Awas Kebakaran !

Wacana.info
Dr, Anwar Sadat, M.Ag. (Foto/Istimewa)

Oleh: Dr, Anwar Sadat, M.Ag (Wakil Ketua III STAIN Majene)

Seringkali kita membayangkan atau bahkan melihat langsung betapa sebuah bangunan berdiri megah menjulang tinggi di beberapa tempat. Seolah hendak menembus angkasa raya. Bangunan tersebut dipenuhi ragam aksesoris yang indah, berbalut ornamen megah kian mempesona. Bikin bangga para arsiteknya. Bikin iri para pengagumnya dan bikin bahagia para penghuninya.

Namun saat bangunan tersebut terkena bencana, sebut saja gempa bumi atau kebakaran atau apapun itu yang merubah warna dan bentuknya, perasaan kagum dan bangga itu pun berubah seketika. Rasa kecewa, sedih, bahkan muncul cemas dan takut tertimpa runtuhannya. Perasaan inilah yang mungkin menghinggapi para civitas akademika atau setidaknya warga kampus tertentu yang dilanda kebakaran dan sempat viral beberapa waktu yang lalu.

Sungguh miris membayangkan sebuah bangunan yang didirikan atas usaha dan pengorbanan yang panjang dari pemiliknya dan boleh jadi menelan biaya yang tidak sedikit, ludes terbakar hanya dalam hitungan jam. Sementara orang yang seharusnya menjaga dan merawat bangunan tersebut justru lalai dalam penjagaan atau berada di tempat lain saat kejadian.

Walau bagaimanapun setiap bencana (baca; kebakaran) yang melanda hanya menyisakan duka yang teramat dalam bagi yang mengalami. Termasuk membuat resah masyarakat di sekitarnya. Peristiwa ini sangat terukur karena jelas dan terlihat oleh semua orang. Hal tersebut tentu berlaku jika yang terjadi adalah kebakaran fisik.

Lantas pernahkah kita membayangkan jika terjadi kebakaran batin atau kebakaran rohani. Atau kebakaran psikis pada diri manusia ?. Tentu saja kebakaran jenis kedua ini tidak bisa terukur karena tidak terlihat jelas dalam pandangan mata.

Jika kebakaran jenis pertama di atas disebabkan oleh percikan api, maka kebakaran rohani justru ditimbulkan oleh makhluk energi yang tercipta oleh api (baca; Iblis).

Sebuah proklamasi terbuka pernah terucap dari mulut sang pendurhaka itu: ana khairun minhu, khalaktani min nar wa khalaktahu min thin (aku lebih baik dari pada Adam, Aku tercipta dari dari jilatan api sementara Adam tercipta dari tanah yang rendah). Sebuah proklamasi kesombongan yang berujung pada penyesalan abadi yang tiada akhir.

Jika kita hendak mentafakkuri pernyataan iblis tersebut, apakah betul unsur api lebih baik dari tanah? Maka kita akan tiba pada sebuah kesimpulan bahwa iblis tidak hanya sombong tapi juga tidak realistis melihat kenyataan akibat kesombongannya.

Sifat api secara normal dari dulu selalu membakar, melelehkan, menghancurkan, melalap habis, memberangus semua benda yang dihinggapinya. Bisa terbayang, ada sifat yang hanya bisa subur jika ada sebuah benda yang dihanguskan dan siap dikorbankan.

Sementara sifat tanah justru sebaliknya, menyuburkan, media untuk menumbuhkan bibit tanaman, melindungi makhluk hidup yang ada di dalamnya dan seterusnya. Begitu indah sifat tanah (manusia) jauh berbeda dari sifat api (iblis) yang selalu menghancurkan itu.

Persoalannya kemudian adalah sifat api lebih progresif dan lebih aktif meski sayang selalu negatif. Sementara sifat tanah meski positif namun cenderung pasif. Tidak reaktif seperti api. Inilah sunnatullah yang sengaja didesain oleh Allah SWT.

Iblis dengan bala tentaranya mampu melihat manusia, sementara manusia tidak bisa melihat makhluk api yang siap membakar dan menjerumuskannya.

"Sungguh kebakaran psikis (tidak terlihat) jauh lebih merusak dari kebakaran fisik (terlihat)".           

Wallahu a'lam bis shawab