Penjual Gogos; Layu Sebelum Berkembang

Wacana.info
Salah Satu Lapak Penjual Gogos yang Masih Tersisa di Wonomulyo. (Foto/Lukman Rahim)

WONOMULYO--Tahun 2015 silam, jika kita melintas di jalan trans Sulawesi tepatnya di desa Campurjo, kecamatan Wonomulyo, Polman, belasan kios berjejer rapi. Ramai oleh pengunjung yang memilih mampir untuk menikmati gogos panas.

Lewat di jalan tersebut, entah itu di siang atau malam hari, pengguna jalan harus mengurangi laju kendaraannya. Selain karena banyak kendaraan pembeli yang terparkir di sana, kepulan asap akibat aktivitas penjual gogos juga bikin pengendara wajib memperlambat laju kendaraannya.

Di sana, gogos disajikan bersama buras dengan lauk pauk, seperti telur asin, ikan beserta sambal khas yang mengundang selera makan. Paling dikejar oleh para pembeli adalah makan khas sulawesi; itik palekko. 
Menikmati gogos panas atau buras dengan itik palekko punya sensasi yang luar biasa.

Itu dulu. Kini, belasan lapak yang menjual gogos di tempat itu tersisa beberapa saja. Bisa di hitungan jari. Para pembeli pun sudah tak ramai lagi memarkir kendaraan di sepanjang jalan. 

Belum sempat jadi primadona, para penjual gogos di jalan poros Wanomulyo-Polewali itu harus gulung tikar.

Nasib pedagang gogos yang ada di sana tak sempat sampai di masa kejayaannya. Baru saja ramai-ramainya dikunjungi, di akhir 2016, petualangan bahtera para pedagang gogos menemukan pulau kejayaan pun harus karam. 

Ibarat bunga, lapak gogos itu layu sebelum berkembang.

Mama Awal, salah seorang pedagang gogos menuturkan, sudah banyak lapak yang harus dibongkar karena tak lagi berjualan lagi. Penyebabnya pembeli yang makin berkurang.

"Kurang sekali mi pembeli," ungkap Awal saat mendatangani lapak miliknya, Senin (15/04).

Dia menjelaskan, modal usaha yang dikeluarkan untuk membuat lapak itu ada kisaran Rp 4 sampai 5 Juta. Modal itu belum termasuk soal perlengkapan lainnya.

"Biasa tidak ada pembeli dalam satu hari," begitu katanya.

Memang sungguh sangat disayangkan. Belasan lapak di sana harus tutup, perputaram ekonomi di sana mengandung nilai ekonomi kerakyatan, sebab sebagian masyarakat punya pendapatan tambahan. Ada juga beberapa yang menitipkan jualannya untuk dijajakan di lapak-lapak tersebut.

Mama Awal juga tidak tahu apa penyebab pasti pembeli kian menurun. Meski begitu, sampai saat ini ia tetap kekeuh untuk tetap berjualan. Di balik usahanya itu, Mama Awal tetap berharap, lapak gogos yang dulunya sempat terkenal kembali menemukan masa kejayaannya.

"Itu pi ramai biasanya kalau sudah Lebaran. Tapi ini mi yang menjual," ungkap Mama Awal. (Keto/B)