Menakar Dilema Pembangunan Manakarra Tower

Wacana.info
Ilustrasi. (Foto/Humas Pemkab Mamuju)

Oleh: M. Fitrah Wardiman

Belakangan ini, publik diramaikan dengan rencana pembangunan Manakarra Tower di Mamuju, selanjutnya disebut M-Tower. Banyak spekulasi berjejal. Seperti pinang dibelah dua, ada yang sependapat, adapula yang tidak.

Celakanya, perbedaan pendapat itu seringkali dimaknai sebagai dikotomi rezim antara yang oposisi dan oppoki'.

Tak terkecuali di ruang-ruang sosial misalnya. Wacana M-Tower terpecah ke dalam dua kutub, pendukung dan penolak. Argumentasinya macam-macam. Tapi pemicunya tidak lain karena infrastuktur ini menelan biaya puluhan milyar. Fantastis !.

Menarik untuk menelisik argumentasi yang berkembang di kutub pendukung. Mereka beranggapan bahwa M-Tower mampu mengangkat derajat estetika kota. Menjadi nilai ikonik supaya kota tampak cantik nan menawan di mata publik. Ibarat bangunan menara Eiffel yang siapa pun akan kepincut hati ingin kesana. Kira-kira begitu juga dengan adanya M-Tower. Dalih yang cukup intelek.

Hal senada namun lebih profitable juga mencuat. Melihat bahwa kehadiran M-Tower bisa menjadi objek wisata yang kemudian menggerakkan roda ekonomi wilayah setempat. Sederhananya, pedagang kaki lima dan sektor mikro lain yang bertengger di distrik itu akan kecipratan rejeki lantaran megaproyek ini bakal menarik banyak pengunjung. Fasilitasnya kekinian.

Yang lebih klise dari semua itu adalah pengamatan para mesin teknokrat. Meskipun dana yang digelontorkan terbilang fantastis, tapi bisa memberi kontribusi terhadap pendapatan daerah. Sudah ketebak, tarif retribusi karcis dan parkir pengunjung pasti menjadi sumurnya.

Berseberangan dengan pandangan diatas, penolak M-Tower justru punya pemikiran berbeda. Sedikit banyak diilhami oleh sentuhan ideologis. Bahwa bentuk kemajuan pembangunan, sejatinya, adalah upaya untuk mewujudkan warga yang lebih hidup (a living subject dalam bahasa pengembangan masyarakat).

Kata pem-bangun-an dari kata dasar bangun. Dari yang tidur jadi bangun. Dari yang melarat jadi konglomerat. Dari yang ter-asuh menjadi terdidik. Dari yang putus sama sekolah jadi balikan.

Dengan kata lain, pelayanan kemanusiaan jauh lebih penting ketimbang memasyhurkan estetika kota lewat tower yang acapkali menjadi tontonan tidak berguna bagi generasi. Tidak perlu mengikuti Jakarta dengan Monasnya. Tidak perlu seindah bandung dengan citra Gedung Satenya. Juga tidak usah meniru keramaian Tugu Jogja. Ikuti saja kedaulatan ekonominya Hatta, dan nafas pembangunan sosialnya Pancasila.

Sebab infrastruktur semacam itu hanya akan menimbulkan beban biaya perawatan dan tidak menciptakan pemasukan. Kalau pun ada, tidak berbanding lurus. Paling mentok jadi objek yang instagramable.

Sementara di saat yang sama masih banyak ketimpangan di sektor vital lainnya yang lebih pantas menjadi prioritas. Sektor vital yang dimaksud seperti lingkungan, perubahan iklim, mitigasi bencana bajir dan longsor di pedesaan, kelangkaan air, polusi udara, limbah plastik, pelayanan sosial, kemiskinan, pengembangan UMKM, kelayakan pendidikan serta pelayanan kesehatan.

Sebagai contoh. Di Mamuju masih banyak ditemukan kasus orangtua siswa mengeluh akibat beban biaya sekolah anaknya. Belum lagi gaji guru dan tenaga honorer, yang mengabdi di pelosok desa, tidak mencerminkan kesejahteraan. Lagipula, masih ada gedung sekolah yang tidak memiliki laboratorium atau perpustakaan belajar yang memadai. Sebagian pemerhati pendidikan pasti merasa jengkel.

Contoh lain di sektor-vital kesehatan. Masih banyak rumah sakit dan Puskemas yang tidak memiliki incinerator untuk buangan limbah berbahaya medis. Ditambah lagi, tidak terhitung jumlah tenaga medis yang butuh pelatihan pengembangan kapasitas supaya ancaman kematian akibat mal-praktik tidak terulang.

Persoalan kemiskinan apalagi. Sebagai informasi, 30 Persen kekayaan nasional hanya dimiliki oleh 10 Persen penduduk. Dan 40 Persen lapisan terbawah hanya menguasai 16 Persen kekayaan nasional.

Artinya apa? ketimpangan bukan saja dalam, tapi lebar. Di Mamuju sendiri, jika mengacu pada data BPS 2016, dari 60.713 rumah tangga, 6,48 persennya merupakan keluarga miskin. Bahkan, boleh jadi angka kemiskinan lebih tinggi saat ini.

Kesimpulannya, kalau saja daerah menggelontorkan dana puluhan milyar untuk tower, maka ini mencerminkan kehilangan akal sehat. Seolah-olah tidak merasa bersalah menggunakan uang pajak untuk tower semantara masalah di sektor primer lainnya, seperti dicontohkan di atas, belum terselesaikan.

Untuk menutup tulisan ini, ada perumpamaan menarik dari novelis kenamaan Rusia, Leo Tolstoy, yang melontarkan kritik pedas terhadap bangunan menara Eiffel kala itu. Bunyinya; "Menara Eiffel tidak lebih dari sekadar mainan yang dibuat untuk memuaskan dahaga anak kecil". Ada benarnya jika ditarik dalam konteks rencana pembangunan M-Tower.

Tolstoy mungkin saja beranggapan kalau pembangunan simbol macam Eiffel yang peruntukannya hanya untuk mengenang kejayaan suatu masa atau rezim (romanticism), tidak lah sepenting pembaharuan nilai kemanusiaan itu sendiri (baca:pelayanan sosial). Penulis sependapat dengan ini.

Olehnya itu, penting untuk meninjau kembali asas manfaat. Apakah kehadirannya akan mampu mengatasi isu yang mencakup dimensi pertumbuhan ekonomi, pelestarian lingkungan, serta kesejahteraan dan keadilan sosial, atau malah sebaliknya. Dimensi ini penting, sejalan dengan blueprint deklarasi Rio+20 dan SDGs untuk menjawab tantangan perubahan. Sehingga nantinya, tower tidak semata-mata menjadi pemuas dahaga, sebagaimana kata Tolstoy. (*)