Tentang Doa

Wacana.info
Abdul Muttalib

Oleh: Abdul Muttalib (Pegiat Budaya)

Betapa sering kita menemukan doa berseliweran di ragam media sosial. Entah itu doa bernada rintihan, isyaratkan betapa perih cobaan yang menghampiri. Meski tak jarang doa bernada nyeleneh dan mengundang senyum tampil di halama utama media sosial di dunia maya.

"Tuhan jika memang bukan dia jodohku mohon dicek kembali sempat jodohnya salah kirim,", misalnya.

Itulah adab dunia maya. Segala pernak pernik hidup sebegitu bebasnya ditampilkan. Entah itu doa, mimpi, harapan, hingga 'status' seseorang dapat diformat sesuai selera. Diubah kapan saja dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. 

Sesingkat doa diaminkan oleh sentuhan jari manis, Sosial media pun menjelma semacam majelis. 

Majelis yang nihil mursyid dan tanpa mufti. Siapa saja dapat jadi imam. Bisa jadi tiada lagi yang berniat jadi makmun atau murid. Semua setara. 

Doa tak lagi terasa sakral. Doa tak lagi menancap deras dalam sanubari penghayatan. Doa hanya dianggap deretan kata yang meletus dan memui seusai dilafalkan. 

(Ilustrasi/Net)

Doa tak lagi dimaknai sebagai ruang sunyi bagi seorang hamba untuk 'bertemu' Tuhannya. Ruang sunyi untuk membangun dialektika penghambaan, atau semacam tempat untuk menanam benih kesyukuran pada qalbu dengan harapan dapat menyemai ketulusan, untuk meneguk manisnya anggur kesejatian. 

Doa malah cenderung memposisikan Tuhan tak ubahnya sebagai mesin penjawab. Selalu dituntut, tak jarang digugat untuk menjawab semua kecanggihan keluhan, luapan masalah dari serbuan persoalan yang selalu disandarkan pada selera para pendoa. Doa seperti telah dilokalisir hingga terkadang kehadiranya terasa asing. Hambar. 

Terkadang sepi ketika tengah bahagia dan mendadak riuh ketika dirongrong kalut. Perilaku ibadah yang digolongkan sebagai bentuk ibadah hayawani. Perilaku ibadah dengan terminologi surga dan neraka. Semua ditakar berdasarkan amal dan dosa.

Mendadak teringat doa Abu Ali Al Hasan bin Hani Al Hakami yang tenar sebagai Abu Nawas kepada Tuhan kekasih hatinya: 

"Wahai Tuhanku. Saya bukan ahli surga, tapi saya tidak kuat menerima siksa neraka-Mu. Umurku setiap hari berkurang, sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana Saya menanggungnya. Hamba-Mu yang berbuat dosa telah datang kepada-Mu dengan mengakui segala dosa, dan telah memohon kepada-Mu. Maka Engkaulah yang berhak mengampuni. Jika Engkau menolak, kepada siapa saya mengharap, selain kepada Engkau ?"
 
Makna dan keindahan doa itu terasa ketat menjaga nilai ketulusan dengan ungkapan penyerahan diri secara total. Sekiranya tiada lagi selera. Tiada lagi kehendak dalam berdoa selain untuk melebur ke dalam riuh ombak untuk segera menyelam ke palung sunyi samudera kasih dan sayang-Nya. 

Ketika ketentuan surga, neraka, amal dan dosa tidak lagi membatasi seruan doa. 

Doa kemudian tidak menjadi jawaban. Bukan pula menjadi sebentuk pernyataan yang disetir selera yang bisa jadi malah menjauhkan seorang hamba dari segenap ketentuan kasih-Nya. Doa sudah 'membakar' para pendoa dalam tungku kesaksian atas cinta-Nya yang sungguh melampau keinginannya. 

Lalu untuk apa lagi berdoa ?.

Serentak akan dijawab dengan bibir terkulum manis. Doa adalah jalan lengang bagi hamba untuk menyapa mesra Tuhannya. Jika begitu, izinkan daku berdoa di majelis mulia dunia maya. 

Duhai kekasih, biarlah doa kita melesat memutari semesta. Bersinar serupa gemintang. Berkesiur selembut angin. Mengekal pada dentang waktu yang terhenti. Luruh laksana hujan. Gemuruh serupa ombak yang badai. Tiada terkira. Tiada terperih. Sungguh, daku kasmaran akan-Mu. (*)

Penulis adalah pecinta perkutut yang tinggal di Tinambung, Polman