Mantan Sekjen Hankam: Tantangan Hankam Mendatang Bukan Perang

Wacana.info
Eris Herryanto. (Foto/Net)

JAKARTA--Makin berkembangnya teknologi dan tantangan geopolitik Indonesia di tengah arus globalisasi membuat sistem pertahanan dan keamanan (Hankam) yang harus diterapkan negeri ini tak mesti berdasarkan pada pendekatan teknis semata atau dengan kata lain dengan membangun kekuatan perang sebesar mungkin.
 
Diperlukan pendekatan yang lebih canggih, up to date, dan lebih terintegrasi, sebab tantangan Hankam di masa mendatang bukan lagi perang terbuka secara konvensional. Namun, bagaimana Indonesia bisa menghadapi beragam infiltrasi yang mengancam kedaulatan negara, baik itu illegal fishing, Narkoba, dan juga terorisme.
 
Hal itu diungkapkan mantan Sekjen Kementerian Hankam, Eris Herryanto saat mengomentari isi debat ke-IV Pilpres 2019 antara kedua Capres Joko Widodo dan Prabowo Subianto dalam membahas masalah hankam.
 
"Saya sependapat dengan Capres Jokowi, bahwa ancaman ke depan bukan masalah perang. Ancaman memang berbagai macam, namun perang terbuka dalam 20 tahun kedepan tidak akan ada. Negara-negara lain akan berpikir panjang jika ingin perang terbuka," beber Eris Herryanto yang purnawirawan jenderal bintang tiga itu.
 
Dikutip dari rilis media yang diterima WACANA.Info, Kamis (4/04), Eris menambahkan, ancaman berupa infiltrasi kedaulatan negara, baik itu illegal fishing, Narkoba, atau teroris merupakan ancaman yang nyata dan harus dihadapi. Peran TNI dalam menghadapi ancaman itu adalah membantu untuk melawan.

"Jadi sudah benar memasang radar, sehingga kita bisa melihat orang yang masuk deteksi, diidentifikasi dan ditindak, di laut atau udara, itu harus dlakukan. Hal ini sudah sering dan TNI kita sudah bisa mengatasi," ungkapnya.
 
Atas dasar itulah, Eris sangat tidak sependapat jika ada anggapan yang menyebut TNI merupakan institusi yang lemah dan rapuh dalam menjaga kedaulatan bangsa dan negara. Apalagi asumsi itu didasari pada terbatasnya anggaran Hankam yang hingga masih di bawah 1 Persen dari  APBN.
  
Untuk APBN tahun 2019 ini, anggaran Hankam berada dikisaran 0,8 Persen, atau jika dirupiahkan sekitar Rp 110 Trilyun. Jumlah ini sebenaranya sudah jauh meningkat dibanding APBN tahun 2014 yang hanya Rp 86 Trilyun.
 
"Menurut saya, pertahanan RI tidak rapuh, walau memang belum ideal. Sistem pertahanan kita disiapkan dengan pertahanan wilayah dalam menghadapi masalah dan didukung dengan penggelaran kekuatan dengan cara Rapid Deployment dari pusat," jelasnya.
 
Dalam skala kecil, Eris menambahkan, TNI punya kekuatan yang bisa dibanggakan dan mendapat pengakuan dunia karena dalam setiap perlombaan atau pertandingan, baik itu menembak atau ketrampilan militer lainnya, para prajurit TNI kerap menjadi juara.
 
"Saat ini, pertahanan wilayah dibagi dalam tiga wilayah, yakni barat, tengah, dan pusat di semua angkatan, baik darat, laut maupun udara. Dengan cara ini kita bisa mengatasi konflik dalam wilayah RI. Artinya kita siap menghadapi trouble spot. Jika rapuh artinya kita tidak bisa berbuat apapun jika muncul ancaman," ujarnya tentang sistem pertahanan Indonesia.
 
Untuk anggaran Pertahanan menurut penerbang pertama Pesawat tempur F-16 itu, Fighting Falcon ini harus melihat berbagai aspek. 

"Presiden Jokowi berjanji jika pertumbuhan ekonomi menyentuh tujuh persen maka anggaran pertahanan dinaikan menjadi 1,5 Persen dari APBN. Tetapi kenyataannya pertumbuhan ekonomi hanya 5 Persen, sehingga masih terbatas," tambahnya.
 
Baginya, alokasi anggaran untuk pertahanan juga harus memperhatikan aspek lainnya. Tidak bijaksana juga menggelontorkan APBN hanya untuk pertahanan namun melupakan aspek lainnya. seperti pembangunan, pendidikan dan kesehatan yang masih harus menjadi perhatian. (*)