Antara Amil Zakat dan Panitia Zakat

Wacana.info
Dr. Anwar Sadar, M.Ag. (Foto/Istimewa)

Oleh: Dr. Anwar Sadar, M.Ag (Wakil Ketua III STAIN Majene)

Sekitar dua malam yang lalum salah seorang teman sesama anggota lembaga dakwah yang berpusat di kota Makassar menanggapi postingan saya yang bertajuk tentang zakat dan sedekah. 

Sambil bertukar pikiran via WhatsApp, Beliau kemudian meminta tanggapan saya tentang hasil pengamatannya seputar eksistensi amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah selama ini dan panitia zakat yang disepakati di tiap-tiap masjid yang ada di lingkungannya. 

Teman itu agaknya melihat bahwa keberadaan panitia zakat yang ada di masjid-masjid termasuk "mengganggu'pemerataan distribusi zakat yang telah dipetakan oleh pihak BAZ ke sejumlah daerah. 

Saya tentu menjawab spontan bahwa keduanya tidak perlu dipertentangkan selama tugas dan fungsinya berjalan sesuai keinginan pemberi mandat. BAZ bekerja sesuai prosedur yang ditetapkan pemerintah pada skop yang lebih luas. Sedangkan panitia penerimaan zakat di masjid juga bekerja secara normal sesuai mandat yang diberikan oleh masyarakat yang menjadi jamaah masjid tersebut dalam wilayah terbatas.
 
Akan tetapi zakat yang ditangani oleh panitia hanya terbatas pada zakat fitrah dan bukan zakat selainnya. Adapun amil zakat yang resmi dan ditunjuk oleh pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten dan kecamatan) dapat menangani semua jenis zakat yang telah disepakati. 

Jika berbicara kedudukan hukum, maka amil zakat yang ditunjuk oleh pemerintah adalah wakil dari para penerima zakat, sedangkan kedudukan hukum panitia bentukan di masjid hanya mewakili para muzakki dalam meneruskan pendistribusian zakat. 

Konsekuensi hukumnya jelas berbeda ketika zakat tersebut tiba di tangan amil zakat maka hukumnya para muzakki telah membayar zakat. Akan tetapi ketika zakat baru tiba di tangan panitia, maka hukumnya zakat belum terbayarkan kecuali ketika panitia telah mendistribusikan langsung ke tangan orang yang berhak.
     
Dalam konteks kapabilitas keilmuan, amil zakat memiliki bekal pengetahuan yang cukup memadai tentang fiqh zakat dan telah dibekali sejumlah regulasi terkini. Sementara panitia zakat yang ada di masjid biasanya hanya otodidak dan secara umum tidak memiliki penguasaan regulasi yang memadai.
 
Amil zakat yang selama ini dipahami sebagai salah satu dari delapan ashnaf sesungguhnya mempunyai pengertian yang amat luas yaitu aparat lembaga zakat yang merencanakan, mengumpulkan, mengamankan, dan menyalurkan harta zakat yang resmi ditunjuk oleh pemerintah. 
Dengan demikian, amil zakat harus dipahami secara proporsional sebagai unsur yang paling vital dalam pelaksanaan zakat. Zebab tanpa amil zakat, mekanisme zakat tidak akan berjalan, meskipun para wajib zakat cukup banyak di suatu tempat.

Bila muzakki dengan secara bebas menyalurkan zakatnya kepada para mustahik, pelaksanaannya tidak berbeda dengan ibadah lain seperti; shalat, puasa, dan haji yang tumbuh atas kesadaran dan kerelaan semata. 

Konsekuensi logisnya adalah kesadaran dan pengamalan zakat terasa sangat rendah, karena ketiadaan faktor-faktor manajerial yang fungsional untuk memotivasi dan mengontrol. Bahkan jika perlu dapat mengambil sikap yang konkrit, sehingga dapat menjaring calon para wajib zakat sebanyak-banyaknya dan menjadikan mereka sadar dalam menunaikan zakatnya, serta menggunakan harta zakat tersebut lebih berdaya guna dan berhasil secara maksimal dan optimal.

Islam menekankan perlunya BAZ resmi yang di SK-kan oleh pemerintah untuk mengurus zakat karena beberapa pertimbangan, diantaranya:

1. Islam adalah agama yang mengakui eksistensi pemerintah (ulul amri).

2. Naluri penguasaan (cinta) harta sangat besar, sehingga berat mengeluarkan sesuatu yang dicintainya atas kesadarannya. Karenanya harus ada campur tangan penguasa.

3. Fakir miskin menerima pembagian dari amil zakat merasa tidak rendah diri juga tidak merasa terhina oleh perkataan-perkataan orang-orang yang selalu sinis kepada mereka.

4. Bila zakat diserahkan langsung oleh muzakki kepada mustahik, maka terkadang menimbulkan kezaliman, karena di satu sisi akan banyak mustahik yang tidak kebagian. Sementara di sisi lain bertumpuk pada satu pihak.

5. Yang menjadi ashnaf bukan hanya fakir miskin, tetapi beberapa golongan lainnya yang seluruhnya adalah menjadi tanggung jawab pemerintah untuk melayaninya secara tuntas. Wallahu a'lam bis shawab..

Rea Barat,  15 Mei  2020