massa Aksi Penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja di DPRD Sulbar. (Foto/Eka)

Massa aksi mendesak pada pemerintah agar membatalkan pengesahan Undang-undang Omnibus Law. Mereka menganggap, DPR RI telah melakukan penghianatan terhadap rakyat. Kordinator aksi, Refly Sakti Sanjaya menegaskan, RUU Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi tahun 1945 karena statusnya akan membayar hukum bagi aturan yang lain. Sedangkan Indonesia saat ini tidak sedang menerapkan sistem hukum common law. 

"Tuntutan kami mendesak dan meminta untuk menghentikan pembahasan Omnibus Law dan revisi UU Cilaka,"ujar Refly dalam tuntutannya.

Massa juga menuntut DPRD Sulawesi Barat untuk melayangkan surat ke DPR RI sebagai bentuk pernyataan penolakan atas pengesahan Undang-Undang Omnisbus Law. Juga menuntut pemerintah untuk mengeluarkan Perpu pembatalan Undang-Undang Omnibus Law.

"Hari ini kami menyatakan mosi tidak percaya kepada DPR. DPR telah menjadi penghianat rakyat," pungkas Refly

Massa aksi hari itu diterima oleh Wakil Ketua DPRD Sulawesi Barat, Abdul Rahim. Dalam penjelasannya, Rahim mengaku penolakan terhadap Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja memang teramas sangat kuat. DPRD Sulawesi Barat bahkan telah sekian kali menerima aspirasi yang sama.

"Kami di DPRD Provinsi telah membuat surat untuk diteruskan ke DPR RI," kata Abdul Rahim kepda Massa Aksi. (*/Naf)