Sempurna Tanpa Merasa Sempurna

Wacana.info

Oleh: Dr, Anwar Sadat, M.Ag (Wakil Ketua Ketua III STAIN Majene)

Berangkat dari sebuah defenisi umum tentang taqwa, banyak literatur yang menjelaskan pengertiannya. Meliputi pelaksanaan segala perintah dan menjauhi segala larangan.

Salah satu tulisan seorang netizen yang sempat saya komentari beberapa waktu yang lalu membuat saya tergelitik untuk menata ulang ketertiban pemahaman saya terkait defenisi tersebut.

Terus terang saya tidak mendalami kajian bahasa secara mendalam, akan tetapi saya punya kertarikan tersendiri jika hal tersebut memiliki efek sosiologis terhadap kecenderungan, prilaku dan karakter manusia. Jika defenisi taqwa sebagaimana tertulis di atas diberlakukan, maka hampir pasti secara sosiologis tidak akan ada yang sanggup mencapai derajat yang dimaksud. Mengapa demikian ?

Manusia sejak awal penciptaannya telah dirancang untuk berinovasi dengan modal potensi akal berpadu dengan nafs dalam beraktifitas. Kenyataan dalam prosesnya, perilaku manusia seringkali berujung pada tiga lapisan karakter yang bergonta-ganti dalam jiwanya; fatalis, moderat dan ekstrim (melampaui batas).

Lapisan-lapisan karakter tersebut sesungguhnya potensi alami yang sengaja dititipkan oleh Sang Pencipta demi menjaga agar hidupnya tidak taat monoton seperti malaikat atau tidak pula konsisten berbuat kerusakan seperti Iblis. Akan tetapi secara fitrah manusia diprogram berada di tengah dua kutub yang berseberangan itu.

Seperti yang sering kita telaah dalam al Quran bahwa asal penciptaan tiga jenis makhluk di atas adalah tanah, cahaya dan api. Unsur tanah sebagai bahan dasar penciptaan manusia disebut materi, sedang cahaya dan api yang menjadi bahan dasar penciptaan malaikat dan iblis dikenal sebagai energi dalam literatur sains.

Jadi hakekat sesungguhnya ketika manusia bertarung melawan pengaruh negatif iblis atau bisikan positif malaikat adalah pertarungan antara materi dan energi. Dalam ilmu sains, jika tanah diberikan pencahayaan yang cukup dan teratur maka kecenderungannya akan menjadi subur dan menumbuhkan.

Sebaliknya jika tanah dipanaskan dengan api maka hasilnya akan menjadi keras dan menghanguskan. Dua efek kejadian yang sangat berbeda dalam pembentukan karakter materi sebagai penggambaran jiwa manusia.

Penghayatan sederhana di atas akan mengantarkan kita pada pilihan hidup positif yang diinginkan meskipun kecenderungan alamiah untuk terjerumus dalam pilihan negatif selalu saja ada. Dalam bahasa agama, kondisi inilah yang disebut bahwa manusia akan selalu mendapat ujian sepanjang hidupnya sampai ia kembali ke asalnya yaitu tanah.

Jika melihat penjelasan di atas maka sulit rasanya kita sebagai manusia mukhallaf dapat melaksanakan seluruh perintah apalagi ditambah menjauhi seluruh larangan yang ada. Mungkin kita hanya bisa berupaya dan terus berupaya untuk melaksanakan perintah sesuai kemampuan dan menjauhi larangan.

Manusia memang dituntut untuk menjadi sempurna dalam segala aspek kehidupan tanpa harus merasa diri sempurna. Sebuah broadcast yang cukup menjadi pelajaran bathin adalah "orang yang merasa salah biasanya shaleh dan orang sering merasa shaleh biasa salah.

Wallahu a'lam