Nalar dan Orientasi “Operator” Kampanye  (Humas, Marketing atau Sales)

Wacana.info
Shalahuddin. (Foto/Istimewa)

Oleh: SHALAHUDDIN: (Divisi Riset Wacana & Media ESENSI Sulawesi Barat/Mahasiswa Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Nobel Indonesia-Makassar) 

Beragam metode pemenangan digagas oleh peserta pemilu dalam suksesi pemilihan presiden dan calon legislatif di Indonesia. Kampanye merupakan satu diantara sederet agenda yang masuk dalam daftar prioritas yang mesti diatur strateginya. 

Mulai dari mendominasi kota sampai pelosok perkampungan dengan beragam atribut parpol dan figur berpengaruh. Demikian halnya dengan dominasi wacana media hingga perbincangan sekelas warung kaki lima. Distributor pesan politiknya pun berbeda-beda. Mulai dari figur populer di media konvensional hingga mereka yang akrab parasnya di dunia maya. Segenap piranti yang potensial untuk digunakan mendongrak grafik popularitas dan elektablitas dimanfaatkan semaksimalnya untuk melakukan tambal sulam kelemahan citra dimata dan benak publik. 

Model komunikasi menjadi tumpuan untuk menakar efektifitas kampanye. Sehingga notasi pesan dapat berjalan seirama dengan gestur politik yang juga sedang ditata apik. Kelihatannya memang cukup manipulatif. Namun pada aspek yang lain, proses politik yang kini sedang berjalan menarik kita untuk mengonstruksi nalar pada konsen dan konten kampanye itu sendiri. Sebab pesan politik yang hendak disalurkan tidak semudah menggantang dan menjual bahan pokok agar cepat laris dari etalase kios. 

Proses kampanye politik baik dijenjang nasional maupun lokal selalu dituntut untuk melakukan inovasi terhadap model komunikasi. Kendati tak dapat dipungkiri kerap tak dapat dibedakan pada akhirnya berujung pada proses promosi saja. Tampak pada pola kerjanya sama, namun hasilnya beda. Hal itu karena proses logika pesannya yang mengantarnya take off berbeda pula. 

Perdebatan tentang metode paling efektif dikalangan pakar dan konsultan komunikasi terkait pola kampanye bukan hal baru. Sebab persoalan ini telah diketahui sebelumnya ragam diskursus dan metode menyertai pesan yang hendak didistribusikan. Kondisi ini tak hanya terjadi dalam organisasi politik saja. Tetapi demikian halnya dengan lembaga pemerintahan baik di tingkat pusat hingga di daerah pun mengalami tukar tambah metode hingga sumber daya manusia untuk dan demi mencapai target. Sekali lagi tentang memeretbutkan kesan positif dibenak publik. 

Membincang praktek komunikasi dalam berbagai perspektif saat ini memang mengalami inovasi dan pertautan dengan belahan ilmu lainnya. Belakangan kita juga telah dipertemukan pada praktek marketing yang turut mengandalkan komunikasi sebagai piranti penting dalam menyukseskan proses perjalanannya. Tak terkecuali dengan praktek marketing politik yang akhir-akhir ini menjadi tumpuan konsultan politik dalam “menjajakan” kandidatnya. 

Demikian halnya dengan praktek kehumasan yang menjadi loudspeaker perusahaan hingga pemerintahan. Meski pada akhirnya kita kerap menemukan 
bahkan sulit membedakan mana praktek kehumasan, marketing dan sales. Sebab semuanya mengklaim diri sebagai bagian dari praktek untuk mempertahankan dan mendongkrak citra. 

Secara khusus proses politik yang tak dapat terlepas dari aktifitas komunikasi pun kian menunjukkan bahwa seluruh saluran komunikasi yang hadir saat ini merupakan pintu dan peluang bagi siapapun untuk memenangkan kontestasi. Sebab publik pun tak dipungkiri kian hari memiliki banyak pilihan saluran media yang menyuguhkan informasi. 

