Tangis Perempuan di Sudut Musala

Wacana.info
Ilustrasi. (Foto/Net)

Didampingi seorang keponakanku seusai menghadiri sebuah pertemuan, aku menyempatkan diri untuk memenuhi pesanan istriku membeli wajan teflon. Maka kuarahkan kendaraanku menuju sebuah supermarket di kotaku yang khusus menjual perangkat dapur dan perkakas rumah tangga.

Dengan menggunakan sarung dan berpeci sebagaimana lazimnya aku berpakaian aku menyusuri rak demi rak mencari pesanan istriku itu. Namun, aku sedikit terkejut saat melihat jam di ponselku menunjukan pukul 16.45. Aku belum shalat ashar. Maka segera aku menuju ke musala supermarket itu.

Memasuki musala itu suasana begitu sepi. Aku hanya melihat seorang perempuan di sudut ruang yang duduk berkerubut mukena warna biru muda. Dari balik mukena itu aku mendengar isak tangis dibarengi suara istighfar. Sambil menunggu shalat berjamaah dengan keponakanku yang sedang ke toilet aku terdiam di atas sajadahku. Keponakanku tak kunjung datang.

Istighfar dan isak tangis dari mulut perempuan itu masih terus aku dengar. Kurasa ia begitu khusyuk menikmatinya, ia begitu memahami istighfarnya, hingga kedatangan dan keberadaanku tak ia hiraukan. Kekagumanku menarik mataku untuk meliriknya saat ia telah menyelesikan munajatnya. Ia memasuki ruang ganti. Dan saat keluar aku melihatnya telah mengenakan pakaian ketat di atas lutut dengan model you can see.

Aku makin penasaran. Usai shalat aku kembali mengelilingi supermarket berharap bisa bertemu lagi dengan perempuan itu. Bukan untuk menyapanya, tapi untuk mencari tahu perihal kehidupan ini. Benar saja, aku melihatnya lagi. Ia seorang penjaga stan barang mewah yang lazimnya berpakaian minim. Kulihat matanya masih sembab. Dan aku melewatinya begitu saja.

Melihat ini semua, dalam jalanku yang pelan aku berbisik, “Gusti Allah, terus apa makna peciku, sarungku, dan serbanku?” (Yazid Muttaqin)

Diceritakan kepada penulis oleh KH Ubaidullah Shodaqoh, Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah

Sumber: www.nu.or.id