Konflik di Natuna, Pemerintah Jangan Mendua

Wacana.info
Anggota DPR-RI Komisi IV, Suhardi Duka. (Foto/Facebook)

MAMUJU--Panas dingin hubungan Indonesia dengan China kembali terjadi sejak beberapa hari terakhir. Kapal nelayan lengkap dengan coast guard asal China yang beroperasi di wilayah periaran Indonesia di laut Natuna, Kepulauan Riau jadi pelecutnya.

Anggota Komisi IV DPR-RI asal Sulawesi Barat, Suhardi Duka meminta agar pemerintah tidak mengambil sikap yang justru membuat masyarakat bingung. Menurut dia, pemerintah mestinya membuat garis batas kebijakan yang jelas dalam setiap statement publiknya atas kasus tersebut.

"Apa bila menyangkut teritori, kita harus keras. Kita harus punya idealisme dan sikap sebagai Negara yang berdaulat. Tidak kompromi apa bila ada Negara manapun yang mengancam teritori atau kedaulatan Bangsa. Maka itu bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan TNI saja, tapi harus menjadi tanggung jawab seluruh anak Bangsa," beber Suhardi Duka dalam konfrensi persnya di Mamuju, Selasa (7/01).

Legislator Demokrat menyangkan sikap pemerintah yang tidak jelas atas persoalan konflik di laut Natuna tersebut. Di satu sisi tegas, sementara di sisi lain muncul statement resmi pemerintah untuk mengedepankan cara-cara yang lebih 'soft'.

"Pemerintah jangan mendua. Satu mengatakan bahwa kita menggunakan cara yang soft, karena kita banyak hutang atau kita banyak kerja sama dengan China. Satu mengatakan bahwa harga mati NKRI. Tidak boleh kita mendua, rakyat jadi bingung. Kalau ini persoalan teritori, maka kita harus tegas. NKRI harga mati," tegas pria yang sering disapa SDK itu.

Beda cerita kalau misalnya masalah di laut Natuna itu masuk ke dalam ranah kerja sama ekonomi. Di mata SDK, bicara ekonomi, maka perlu bagi pemerintah untuk mendudukkannya di ruang diskusi yang lebih komprehensif.

Sebab suka atau tidak, kemampuan Indoneisa untuk memaksimalkan pemanfaatan potensi ekonomi di laut Natuna itu masih sangat minim. Di titik itu, menurut SDK, diperlukan keberpihakan kebijakan dari pemerintah.

"Kalau menyangkut kerja sama ekonomi, yah tentu bisa dirundingkan antara Indonesia dan China atas kerja sama terkait kepentingan potensi di laut Natuna. Di satu sisi, zona ekonomi eksklusif itu adalah untuk kepentingan Indpnesia. Persoalannyya saat ini, Indonesia tidak mampu mengelola potensi yang ada di Natuna. Sehingga itu kapal-kapal nelayan Indonesia jarang yang beroperasi di sana, banyak yang kosong. Dengan demikian diisi oleh nelayan dari Negara lain. Di sinilah kelemahan Indonesia, karena nelayannya tidak dilengkapi dengan alat tangkap yang cukup untuk masuk ke zona ekonomi eksklusif itu," urai pria yang juga duduk di Banggar DPR-RI itu.

Salah satu langkah yang idealnya harus dilakukan pemerintah, dalam hal ini oleh Kementeria Kelautan dan Perikanan adalah dengan mempercepat penerbitan izin bagi operasional nelayan. Jangan lagi ditumpuk.

"Sehingga wilayah ekonomi kita tidak diisi oleh Negara lain tanpa izin dan lain sebagainya," pungkas Suhardi Duka. (*/Naf)