Meski tak dipungkiri saat ini sesungguhnya perhatian publik dominan pada kehadiran dua kiblat baru informasi, media baru (new media) dan media sosial yang berbasis teknologi internet. Sehingga jika dirunut lebih jauh, sesungguhnya proses komunikasi kini kian memandu kita pada proses peristiwa transaksional. Bukan lagi peristiwa ideologi melainkan melangkah pada aktifitas bisnis atau industri. 

Hal ini diperkuat dengan melihat berbagai pola komunikasi yang dilakukan pada proses kampanye. Yakni melalui kampanye program pembangunan perekonomian atau kepedulian sosial. Sebagaimana pemasaran konvensional, pada pemasaran politik pun mencakup tiga komponen penting, yaitu produsen, produk dan konsumen. Dalam hal ini produksi pesan senantiasa bermuara pada pertanyaan alasan mengapa harus memilih parpol atau kandidat tertentu. Dalam bahasa pemasaran komersial sering disebut reason to believe. 

Namun kelebihan dari sistem ini (political marketing), sebab konsep dibangun tak sekedar membuat electorate memilih partai atau kandidat tertentu. Namun turut membangun loyalitas mereka. Sebab konsep marketing menawarkan posisi egaliter antara konsumen dengan produsen dalam membincang produk (janji politik) yang ditawarkan. Sehingga hubungan mereka menghasilkan hubungan jangka panjang yang bersifat relasional. Bukan transaksional (sementara). 
Sementara pada praktek komunikasi ala sales, murni menciptakan hubungan transaksional demi kepentingan menyelesaikan deretan produk politik habis di “etalase”. Tanpa memikirkan untuk mengikat hubungan relasional demi kepentingan jangka panjang industri. 

Namun praktek sales dalam proses komunikasi politik kini kerap diyakini sebagai satu diantara metode yang paling efektif. Sebab oleh sekelompok produsen politik konsepsi ini cukup membantu meringankan kandidat atau partai politik dalam membangun posisi elektoralnya di tengah publik. Kesan hubungannya memang cukup pragmatis. Namun kerap kandidat atau partai politik sendiri tak menyadari bahwa mereka sedang didesain untuk melabuhkan diri pada praktek komunikasi politik ala sales. Meski keduanya, kita tak bisa mengelak sesungguhnya antara praktek marketing dan sales tetap berangkat melalui lajur berpikir utilitarian. 

Olehnya praktek komunikasi marketing dan sales mesti “diselesaikan” setelah kontestasi politik rampung dengan segala prosesinya. Sehingga sebagai sumber informasi pemerintahan, system kelembagaan seperti Hubungan Masyarakat (Humas) atau sejenisnya dapat menjadi filter pasca prosesi kontestasi politik dan berjalan maksimal sesuai yang diharapkan. Sebab hulu operasional antara marketing, sales dan praktisi kehumasan boleh sama. Namun muaranya berbeda. Sebab nalar berpikir seorang praktisi kehumasan diharapkan sebagai “pawang” etik untuk menjaga moralitas pemerintahan yang sejak awal 
berangkat dari proses politik mulai dari presiden hingga kepala daerah. 

Karenanya kita mengharapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang bergerak pada ruang ini tak hanya mengandalkan daya imajinatif untuk menciptakan proses kreatif demi mengejar predikat update. Tetapi posisi sentral sebagai penjaga moral pemerintahan mesti mampu menakar efektifitas pesan yang disalurkan oleh seorang pimpinan pemerintahan Negara atau di daerah. Sebab nalar operasionalnya idealnya bermuara pada konsepsi etik. Bukan pada sekedar konsepsi mantik.
 
Namun sudahkah hal itu terjadi dalam ketiga praktek diatas? Tentu kita mesti kembali flashback terhadap apa yang telah kita rancang dan produksi. Sebab boleh jadi saat ini kita sedang dalam posisi memperdebatkan rancangan pesan mana yang hendak disalurkan. Sementara disaat yang bersamaan kita tak sadar bahwa kita sedang mempertukarkan fungsi dan praktek antara ketiganya, sales, marketing dan kehumasan (sejenisnya). Hingga kita tak sadar membangun konsepsi komunikasi yang dis-orientasi. (*)