Memahami Kebijakan Pemerintah yang Batasi Ibadah Berjamaah Selama Ramadhan

Wacana.info
Ilustrasi. (Foto/Net)

MAMUJU--Beda, sangat berbeda. Ragam ibadah Ramadhan tahun ini terasa sangat berbeda.

Masjid, musala atau surau yang biasanya ramai oleh berbagai kegiatan ibadah berjamaah, kini tak lagi tampak. Suasana ibadah tahun ini pun terkesan sunyi, jauh dari kemeriahan Ramadhan yang biasanya selalu tersaji.

Semua demi memutus mata rantai penyebaran virus corona (penyebab penyakit covid-19). Pandemi corona seolah merubah hampir semua lini kehidupan sosial, ekonomi, politik, hingga kehidupan beragama manusia. Tak hanya muslim saja, sejumlah lembaga keagamaan lainnya bahkan telah dengan tegas menerbitkan aturan soal pembatasan kegiatan ibadah yang melibatkan banyak orang di tempat-tempat ibadah.

Gubernur Sulawesi Barat, Ali Baal Masdar lewat surat edaran nomor 12 tahun 2020 seolah jadi penegasan betapa penyebaran virus asal Wuhan, Tiongkok itu harus segera diredam. Dalam surat yang diterbitkan di Mamuju, 23 April 2020 itu dijelaskan tentang pelarangan pelaksanaan berbagai amaliah Ramadhan yang melibatkan orang banyak.

Misalnya Sahur dan buka puasa yang dilakukan oleh individu atau keluarga inti, tidak melaksanakan  sahur on the  road atau ifthar jama'i (buka puasa bersama). Shalat tarwih dilakukan secara   individual atau berjamaah bersama keluarga inti di rumah dan tidak diperkanankan berjamaah di masjid atau musala.

Tilawah atau tadarus Al Quran sebaiknya dilakukan di rumah masing-masing berdasarkan perintah Rasulullah SAW untuk menyinari rumah dengan tilawah Al Quran. Tidak melakukan buka puasa bersama, baik dilaksanakan di lembaga pemerintahan, lembaga swasta, masjid maupun musala. Tidak Melaksanakan Peringatan Nuzulul Qur'an dalam bentuk tabligh dengan menghadirkan penceramah dan massa  dalam jamaah besar, baik di lembaga pemerintahan, lembaga swasta, masjid maupun musala. Tidak melakukan iktikaf di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan di masjid maupun musala.

Termasuk pelaksanaan sholat Idul Fitri yang lazimnya dilaksanakan di masjid atau di lapangan, harus menuggu perkembangan selanjutnya. Silaturahim atau halal bihalal yang lazimnya dilaksanakan   ketika hari raya Idul Fitri,  dapat dilakukan melalui media sosial dan video call confere nee. Tidak  melaksanakan shalat tarawih keliling, takbiran keliling (cukup dilakukan di masjid atau musala   menggunakan pengeras suara), dan pesantren kilat (kecuali melalui  media  elektronik).

Dalam  menjalankan ibadah  Ramadhan dan Syawal, sedianya, masing-masing pihak turut mendorong, keberagamaan dengan tetap mengedepankan ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, ukhuwah  basyariah.

Imam besar masjid Syuhada Polewali Mandar, S Ahmad Fadl Al-Mahdaly menilai, imbauan pemerintah provinsi Sulawesi Barat tersebut baiknya dijadikan rujukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Khususnya umat Islam yang sedang menjalani ibadah Ramadhan.

S Ahmad Fadl Al-Mahdaly Saat Memberikan Hikmah Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid An-Nur, Karema Tahun 2019. (Foto/Manaf Harmay)

Tak ada yang berkurang secara drastis dari pelaksanaan ragam ibadah Ramadhan jika dilaksanakan secara terbatas di rumah masing-masing. Menurut S Ahmad Fadl Al-Mahdaly, Tuhan bisa saja menyimpan maksud lain dari ketetapan-Nya atas pandemi covid-19 saat ini.

"Covid-19 sedang mengajari kita di rumah saja. Tidak jamaah di masjid. Pesan yang disampaikan adalah bahwa mungkin selama ini ibadah kita cenderung demonstratif, vulgar, suka kalau ketahuan orang lain," kata S Ahmad Fadl Al-Mahdaly dalam cuitannya di facebook yang dikutip WACANA.Info, Jumat (24/04).

Menurutnya, pelarangan pelaksanaan ibadah di 'rumah Tuhan' itu justru membuka peluang kepada manusia untuk membuktikan apakah ibadah yang mereka tegakkan itu benar-benar berangkat dari penghambaan manusia kepada Tuhan semata. Bukan karena motif duniawi lainnya.

"Pertanyaannya, semangat kita beribadah apakah (tetap) sama jika sendiri tak ketahuan dengan ibadah yang vilgar dan diketahui orang lain ?," tutup S Ahmad Fadl Al-Mahdaly.

Pengasingan Diri Alias Uzlah

Melarang berbagai kegiatan di tempat-tempat umum dengan jumlah orang banyak, hingga ibadah berjamaah yang oleh pemerintah tak lagi diperkenankan, seolah bikin kita semua terasingkan dari kehidupan sosial. Direktur eksekutif lembaga Esensi Sulawesi Barat, Nursalim Ismail menguraikan, ada  dimensi lain dari berbagai kebijakan pembatasan kegiatan di atas. Ia menyebutnya sebagai uzlah.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Uzlah dapat diartikan sebagai pengasingan diri untuk memusatkan perhatian pada ibadah (berzikir dan tafakur) kepada Allah SWT. Menurut Nursalim, banyak hal positif yang bisa diraih dari ber-uzlah itu.

"Di sana, kita tidak lagi berbicara sekadar menghindarkan diri dari penyakit covid-19. Tetapi lebih dari semuanya, yang diajarkan dalam uzlah adalah upaya untuk mendengarkan bisikan rohani yang selama ini acap kali kita abaikan," papar Nursalim Ismail dalam sebuah video pendek yang dirilis Esensi Sulawesi Barat.

Nursali Ismail. (Tangkapan Layar Video Esensi Sulbar)

Selama ini, sambung pria yang juga ketua FKDM Sulawesi Barat itu, mengabaikan bisikan hati lebih sering dikarenakan oleh banyaknya suara-suara gemuruh yang lebih lantang terdengar. Di luar dari bisikan hati kita. Dalam ber-uzlah, kata Nursalim, manusia diajarkan untuk mendengarkan suara ketulusan, nasihat kejujuran, dan lain sebagainya. 

"Kita diajarkan untuk menerima apa yang sesungguhnya menjadi kekurangan kita selama kita hidup di atas muka bumi ini. Mari kita mengubah mindset ini, tidak dalam sebuah pemahaman bahwa kita sedang mengalami penjara yang mengikat kebebasan kita. Tetapi jauh lebih penting adalah kita bicara tentang uzlah itu dalam sebuah perpeksif bahwa seperti ini lah cara Allah SWT mengajarkan kepada hambaNya tentang upaya untuk mengenali diri dengan sebaik-baiknya," tutup Nursalim Ismail. (Naf/A)