Indeks Kerukunan Beragama Sulbar di Atas Rata-Rata Nasional, Apa Selanjutnya ?

Wacana.info
Wakil Gubernur Sulbar, Enny Anggraeni Anwar. (Foto/Humas Pemprov Sulbar)

MAMUJU--Litbang dan Diklat, Kemeterian Agama merilis indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB). Hasilnya, Sulawesi Barat menduduki posisi ke-15 dari 16 provinsi di Indonesia yang berada di atas rata-rata nasional yang ada di angka 74,1 Persen.

Hal itu disampaikan Wakil Gubernur Sulawesi Barat, Enny Anggraeni Anwar saat membuka dialog kebangsaan antar umat beragama di Maleo Town Square (Matos) Mamuju, Kamis (12/12).

"Terima kasih kepada FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama), tentu mempertahankan ini lebih berat daripada mencapainya. Semoga kita dapat mempertahankannnya. Kalau bisa lebih jauh di atas rata-rata nasional," ujar Enny di hadapan para peserta dialog yang hadir.

Dari penjelasan Enny, Sulawesi Barat juga meraih penghargaan harmony award 2019 dari Kementeria Agama. Menurut Enny, hal itu merupakan bukti perhatian pemerintah pusat dalam penilaian objektifnya terhadap kondisi sosial keagamaan di provinsi ke-33.

"Dengan hadirnya FKUB di daerah ini, terbukti telah memberikan kontribusi positif terhadap upaya merawat kerukunan di Sulbar," sambung dia.

Sulawesi Barat, dengan ragam suku, ras, etnik maupun agama yang ada di dalamnya, menurut Enny menyimpan sisi positif sekaligus negatif. Dari sisi positif, kemajemukan itu berpotensi menjadi wadah perekat atau disebut mozaik nusantara. 

Di Atas Rata-Rata Nasional, Dapat Award Lagi, What's Next ?

Indeks Kerukunan Umat Beragama di atas rata-rata nasional, dapat harmoni award lagi, memang bikin seisi Sulawesi Barat bangga. Bangga boleh, tapi ada hal penting lainnya yang mesti tetap dijadikan perhatian dalam merawat kerukunan umat beragama. 

Dewan penasehat lembaga Esensi Sulawesi Barat, Syarifuddin Mandegar menilai, menjaga kerukunan bukan hanya soal apa yang nampak di depan mata saja. Tapi juga terkait dengan seberapa lapang kita menerima perbedaan itu sendiri.

Syarifuddin Mandegar. (Foto/Manaf Harmay)

"Di kalangan Islam sendiri, apa iya kita benar-benar ikhlas menerima teman-teman yang beraliran syiah misalnya, atau ahmdiyah misalnya," ucap Syafiruddin kepada WACANA.Info.

Syarifuddin Mandegar pun mengomentari soal mewabahnya paham radikalisme di Sulawesi Barat. Di mata mantan aktivis HmI itu, wacana radikalisme sudah semestinya ditafsir ulang secara epistemologis.

"Jangan gara-gara kita phobia dengan radikal, lalu diwacanakan secara serampangan bahkan pemaknaan yang terlalu simbolik," tutur Syarifuddin Mandegar.

Kata dia, radikalisme bukan soal simbolis. Radikalisme menurut Syarifuddin, lebih kepada apa yang dibuatnya.

"Orang dihukum bukan apa yang dipakai tetapi apa yang ia perbuat," tutup Syarifuddin Mandegar. (*/Naf)