Lautku Juga Hidupmu

Wacana.info
Sandeq Race 2019. (Foto/Firdaus Paturusi)

Oleh Adi Arwan Alimin

LAUT. Merupakan bentang amat luas dibanding daratan, hitungannya kira-kira 2:3. Semua orang menjadikan laut sebagai kepemilikan bersama, baik sebagai jalur perdagangan, transportasi, rekreasi, fotografi bahkan dalam strategi peperangan. Pun laut dapat dinikmati secara merdeka dalam kesempatan senggang oleh siapapun, termasuk menulis tentang lautan. 

Bagian planet yang masih penuh rahasia ini menginspirasi banyak orang awam hingga seniman. Simaklah kisah-kisah petualangan Marcopolo, Columbus, Laksamana Cheng Ho, atau film Aquaman karya sineas James Wan yang cukup memukau mengenai Atlantis.

Mereka bicara tentang kedalaman samudra, teluk yang apik, atau pantai yang membentang kehidupan manusia. Atau bahkan mengenai ketangguhan manusia melayari samudera yang dalam mitologi kuno dianggap sebagai tujuan paling ambisius. 

Saya memiliki beberapa sahabat yang hari ini keliling dunia sebagai pekerja di kapal. Mereka rupanya tak hanya dapat menikmati eloknya pantai-pantai di beberapa negara, atau sandar di pelabuhan peti kemas kelas mancanegara, tetapi juga dalam bayang-boyang perompak.

Suatu ketika rekan saya itu dibegal di perairan Kamboja, mereka disandera meski kemudian dilepaskan. Baginya pesona laut adalah bagian keindahan yang mestinya dapat dinikmati semua orang. Dari laut juga menyakinkannya betapa ia selalu mengingat kembali untuk pulang ke pangkuan ibunya. 

Laut berumur sama dengan daratan. Saya tidak tahu manakah yang lebih banyak memberi manfaat bagi manusia. Meski ada yang mengatakan sesungguhnya antara daratan dan lautan memberi hal seimbang, bukankah laut sebenarnya tidaklah sebagai pemisah antara pantai yang kita jejak dengan nun pantai di balik lautan.

Untuk lebih memahaminya simaklah 12 manfaat laut bagi manusia di link ini www.lingkungan.lovelybogor. Yang jelas lautan telah meletakkan asas penting dalam perkembangan peradaban manusia, termasuk bagi Orang Mandar di Sulawesi Barat. 

Manfaat laut yang besar memberi dorongan pada visi Arajang II Balanipa, Tomepayung atau Billa-Billami. Pada masa kekuasaannya ia memindahkan pusat pemerintahannya di Napo ke pantai di sekitar wilayah Karama, Tinambung saat ini.

Saya belum menemukan catatan detail mengenai kurun era pemindahan itu, tetapi dari sejumlah penuturan yang diserap menggambarkan bahwa Tomepayung yang ikut dibesarkan dalam iklim kerajaan maritim Gowa, diduga kuat dipengaruhi oleh kejayaan Makassar mengelola lautan di Nusantara zaman itu.

Laut telah berusia ratusan tahun dalam menampung kreatifitas dan kecerdasan manusia Mandar dalam hidup bersama lautan. Tidak hanya mengenai kepentingan transportasi, perdagangan atau ekonomi namun juga pewarisan tradisi yang berkaitan dengan adaptasinya dalam memanfaatkan potensi alam hingga maujud sebagai kapal/perahu.

Tiga hal mendasar mengenai manfaat transportasi, ekonomi, tradisi bahari itu memastikan bahwa lautan memiliki pengaruh besar dalam dialektika kebudayaan di Mandar bahkan menyangkut diaspora orang Mandar ke berbagai penjuru sejak ratusan tahun lalu.

Saat ini, mungkin tak banyak lagi yang menggunakan sandeq sebagai sarana transportasi seperti kejayaan beberapa dekade lalu. Tapi orang Mandar masih dapat menjangkau daerah lain dengan memodifikasi bentuk perahu yang baru.

Intinya tetap memakai sarana laut sebagai penyambung kehidupan pada manusia. Bahar merentang makna hidup, baik dalam tautan manfaat kehidupan laut bagi kelangsungan hidup manusia demikian sebaliknya. 

Lautmu, hidupku. Itu sukma bahari yang diramu menjadi tema Sandeq Race 2019. Bahwa segara memberi kita begitu banyak manfaat, memberi kita denyut hidup. Apakah yang hidup di daratan telah berlaku sama? Hidup manusia telah lama bermuara di pantai, laut menjadi halaman terluas untuk menjangkau benua seberang. Tapi seolah segala kebijakan seperti masih memunggungi laut. 

Perhatikanlah rumah-rumah yang dibangun menghadap lautan biasanya tak menjadikan pantai-pantai itu sebagai tempat pembuangan sampah, tetapi sebagai halaman paling indah ibarat sabana.

Bandingkan rumah-rumah yang dibuat atau dibangun membelakangi lauatan maka dari tempat pertama mereka, di dapur segala limbah akan disemburkan setiap hari. Mungkin mereka lupa oksigen, juga mineral yang membuat rongga dada mereka dapat menggelembungkan nafas datangnya dari laut.

Mereka lupa sampah-sampah yang bertumpuk di tepian koloni pantai entah kapan akan menimbun mereka sendiri. Bila menyimak film fantasi Aquaman, bila penghuni samudra marah, mereka seketika dapat mengembalikan sampah dari daratan itu kembali ke daratan. 

Lautmu, hidupku. Tema ini sesungguhnya ingin melahirlan pola keseimbangan. Antara manusia dan lautan. Antara kebijakan yang menghidupkan dan mengayakan mengenai potensi maritim. Bukankah telah ada konsep Siwaliparri yang diajarkan pertama kali dari lautan. Atau cobalah hitung ulang berapa kebijakan mengenai laut hingga hari ini, sementara laut telah memberi begitu banyak nilai. 

Bila tak tahu bersyukur pada laut, ia akan mengirim maut. Maka lautmu, hidupmu juga dapat berarti dorongan pada skema kebijakan yang lebih memberdayakan laut bukan tambah memperdaya lautan.

Dalam bahasa Mandar, lautku, hidupmu dapat bermakna SasiqU, TuoMu bahwa laut secara harfiah adalah tempat menemukan diri dan denyut kehidupan. Tapi itu memerlukan kedalaman berpikir manusia untuk lebih mencintai kehidupan secara universal. Laut sejatinya palung orang darat melarungkan segala upayanya mencintai alam. 

Saya jadi teringat sumpah raja-raja Balanipa Mandar di masa lalu yang menegaskan, lautmu, lautku, tanahmu, tanahku, pohonmu, pohonku, gunungmu, gunungku. Itu berada pada satu tujuan primer mengenai tanggung jawab seorang Raja untuk menjaga maslahat hidup rakyatnya. Bukan pada makna kuasa adalah segala kebijakannya sendiri tanpa mau mendengar. 

Lautmu, Hidupku ibarat mantra dalam ritual yang dibisikkan penuh emosi sebelum menyatukan tubuh dengan air. Sulawesi Barat adalah laut tempatmu mengarungi segala kebajikan, sementara hidup yang lebih lapang dan layak bagi rakyatnya selarik keniscayaan.

Maka berlayarlah!

Majene, 7 Agustus 2019