Kepala Daerah Pimpin Partai, Bagaimana Independensi Birokrasi ?

Wacana.info
Ilustrasi. (Foto/Net)

MAMUJU--Perhelatan pesta demokrasi Pileg dan Pilpres yang akan digelar secara serentak 17 April 2019 mendatang jelas akan jadi penentu arah kebijakan baik di daerah, hingga ke pusat.  Perhatian segenap anak bangsa jelas akan terpusat pada perhelatan Pemilu 2019 itu.

Banyak hal yang selalu jadi perbincangan hagat di setiap gelaran Pemilu, baik itu Pileg, Pilpres dan Pemilukada. Independensi birokrasi salah satunya.

Hampir di setiap momentum politik, independensi jadi hal yang selalu punya porsi yang besar untuk dibincangkan di tengah publik. Apalagi jika para aktor politik tertentu juga punya kuasa atas jalannya roda birokrasi di suatu daerah.

Di Sulawesi Barat sendiri, sebagian besar kepala daerah-nya adalah mereka yang juga jadi tokoh utama partai politik. Sebut saja, Bupati Mamuju, Habsi Wahid yang menahkodai NasDem, Wakil Bupati Mamuju, Irwan Pababari yang memimpin Hanura, Bupati Majene, Fahmi Massiara yang jadi juru gedor utama PPP, serta Bupati Pasangkayu, Agus Ambo Jiwa dengan PDI P yang ia pimpin.

Sederet nama di atas belum termasuk Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati di Sulawesi Barat lainnya yang diidentikkan dengan salah satu partai politik peserta Pemilu.

Kondisi tersebut jelas menimbulkan kekhawatiran tersendiri di benak publik akan independensi birokrasi pada gelaran Pemilu 2019. Bagaiaman para kepala daerah bisa benar-benar mampu menjalankan roda pemerintahan yang ia mimpin secara profesional dan beretika, tidak menjadikan mesin birokrasi sebagai altar suksesi untuk kepentingan politik, jadi satu hal yang diidam-idamkan publik khususnya di tahun politik ini.

Syarifuddin Mandegar. (Foto/Manaf Harmay)

"Soal kepala daerah, baik itu Gubernur atau Bupati atau Wakil Bupati yang ikut terlibat dalam Pemilu atau menjadi salah satu tim pemenangan Capres tertentu, saya kira itu sah-sah saja dalam perannya sebagai pengurus atau ketua partai," ujar dewan pembina lembaga Esensi Sulawesi Barat, Syarifuddin Mandegar, Senin (4/02).

"Apakah ada potensi untuk melakukan intimidasi terhadap ASN di lingkup pemerintahannya untuk memilih Caleg dari partainya, jelas sangat berpotensi. Namun dalam rumus politik manapun itu tidak dibenarkan. ASN ini adalah abdi negara, kendatipun memiliki hak pilih tetapi hak pilihnya adalah kemerdekaan," sambung dia kepada WACANA.Info.

Menjadi sesuatu yang lazim bagi seorang kepala daerah untuk memanfaatkan segala kewenangannya dalam menyukseskan agenda politik partai dimana ia berada. Namun, secara etis, hal tersebut tidak bisa dibiarkan begitu saja.

"Sebab Pemilu itu sejatinya memberikan kemerdekaan kepada seluruh warga negara untuk menentukan pilihan politik. Kalau ada paksaan atau intimidasi, itu artinya tidak memberikan pendidikan politik yang baik dan hal itu harus diawasi secara ketat baik oleh masyarakat maupun penyelenggara Pemilu dalam hal ini Bawaslu," urai Syarifuddin Mandegar.

Intimidasi = Citra Buruk Demokrasi

Ada banyak cara yang biasa dilakukan oleh oknum kepala derah dalam upayanya menjadikan birokrasi sebagai mesin utama pemenangan partai politik tertentu. Mulai dari klaim keberhasilan program pemerintah, hingga yang paling ekstrim seperti intimidasi ASN tak menjadi dua hal  paling sering dilakukan. Setidaknya, itu yang diutarakan Direktur eksekutif Indeks Politica Indonesia (IPI), Suwadi Idris.

"Birokrasi itu harus dikelola secara profesional dan beretika. Yang paling sering terjadi itu ialah bagaimana keberhasilan suatu program pemerintah di daerah yang kemudian diklaim sebagai keberhasilan partai atau calon tertentu. Ini kan tidak baik. Jika memang terjadi, itu jelas menjadi bukti bahwa pemerintahan itu tidak dikelola secara profesional," beber Suwadi.

Pun jika pengklaiman di atas dirasa masih kurang, intimidasi akan jadi jurus pamungkas. Di mata Suwadi, penggunaan kekuasaan apalagi jika berujung pada pemaksaan dalam memuluskan kepentingan politik adalah bentuk nyata penyimpangan prinsip-prisip demokrasi.

Suwadi Idris. (Foto/Net)

"Saya fikir, kalau ada yang seperti itu (intimidasi), hal tersebut hanya akan meninggalkan citra buruk terhadap kehidupan demokrasi yang selama ini terus kita perjuangkan," sambung dia.

Peran aktif dari semua elemen masyarakat (termasuk penyelenggara tentunya) menjadi hal yang sangat penting dalam memastikan denyut birokrasi tetap berdetak sesuai dengan batas-bataas aturan yang berlaku. Independensi birokrasi tetap akan menjadi angan-angan belaka jika semua pihak tidak terlibat aktif untuk menjaganya.

"Publik harus proaktif dalam mengawasi segala kemungkinan penggunaaan instrumen kekuasaan oleh oknum kepala daerah pada momentum politik ini. Kita tentu berharap agar Bawaslu benar-benar memberi perhatian lebih dalam hal menjaga indepensi birokrasi kita di tahun politik ini," simpul Suwadi Idris. (Naf/A)