Besok, Esensi Sulbar Gelar Training Deradikalisasi Bagi Generasi Millenial

Wacana.info
Esensi Sulbar. (Foto/Istimewa)

MAMUJU--Lembaga pengembangan wacana, riset, kemanusiaan dan partisipasi sosial, Esensi, Sulawesi Barat bakal menggelar training deradikalisasi bagi generasi millenial. D'Maleo hotel Mamuju, akan jadi tempat pelaksanaan kegiatan yang akan diikuti oleh puluhan generasi mileial lintas agama, Senin (27/08) besok.

Direktur Eksekutif Esensi Sulawesi Barat, Nur Salim Ismail menjelaskan, training deradikalisasi bagi generasi millenial akan mengangkat tema 'Rekonstruksi dan Inisiasi Peran Generasi Milenial Terhadap Penguatan Identitas Berbangsa dan Bernegara'.

"Kegiatan ini akan dilaksanakan pada tanggal 27-28 Agustus 2018. Adapun pesertanya berasal dari mahasiswa sejumlah perguruan tinggi, organisasi ekstra kampus dan perwakilan lembaga kepemudaan berlatar belakang agama-agama di Indonesia," urai Nur Salim dalam rilis media yang diterima WACANA.Info, Minggu (26/08).

Nur Salim menambahkan, kegiatan tersebut bertujuan untuk mendorong penguatan masyarakat sipil melalui pengembangan wacana, riset, kemanusiaan dan partisipasi sosial sebagaimana tujuan lembaga Esensi didirikan.

"Bentuk kegiatannya adalah diskusi dengan menghadirkan sejumlah narasumber, dari TNI-Polri, budayawan, agamawan termasuk pendeta. Setiap narasumber akan memaparkan meterinya selama 20 menit. Kemudian sesi pertanyaan dan feedback pada sesi diskusi," terang dia.

Masih oleh Salim, dalam kegiatan tersebut, sesekali panitia pengarah akan memberikan studi kasus sebagai instrumen penguatan materi. Para peserta kegiatan juga akan dilibatkan dalam sejumlah aktivitas outbond sebelum diakhiri dengan perumusan tindaklanjut serta rekomendasi.

"Masyarakat perlu dan bahkan harus memiliki kemampuan untuk mengelola perbedaan dan keragaman agar tidak menjadi masalah serius. Dalam masyarakat Indonesia, keragaman menjadi kenyataan yang harus kita terima dan sekaligus kita syukuri," jelasnya.

Merujuk pada indeks kerukunan beragama yang ada di Sulawesi Sarat tahun 2016 telah berada pada angka 69,98 Persen. Sementara untuk angka nasional, indeks kerukunan berada pada angka 75,47 Persen. Naik 0,11 persen dari tahun sebelumnya, yakni 75,36 Persen.

Hal tersebut dilihat pada tiga variabel yaitu; aspek kesetaraan, toleransi, dan kerjasama. Pada aspek kesetaraan Indonesia berada pada angka 78,4 persen. dan aspek toleransi pada angka 76,5 persen.

"Namun yang masih disayangkan, karena untuk aspek kerjasama lintas iman secara nasional masih berada pada angka 42 Persen. Itu artinya, kita masih berada suasana kerukunan yang saling membisu. Belum pada dimensi kerukunan yang saling menopang satu dengan yang lainnya," pungkas Nur Salim Ismail. 

Berdasarkan Data Wahid Institute dan Lembaga Survey Indonesia tahun 2016, lanjut Nur Salim, terdapat Potensi kerawanan intoleransi di Indonesia. Bahkan tergolong mengkhawatirkan. 

Dari total 1.520 responden, sebanyak 59,9 Persen memiliki kelompok yang dibenci. Kelompok yang dibenci tersebut meliputi mereka yang berlatar belakang agama non muslim, kelompok Tionghoa, Komunis, dan selainnya.

"Dari jumlah 59,9 Persen itu, sebanyak 92,2 Persen tak setuju bila anggota kelompok yang mereka benci menjadi pejabat pemerintah di Indonesia. Sebanyak 82,4 Persennya bahkan tak rela anggota kelompok yang dibenci itu menjadi tetangga mereka," kata Nur Salim.

Lebih jauh ia memaparkan, dalam konteks yang terdekat di Sulawesi Barat, data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tahun 2017 menunjukkan potensi radikalisme berada pada angka 54,5 Persen. Jika ditilik dari indikator persepsi tentang radikalisme, ditemukan angka 57,86 Persen memiliki kecenderungan berpikir radikal.

"Sementara dilihat dari tindakan, sebanyak 49,5 Persen pernah melakukan tindakan radikal. Adapun pada aspek sikap radikal, terdapat 54, 5 Persen. Dalam artian, sikap ini menunjukkan trend setuju terhadap pemikiran maupun tindakan radikal. Angka ini menunjukkan bahwa tingkat potensi radikalisme berada pada kategori; potensi sedang menuju kuat," sebutnya.

Dengan demikian, diperlukan inisiasi dan terobosan dalam upaya pencegahan potensi radikalisme. Salah satu dari ikhtiar pencegahan tersebut, adalah dengan pola penguatan sumber daya pengetahuan melalui penanaman nilai-nilai kebangsaan, penemuan kembali identitas kultural, serta edukasi pencegahan radikalisme.

"Model training deradikalisasi yang kami desain adalah salah satu upaya preventif terhadap potensi konflik dan prasangka dalam masyarakat yang beragam. Melalui training ini, kami mengundang para peserta dari beragam kelompok, keyakinan dan agama. Dengan titik konsentrasi pada generasi millenial," tutup Nur Salim Ismail. (*)